Nilai Mahal sebagai Alat Tawar Sosial

sumber gambar: http://hdwallpapersdesktop.com/
Semakin mahal barang yang Anda kenakan, semakin menunjukkan status soial Anda di mata masyarakat. Sekilas yang terlihat bahwa Anda tentunya merupakan kaum jetset karena memiliki kemampuan untuk memiliki barang-barang mewah tersebut. Dengan adanya“pelabelan” seperti itu maka secara sadar opini masyarakat akan tergiring mengarah pada satu kesimpulan bahwa mahal itu identitas.

Yup, perbincangan di pagi hari dengan teman  saya secara kebetulan membahas mengenai arloji mahal. Saya berpendapat bahwa sangat disayangkan jika arloji mahal digunakan tidak dibarengi dengan karakter diri yang menunjukkan kita memang menghargai waktu. Karena arloji tidak hanya sekadar jam yang melingkari pergelangan tangan, melainkan sebuah asesoris penting di bagian tubuh yang menunjukkan bahwa pemakainya adalah orang yang sangat “menghamba waktu”/tidak bermain-main dengan waktu.

Hal yang menarik bahwa barang mewah semisal arloji ataupun barang mewah lainnya tidak lagi digunakan berdasarkan fungsi melainkan nilai status sosial. Pembeli barang mewah dan gadget mungkin saja tidak terlalu mementingkan seperti apa ketergantungan aktivitas mereka terhadap barang mewah dan mahal, karena yang terbeli pertama kali adalah nilai, yang memang mereka gunakan dalam lingkungan sosial mereka.

Lingkungan akan mempengaruhi dalam proses pengambilan keputusan termasuk untuk mengikuti tren dan gaya hidup yang berlaku di tempat tersebut. Karena jika manusia mengutamakan fungsi, maka barang tersebut tentu dengan mudah didapatkan di toko-toko biasa saja, tetapi karena ada nilai di balik deretan nilai mata uang maka membeli barang mewah merupakan suatu kepuasan tersendiri.

Pergeseran sudut pandang terhadap pembelian suatu barang akan berimplikasi pada penetapan standarisasi hidup, bahwa yang diterima adalah yang mahal, bahwa fungsi hanya menjadi nilai sekunder. Jika demikian dimana letak rasionalitas pembeli?. Bisa saja kita tergiring pada sikap pesimistis, bahwa apresiasi, penerimaan, dan penghargaan hanya untuk produk-produk mahal, masyarakat pada akhirnya tidak punya alternatif untuk memilih.

Masyarakat yang tergolong memiliki kemampuan finansial lebih, mungkin tidak akan bermasalah dengan pembelian produk mahal, disamping karena lingkungan sosial dan mobilitas kerja yang tinggi cenderung menuntut diperlukannya barang-barang mewah tersebut. Masyarakat biasa yang memiliki barang mewah tentu memiliki alat tawar sosialnya sendiri, bisa berupa pembuktian akan kehidupan perekonomian yang semakin membaik atau ukuran capaian keberhasilan.

Dapat dikatakan bahwa bagi masyarakat menengah ke atas, barang mewah dan mahal bukan menjadi prasyarat utama sebagai alat tawar sosial, karena mereka sudah termasuk dalam lingkaran sosial itu sendiri. Sedangkan bagi kalangan menengah, barang mewah merupakan salah satu alat tawar sosial memasuki pergaulan yang lebih luas atau juga sebagai isyarat untuk menunjukkan bahwa secara finansial kalangan menengah tinggal lepas landas memasuki kemapaman ekonomi, dimana mereka akan menemukan tempat untuk memperluas jaringan sosial baru.

Comments