Polusi #2: Air yang Tak Memantulkan Bayangan


Sungai berubah merah setelah tercemar limbah berat di Bontang, Kalimantan Timur (Kompas.com/Yovanda Noni

Sedih juga mengingat kembali bahwa Indonesia termasuk dalam negara-negara dengan tingkat pencemaran terburuk di dunia. Lebih sedih lagi, karena dua kota Indonesia yang masuk daftar 10 kota tercemar dunia versi IDN Times sama-sama didapuk dari kualitas airnya. Bukan Tanah (pertambangan dan resapan bahan kimia) atau Udara (pembakaran hutan, energi kotor lainnya), tetapi Air. Bulir-bulir sumber kehidupan dan sumber energy pergerakan manusia.

Publikasi ini menyedihkan, karena Indonesia sejatinya diandalkan dalam ketersediaan air segar dunia di abad-abad mendatang. Kepulauan Indonesia yang terletak di antara dua benua besar menyimpan 6% dari potensi cadangan air segar dunia, dan sebanyak 21% cadangan air segar Pasifik (Mongabay.co.id). Jika kuantitas ini dijaga hingga setidaknya 100 tahun dari sekarang, maka Indonesia dapat menjadi lumbung oksigen air yang cukup untuk menghidupi kawasan Asia Tenggara, sebagian Asia Selatan, bahkan kepulauan-kepulauan lainnya di belahan bumi timur.

Akan tetapi, tingkat pencemaran air Tanah di Indonesia mengancam potensi dan mimpi indah itu. saja Bandung, Jakarta, Semarang, dan Yogyakarta. Kualitas air sungai (yang krusial dalam menjaga cadangan air Tanah dan keseimbangan ekosistem pendukungnya) di kota-kota sasaran urbanisasi ini menurun drastis hanya dalam empat tahun belakangan. Sungai Citarum bersandingan dengan kawasan gambut Kalimantan Barat, yang di mata dunia termasuk zona kawasan air berbahaya, bersaing-saingan dengan Kolkata di India, Yangzhou dan Shanghai di Tiongkok, dan Chernobyl di Ukraina.

Di Yogyakarta sendiri, kualitas sungai-sungai utama yang membelah Daerah Istimewa. Sungai Winongo, salah satu yang terbesar, sejak 2014 tercatat mengalami penurunan kualitas sejauh 6 kali lebih buruk, atau lebih rendah dibandingkan standar baku mutu maksimal, yakni 25 mg/L (baku mutu standar sebesar 4 mg/L). Sungai yang membelah kawasan padat pemukiman kota Yogyakarta ini memiliki indeks biolitik 1,6 (kawasan Mantrijeron). Indeks biolitik merupakan pengelompokan tingkat pencemaran air sungai, yang dibagi ke dalam empat kelas: yakni tidak tercemar (indeks bilotik 3,3 s.d. 4.0), tercemar ringan (2,6 s.d. 3,2), tercemar sedang (1,8 s.d. 2,5), dan tercemar berat (1,0 s.d. 1,7). Winongo masuk kawasan tercemar berat, dan logisnya, berada di sekitar pusat kesibukan warga.

Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Indonesia memberi indikator alami yang mudah kita pakai, untuk menentukan apakah daerah sungai, atau kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) memiliki kualitas air yang sehat atau buruk. Dalam catatan WALHI, ada 92 jenis hewan golongan makroinvertebrata yang berkembang biak dan mengandalkan sungai sebagai habitat hidup. Lalat dan Udang tergolong hewan yang sangat sensitif terhadap perubahan kualitas air. Jika Lalat dan Udang masih berdiam di suatu kawasan sungai, dapat dipastikan bahwa tingkat keasaman dan toleransi polusi di air tersebut masih sangat kecil. Sebaliknya, jika tidak ada udang atau lalat melainkan cacing dan nyamuk, bisa dipastikan bahwa air di kawasan tersebut telah tercemar dan melebihi ambang keseimbangan ekosistem.

