Dilema Lapak PKL dan Rumah Sakit ("Dua Sardjito")

Hiruk pikuk mulai meramaikan kawasan kompleks Rumah Sakit Umum Sardjito tepat pukul 05.00 pagi. Setiap hari koridor jalan Sardjito diramaikan oleh aktivitas pedagang kaki lima yang berjualan tepat di depan Rumah Sakit Umum Sardjito Kompleks Kampus Universitas Gadjah Mada. Aktivitas berdagang ini berlangsung setiap hari, keberadaan PKL Sardjito sangat memudahkan pengunjung rumah sakit untuk mencari warung makan, atau menjadi tempat bersantai setelah menjenguk pasien.

Jenis dagangan yang dijual pun beragam, terdiri dari makanan dan minuman ringan yang cukup variatif. Cukup menarik, karena lokasi PKL Sardjito ini terletak persis di depan RSU Sardjito. Setiap hari aktivitas dan pergerakan kendaraan cukup tinggi di sekitar kompleks Rumah Sakit Sardjito, kondisi ini semakin diramaikan dengan keberadaan PKL sehingga pada jam tertentu terjadi penumpukan kendaraan di sepanjang koridor jalan Sardjito. Penumpukan Kendaraan sekitar Rumah Sakit Sardjito tentu sangat mempengaruhi kinerja pelayanan pihak rumah sakit ataupun pihak keluarga pasien yang harus segera membutuhkan pertolongan.

Pihak UGM sendiri telah melakukan berbagai penertiban lapak PKL melalui kebijakan relokasi PKL ke kawasan lain. Relokasi PKL diharapkan mampu mengurangi penumpukan kendaraan yang terjadi setiap hari di kawasan Sardjito. Hal penting yang menjadi permasalahan keberadaan PKL adalah ketika terjadi penumpukan kendaraan maka kualitas udara semakin kotor dan tercemar. Permasalahan berikutnya adalah masalah kebersihan, keberadaan PKL menambah jumlah timbulan sampah, selain itu limbah cair hasil pencucian yang digunakan untuk mencuci peralatan makan tidak memiliki saluran pembuangan untuk mengalirkan limbah tersebut.

Masalah lain yang cukup pelik adalah masalah sosial yang ditimbulkan jika relokasi PKL benar-benar diberlakukan oleh pihak UGM. Sebagian besar pedagang yang berjualan tidak memiliki mata pencaharian lain selain berdagang. Kekhawatiran pedagang kaki lima jika dipindahkan ke tempat lain cukup beralasan. Pedagang khawatir tempat baru yang disediakan oleh pihak pemerintah dan kerjasama dengan UGM justru mematikan usaha berdagang yang telah dirintis sejak lama. Keberadaan PKL Sardjito yang menggunakan trotoar di sepanjang jalan Sardjito memang cukup strategis untuk “mencegat” pengendara motor ataupun pengunjung pasien sardjito.

Kompleksitas permasalahan yang menghambat terlaksananya kebijakan pihak UGM untuk merelokasi pedagang kaki lima belum mampu diselesaikan selama bertahun-tahun. Berdasarkan hasil wawancara dengan wakil ketua paguyuban PKL Sardjito, sampai saat ini pihak UGM belum membuka jalan untuk berdialog dengan pihak PKL Sardjito guna menemukan jalan keluar bagi kemaslahatan semua pihak tanpa ada pihak yang dirugikan melalui kebijakan tersebut.

Solusi tunggal tidak dapat digunakan dalam menyelesaikan masalah keberadaan PKL Sardjito dengan pihak UGM. Memerlukan pendekatan masyarakat dan gaya komunikasi “blusukan” seperti yang pernah dilakukan oleh mantan Walikota Solo, Jokowi. Melalui komunikasi “blusukan” menyapa langsung pedagang dan berbaur bersama, ternyata cukup efektif untuk membangun rasa kepercayaan antara pedagang dan pemerintah dalam mensukseskan kebijakan Jokowi untuk merelokasi PKL di kota Solo.

Selama ini situasi komunikasi yang terbagun adalah suatu kondisi yang menganggap keberadaan PKL sebagai “klien” yang tidak tahu apa-apa, sedangkan pihak UGM dan pemerintah sebagai pihak “professional” yang paling tahu solusi atas permasalahan yang terjadi. Situasi komunikasi yang terbangun seperti ini akhirnya melahirkan kebijakan satu arah tanpa melibatkan partisipasi dari kalangan PKL Sardjito. Pemertintah dan pihak UGM bisa saja tidak memidahkan lokasi pedagang PKL, melalui pemerintah, alternatif yang ditawarkan berupa penataan lapak PKL dengan menyediakan gerobak khusus, menyediakan lahan parkir dengan memaksimalkan luas lahan yang tersedia. Sedangkan dari pihak UGM sendiri, mahasiswa kedokteran melakukan kerjasama dengan pedagang untuk sosialisasi peningkatan mutu jajanan melalui pemberdayaan PKL untuk menyediakan makanan sehat dan mengutamakan kebersihan. 

Sekali lagi tidak ada solusi tunggal untuk menyelesaikan masalah pedagang kaki lima dan pihak UGM, memerlukan pendekatan kemasyarakatan, dengan tidak lagi menganggap bahwa keberadaan PKL sebagai sumber masalah sehingga harus “disingkirkan”, melainkan memandang keberadaan PKL sebagai bagian dalam sistem kehidupan sosial, saling terkait satu sama lain serta memiliki tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan hidup sama dengan profesi lain yang juga menjalankan fungsinya untuk menunaikan tanggung jawab sosial untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.



*** 

Kamis, 11 April 2013

Comments