Partisipasi Aktif Masyarakat Daerah Tertinggal Melalui Sistem Informasi Geografis (GIS)

3 Juni 2013

proses pemetaan partisipatif oleh warga Suriname (Gambar: ESRI.com)
Indigenous Communities in Suriname Identify Key Local Sites, identifikasi lokasi strategis komunitas lokal Suriname, artikel yang termuat di layanan web ESRI.com. ini memuat informasi tentang pemanfaatan teknologi dalam mengembangkan infrastruktur di daerah pedalaman Suriname, dengan mengedepankan prinsip partisipasi masyarakat lokal dan keberlanjutan sumberdaya alam. Kerjasama dilaksanakan antara Conservation International Suriname dengan lima suku di Suriname, untuk menghasilkan peta kondisi eksisting wilayah setempat.

Masyarakat suku pedalaman tersebut diminta untuk memberi tanda/seleksi visual (deliniasi) pada peta mengenai informasi keadaan alam setempat. Informasi penting yang diperlukan pemerintah adalah penentuan zona subsistence (lahan pertanian), zona potensi SDA, zona budaya dan zona lindung. Tujuan utamanya adalah mendukung pendekatan bottom-up masyarakat dalam proses pengambilan keputusan penggunaan lahan.

Bagaimana dengan Indonesia?, Indonesia memiliki ragam suku dan kearifan lokal yang tersebar diseluruh wilayah Republik Indonesia. Pembangunan pada daerah tertinggal terkadang berbenturan dengan kondisi masyarakat setempat. program pembangunan seperti peningkatan aksesibilitas pada daerah tertinggal menemui kendala sosial, seperti sikap keberatan masyarakat setempat untuk menerima pembangunan infrastruktur di kawasannya. Bisa juga masalah lain yang muncul adalahnon functional building, ketika program pembangunan perumahan layak bagi masyarakat papua yang sebelumnya menempati Honai, harus berpindah menempati rumah layak program pemerintah, toh tidak membuahkan hasil apa-apa. Masyarakat kembali menempati Honai-nya kembali.

Kegagalan program pembangunan pada daerah tertinggal di Indonesia bisa disebabkan karena lemahnya data sosial masyarakat setempat yang dimiliki oleh pemerintah. Data sosial meliputi cara hidup masyarakat suku pedalaman atau daerah tertinggal, kebiasaan sehari-hari, tata cara komunikasi, dan cara pandang masyarakat itu sendiri terhadap lingkungannya. Maka tidak mengherankan apabila program pembangunan daerah tertinggal pada satu wilayah tidak berhasil.

Program pembangunan daerah tertinggal dan suku pedalaman di Indonesia tentu dibutuhkan untuk memenuhi tanggung jawab bangsa ini mencerdaskan kehidupan bangsa. Kegagalan program pembangunan daerah tertinggal tentunya menjadi bahanreview sebelum menelurkan program serupa. Proses “botton-up” (bawah ke atas) yang dapat dilakukan untuk meminimalisir kegagalan program tersebut, meliputi:

1. Penilaian wilayah: masyarakat diminta menggambarkan/membuat sketsa tentang strtuktur desa/kawasan tempat tinggal mereka. Cara ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana warga setempat mengenali lokasi tempat tinggalnya.
2. Identifikasi Sosial: identifikasi sosial dilakukan oleh tim, bertugas untuk memperlajari karakter sosial masyarakat setempat, cara hidup dan mengelola sumberdaya alam. Membutuhkan waktu sekitar satu bulan-tiga bulan.
3. Partisipasi aktif: parisipasi aktif tidak termasuk seberapa banyak keinginan masyarakat yang ingin diwujudkan, melainkan partisipasi aktif yang dibutuhkan adalah seberapa besar penilaian masyarakat terhadap program yang akan dilaksanakan, bagaimana apresiasi dan komitmen masyarakat untuk memajukan daerahnya.

Upaya teknis lainnya yang dapat dilakukan untuk mendukung kebijakan tersebut adalah dengan memanfaatkan software pemetaan seperti ArcGIS untuk meningkatkan kualitas data secara akurat. Software pemetaan dengan ArcGIS juga bermanfaat untuk memberikan informasi detail mengenai luasan wilayah target pengembangan serta karakteristik fisik wilayah pengembangan, seperti titik lokasi rawan bencana, kekeringan dan sumber mata air. Semua informasi ini berperan penting dalam menentukan jenis perencanaan pembangunan pada satu kawasan dengan didukung oleh informasi masyarakat setempat.


Comments