Mungkin, Masa Depan itu Delusional?

Saya percaya, masa depan selalu bisa diukur, dihitung dengan cermat dan menghasilkan rencana yang sangat detil. Namun ketika melihat masa depan bumi, hampir tidak ada indikator sumber daya alam yang bisa dihitung, diproyeksi dan dikalkulasi ketersediaannya untuk menopang kehidupan umat manusia di masa depan. Perhitungan dan analisis potensi sumber daya alam dan kondisinya (apakah masih terjaga atau rusak) akan menetukan seberapa besar harapan kita untuk keberlangsungan bumi untuk generasi berikutnya. Masa depan itu mungkin saja tetap ada, tapi dengan dua pilihan: akan lebih baik atau menuju kehancuran dan punah bersama zaman.

Salah satu lokasi pembakaran hutan di Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah-Oktober 2015



Saya meyakini, jika perang sesungguhnya di masa sekarang adalah persoalan lingkungan. Saat negara-negara adidaya tak lagi berperang, saat ketersediaan minyak sudah mencukupi kebutuhan semua negara, saat pesawat tempur  dan sejata berhenti diproduksi, maka satu-satunya yang dibutuhkan manusia adalah bagaimana bertahan hidup. Kita bertahan hidup setelah beratus-ratus tahun berperang, menumpahkan darah, menghabiskan setengah populasi manusia di muka bumi untuk berbagai kepentingan.

Kini, tumpah darah telah selesai, minyak sudah dikuasai, dan peralatan tempur telah kembali ke negara masing-masing. Tapi tanah dan alam pelan-pelan mulai tak menghasilkan apa-apa, kita tidak menyadarinya karena sibuk berperang. Tanah yang diklaim dan diperebutkan sejak agama belum lahir di dunia ini kini justru tidak lagi menghasilkan apa-apa selain debu.

Saat itu, semua tanaman di tanah tidak lagi menghasilkan apa-apa, sumber mata air telah kering selama bertahun-tahun, dan untuk mendapatkannya sungguh sangat tidak mudah. Tanah tak lagi memiliki unsur hara yang membantu proses tumbuh tanaman, air tak lagi aman untuk dikonsumsi karena tercemar limbah berat. Ikan tercemar merkuri dan limbah sampah plastik di laut, hewan ternak terserang berbagai macam virus mematikan, dan manusia ada pada titik paling abai di masa itu. Manusia seakan-akan mati pada hari itu, sehingga yang terpikirkan hanyalah ingin mengeruk sebanyak-banyaknya kekayaan di muka bumi, yang lapar akan mati sekarat dan yang berkecukupan menimbun makanan kebutuhannya sendiri.

Kilang minyak itu tidak mungkin disuling menjadi sumber air bersih, atau  lahan tambang yang mereka klaim telah direklamasi dan dihijaukan kembali ternyata tidak menghasilkan komoditi apapun. Rantai ekosisistem telah rusak dan tidak ada lagi cara memulihkan kondisi lingkungan yang rusak itu. Jika di negara yang tadinya kaya sumber daya alam, punya sumber daya air berlimpah, tanah yang selalu menumbuhkan setiap biji apapun kini sudah tak lagi menghasilkan apa-apa, lalu bagaimana dengan negara yang selama ini dikenal sangat kering? tidak memiliki sumber daya alam berlimpah, yang ada hanya peperangan memperebutkan setetes air bersih.

Harapan satu-satunya ada pada mereka, sekelompok manusia yang masih berkomitmen pada perbaikan kualiatas lingkungan. Ilmuwan mededikasikan hidupnya tidur 2 jam sehari demi meminimalisir dampak lingkungan itu tidak datang lebih cepat dan mebinasakan umat manusia sekaligus. Sayangnya, organisasi lingkungan seperti ini suaranya tidak bisa lantang, karena yang memegang kekuasaan tertinggi adalah para kapitalis, yang menguasai seluruh sendi-sendi penting di pemerintahan.

Aktivis dan organisisasi lingkungan hanya bisa menelan kekalahan di pengadilan ketika menuntut pengusaha-pengusaha sawit yang dianggap turut terlibat dalam pembakaran hutan di paru-paru Kalimantan. Lalu limbah beracun dari perusahaan emas terbesar yang mematikan beberapa penduduk desa namun tak pernah terdengar beritanya. Bagi kapitalis, masalah lingkungan hanyalah isu yang dibuat-buat dan tidak benar-benar terjadi.

Faktanya kita tidak pernah menang melawan perusahaan pengrusak lingkungan, karena yang perlu dikejar saat ini adalah meningkatkan devisa negara, tidak heran jika sumber devisa tertinggi adalah sektor migas. Pemikiran ini tidak sepenuhnya salah tapi kita mengesampingkan fakta jika di level bawah dalam sistem bermasyarakat, ada kaum maginal yang miskin-semiskinnya, dan tidak berpendidikan. Mereka ini melakukan segala cara agar bisa bertahan hidup. Lalu di level atas ada kelompok kaya, mereka ini kelompok pengusaha kaya yang jika bersatu memikirkan masa depan bangsa maka tidak ada lagi anak-anak putus sekolah, lapangan kerja tersedia dan tidak ada pengangguran.

Tetapi, kenyataan tidak seideal itu. Mereka yang kaya hanya untuk dirinya dan keluarganya. Harta dibawa ke luar negeri, disimpan dan dijadikan ivestasi di negara yang bisa menjamin keamanannya. Mereka ini bergerak di berbagai jenis usaha yang merusak lingkungan, tambang dan perkebunan sawit. Tambang dengan alasan apapun adalah kegiatan merusak lingkungan, bahkan dengan konsep reklamasi sekalipun. Apa yang dikeruk dari tanah, tidak akan mungkin kembali seperti semula.

Tanah di negara ini dirusak, hingga sumber daya tanahnya tidak lagi menghasilkan apa-apa lalu hasilnya dinikmati di atas kapal-kapal pesiar, di pulau-pulau wisata kelas dunia, sama sekali tidak ada keuntungan yang disimpan untuk bangsa ini. Negara hanya bisa menikmati kepulan asap yang turut dibagi-bagi ke negara tetangga, negara hanya mendapat imbas kesenjangan sosial yang berujung pada maraknya masalah asusila, kebobrokan mental dan hasil pangan yang tercemar limbah dan virus berbahaya.

Kecenderungan individual kita telah menimbulkan bencana kemanusiaan dan lingkungan, jika kondisinya demikian apakah kita masih bisa berharap akan ada masa depan untuk generasi berikutnya atau harapan tersebut delusional ?

***


Comments