Nasib Kota Bukan Urusan Saya




Minggu-minggu belakangan ini kami memutuskan mengurangi jam-jam pakai sepeda motor. Alasannya ada dua: memang motor sedang

bermasalah dan sedang kangen naik bus kota. Walaupun masih banyak bus TransJogja yang bau, pintunya rusak dan sopirnya tidak taat aturan, kami menikmati minggu-minggu ngebis ini dan mengistirahatkan sepeda motor. 


Sambil ngebis kami sering kali melihat pesepeda motor di luar kepanasan, menghirup asap pekat, sampai berjejalan berebut jalan lantaran kehujanan. Lantas saya menyeletuk dalam  hati agak jahat, "Emang enak?" Walau sadar kalau kemarin juga kami akrab dengan itu.



Naik motor itu sebetulnya enak. Nyaman dan ringkas, apalagi untuk orang yang kesehariannya banyak berpindah-pindah. Di banyak kota masih sulit kita aktif kalau naik mobil, kan? Apalagi mengandalkan kantong-kantong parkir yang sangat terbatas, terbengkalai atau jadi sarang para pemalak-pemeras berompi 'tukang parkir'. Namun begitu enaknya sepeda motor, kita juga pasti sadari bahwa moda transportasi satu ini jadi biang utama ketidakberaturan lalu lintas.



Saya pernah menulis blog (lupa kapan dan link-nya di mana) bahwa arus lalu lintas di Indonesia ini agak anomali. Mobil harus di lajur kanan jalan, padahal setirnya ada di sebelah kanan juga. Dalam tujuan teknis diproduksinya mobil, posisi kursi pengemudi harusnya bersisian langsung dengan bagian lowong jalanan, bukan separator atau pembatas jalur. Karena sopir perlu mengantisipasi laju kendaraan dari arah belakang lewat spion, makanya kursi sopir seharusnya juga diposisikan di bagian yang lowong ini, dan karena itu cocoknya mobil melaju di sebelah kiri jalan.



Tapi apalah daya nasib Indonesia, sepeda motor lanjur diterima jadi moda. Mobil akhirnya harus "menyingkir" ke kanan karena di lajur kiri untuk sepeda motor. Pasti lebih sulit melihat spion kiri ketika Anda duduk di kursi pengemudi kanan.



Sedikit intermeso tadi sekadar mengingatkan, bahwa kita tidak bisa menolak sepeda motor. Kini, sepeda motor jadi penguasa jalanan sejak Jepang menjajah Indonesia lewat merek Yamaha, Honda, dan Suzuki. Bukan membenturkan mobil dengan motor, tetapi sering kali saya akui bahwa pengendara sepeda motor membawa masalah.



Data Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri seperti dilansir Kompascom, jumlah sepeda motor di Indonesia hingga 2012 telah mencapai angka 77,75 juta unit, dengan pertumbuhan 12% (atau sekitar 9,3 juta unit per tahun). Bandingkan dengan jumlah mobil pribadi yang totalnya hanya sekira 9,2 juta.

Di Yogyakarta sendiri, tiga tahun terakhir jadi momok jalan raya karena pertumbuhan jumlah sepeda motor.


Data Bidang Penganggaran dari Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Kas Aset Daerah (DPKAD) DIY pada September 2013 lalu mencatat jumlah sepeda motor di Kota Gudeg mencapai angka 1,7 juta unit. Dibanding Jakarta, laju pertumbuhan jumlah sepeda motor di Yogya jauh lebih tinggi, yakni mencapai 15 persen. Artinya, 255 ribu sepeda motor bertambah di jalanan Yogya setiap tahun!



Beberapa pakar transportasi menyebut, batas toleransi jumlah sepeda motor di Yogyakarta adalah 3 juta unit. Berarti saat ini, ambang setengah dari batas toleransi itu telah terlampaui. Sementara luas jalan? Bertahun-tahun tidak bertambah atau dipermudah.



Di Jakarta, kecepatan rata-rata kendaraan akibat kepadatan di dalam kota sudah turun dari 20km/jam menjadi 16km/jam. Di Yogyakarta saya pikir masih sekitar 30 hingga 50km/jam, tapi terus menurun dalam tahun-tahun terakhir. Jakarta terbukti bertahan meski pakar transportasi memprediksinya akan macet total (stuck) di tengah tahun 2014. Yogyakarta setidaknya masih "berpotensi" dalam tujuh hingga sepuluh tahun mendatang. Tapi statistik siapa yang tahu, dinamika di jalan begitu sulit ditebak.



Banyaknya orang yang mengeluh "Jogja tambah macet!" tentunya beralasan psikologis. Mudah mengetahui pertumbuhan kota ini jika Anda telah tinggal lebih dari 3 tahun: hotel, apartemen, toko-toko jasa, dan jalanannya sangat mencolok telah tumbuh dan berubah. Nasib kota Yogyakarta dinilai semakin tidak nyaman sementara banyak pihak yang seharusnya bertanggung jawab malah belum bersuara.



Di jalanan, pesepeda motor tetap bergulir dengan kesibukannya sendiri-sendiri. Seakan nasib kota "bukan urusan saya", jadi bagaimanapun "yang penting kehidupan berlanjut". Urusan kota yang tambah macet atau warga tambah stres di jalan, itu urusan pemerintah, para ahli transportasi, dan pemangku kebijakan pariwisata.



Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama "Ahok" berkomentar (7/12) saat ditanya wacana Jakarta membatasi peredaran sepeda motor di Jalan Medan Merdeka Barat dan M.H. Thamrin. Kata Ahok, "Tak ada kendaraan yang bisa mengalahkan enaknya naik motor."



Pendapat ini saya pikir berlaku universal di seluruh penjuru Indonesia. Memang naik motor itu enak kok. Ringkas, bisa nyalip sebebasnya, mudah ngelak saat dikejar aparat. Persetan kan dengan jalanan yang tambah macet. Sekali lagi, "Bukan urusan saya, yang penting urusan lancar". Boro-boro juga warga pesepeda motor mau berpikir masalah kepadatan lalu lintas. Mungkin saya juga hanya akan menyeletuk, "Kok tambah macet ya?" saat berdesakan di lampu merah, tapi kemudian bebalap bebas lagi di jalanan kecil yang lengang.



Sudah bukan waktunya juga warga pengguna jalan abai. "Bukan urusan saya" harus dibuang jauh-jauh kalau kita masih berharap ingin menikmati kenyamanan jalanan lima atau sepuluh tahun ke depan. Meski jalanan dibuat untuk manusia dan bukannya roda-roda kendaraan, setidaknya kita mulai resah dengan setiap perubahan di kota kita. Tidak cuma mengeluh, tapi kita mulai bertanya bagaimana seharusnya.



Ahok sudah punya gagasan sendiri, mengatakan, "Seluruh dunia tahu paling enak naik motor, makanya HARUS kita lakukan pembatasan." Saya setuju. Memang harus demikian kalau mau teratur. Pembatasan hampir mustahil di jumlah peredaran (kecuali pemerintah pusat berani mengambil risiko industri). Pembatasan paling mungkin di sirkulasi jalan. Pertanyaannya, maukah pemerintah kota Yogya dan kota-kota lain mengangguk senada atau berkata seperti Ahok?



Atau lebih penting lagi, kita setuju tidak dengan Ahok? [fs]

----
Ilustrasi: iwanbanaran.files.wordpress.com | Kaskus.co.id


*

Comments

Post a Comment

Apa pendapatmu?