Sangat kompleks persoalan siapa dan apa yang bertanggung jawab atas rusaknya kualitas air di kota-kota besar kita. Jika mengadu ke pemerintah, yang sering ditemui adalah pengelakan teknis dan atau penjelasan lain bahwa sudah ada kebijakan untuk menjaga kualitas air, namun penerapannya belum maksimal. Ada pula yang merasa ragu-ragu, merasa bahwa Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) belum tersedia dan atau sudah terakomodasi dalam studi lebih lengkap seperti RT-RW dan Rencana Detil Tataruang (RDTR), sebagaimana dikeluhkan Yogyakarta pada 2015.  Selebihnya, pemerintah lokal kita merasa kewalahan dengan ledakan urbanisasi penduduk (Bandung, Surabaya dan DKI Jakarta). Ada pula yang menyalahkan besarnya influx wisatawan (Kawasan Raja Ampat di Papua, Yogyakarta dan Bali), Industri pertambangan (hampir semua Kalimantan dan Bangka Belitung), bahkan pola hidup masyarakat kotanya sendiri.

Hanya saja, siapa yang akan disalahkan bukanlah tujuan jitu dari keprihatinan melihat air sungai dan sumber-sumber air lain di sekeliling kita tidak lagi memantulkan bayangan. Struktur demografi, aturan longgar soal urbanisasi, dan buruknya peraturan tata ruang kota menjadikan para pemangku kebijakan kota kita berada di titik tengah jembatan rapuh. Mereka telanjur mewarisi buah kebijakan pendahulu yang tidak berpihak pada ruang gerak kota dan kawasan konservasi airnya. Tidak ada kota di Indonesia yang DAS-nya aman dari ancaman pemukiman liar, pertambangan galian C, ataupun aksi perburuan yang tidak adil. Dengan kondisi yang terlanjur memburuk ini, sedikit pencegahan yang dapat dilakukan hanyalah memengaruhi keputusan-keputusan warga pemukiman di kawasan hulu agar menghindari aksi-aksi polutif, dan mengajarkan warga di hilir agar menghargai aliran air yang dikirimkan lewat kota-kota mereka.

Agak getir membaca artikel The Guardian beberapa waktu lalu yang menggunjingkan "kecerdikan" Gubernur DKI Jakarta yang, setelah mengupayakan berbagai cara membersihkan air sungai-sungai yang akan dilewati (dan mungkin disaksikan) para kontingen Asian Games, mereka memilih menutupi atap sungai dengan jaring-jaring hitam pula, dan mengecat tanggulnya dengan warna-warni lucu guna mengalihkan perhatian dari kotor dan baunya air. Setelah ajang olahraga terbesar di Asia tersebut berlalu, sangat besar kemungkinan jaring-jaring kedok tadi akan dicopot dan atau dibiarkan rusak hingga hanyut. Ini sedikit dari cara lemah untuk mengupayakan pembersihan sungai. Di banyak tempat lain di kota-kota kita, kelompok-kelompok pecinta dan pemerhati lingkungan tengah berupaya keras mengaji, mengukur dan mengampanyekan hasil temuan mereka soal air agar kita sebagai konsumen terbesar, memahami potensi polusi yang semakin mengancam di masa depan. Dan, paling tidak berpikir untuk membantu mengurangi pencemaran dengan cara paling sederhana.

Kita berbenturan dengan industrialisasi, regulasi yang lemah, pola hidup yang terbelakang, dan minimnya dukungan finansial dan moral bagi organisasi-organisasi pelindung air. Kita juga dilematis dengan kebutuhan konsumsi dan nilai ekonomi yang membantu warga sekitar namun merusak ekosistem sekitar sungai. Kita sudah banyak melihat ke luar dan disorot banyak organisasi dunia, maka saatnya kita melihat ke dalam dan memulai sesuatu yang bijak soal penggunaan dan tatakelola air yang mengalir di bawah kaki kita.

Karena Air adalah cermin alami. Ia tidak pernah menipu. Apa-apa yang ia pantulkan pastilah tak jauh dari kondisi wajah kita yang sebenarnya.

Membungkus Kali Item. Pekerja memasang jaring untuk menutupi hitamnya air sungai Kali Item di Jakarta demi Asian Games, beberapa waktu lalu. (Foto: DetikNews)

**

Tulisan ini digabungkan dalam Seri Polusi Kota -- Akan berlanjut...

Baca juga:
Bintang yang Menghilang dari Kubah Gemilang#
Ringkasan Sejarah Air Minum di Indonesia (1443-2009)


Comments