Seni Bertahan Hidup Warga “Pinggiran” Kota Jakarta



Tinggal dan hidup di Jakarta memang tidak mudah, masalah Jakarta cukup kompleks sehingga pantas menyematkan status kota sebagai kota dengan tingkat kesabaran warga kota tertinggi di Indonesia terkait dengan berbagai masalah yang melingkupinya. Persaingan hidup dan kerasnya kehidupan ibukota yang selalu menuntut kesempurnaan dan keterampilan tidak lantas mengurungkan niat warga kota dari berbagai daerah untuk mencoba peruntungan di Jakarta. Banjir lima tahunan, kesulitan air bersih, kemacetan, kriminalitas yang tinggi, serta biaya hidup yang mahal tidak serta merta mengurangi minat pergerakan orang dari berbagai daerah menuju Jakarta, satu mimpi dan satu tujuan, Jakarta masih memberi harapan hidup yang lebih baik, sekalipun kemungkinan itu sangat kecil apalagi untuk warga yang tidak punya keahlian apa-apa.

Perbincangan saya dengan salah satu warga muara baru 3 bulan yang lalu memberi perspektif lain bagi saya mengenai kota Jakarta. Permasalahan Jakarta yang begitu bombastis di beberapa media nampaknya tidak sedramatis seperti apa yang dipertontonkan oleh media elektronik.  Warga Muara Baru (Ibu Tini) mengungkapkan bahwa ditengah kesulitan hidup yang dialami keluarganya sejak pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta, tidak membuat nyalinya sedikitpun gentar menghadapi kenyataan itu.

Ibu Tini : “lha dikampung saya, ga ada yang bisa diharapkan mba’, mau kerja apa, lahan garapan ga ada, hidupnya itu-itu saja, saya milih ikut ponakan ke Jakarta”.
Lantas bagaimana dengan kesulitan hidup di Jakarta?, bukankah hidup di Jakarta biayanya tidak sedikit?
Ibu Tini: hidup ga usah ngoyo tho mba’, daripada tinggal dikampung ga ngerjain apa-apa, saya lebih milih di Jakarta, penghasilan tdk seberapa, tapi saya suka karena saya tidak nganggur”.

Perbincangan semakin menarik ketika saya menanyakan masalah banjir yang baru saja terjadi di Jakarta Februari 2013, menurut Ibu Tini, banjir lima tahunan sudah menjadi tamu wajib bagi warga yang tinggal di wilayah pinggiran atau warga yang tinggal di wilayah kumuh. kebersamaan mereka begitu terasa ketika menghadapi masalah seperti banjir. Banjir justru membawa berkah bagi mereka karena melalui musibah, warga kota seperti ibu tini dan warga kota lainnya merasa memiliki ikatan emosional yang sama untuk saling memotivasi, menyemangati dan memberi sekalipun mereka juga tengah kekurangan.

13714597891703113931
Sumber Gambar: Theo Fransisco
Banjir kembali mempertemukan warga kota dalam satu barak pengungsian, di barak tersebut mereka saling bercerita mengenai asal daerah, kehidupan di kampung halaman, alasan ke Jakarta dan masih banyak lagi, bahkan ada yang bertemu jodohnya di tempat pengungsian seperi itu. Ibu Tini dan warga kota lainnya juga merasa bahwa banjir tidak lagi dipandang sebagai masalah besar, mereka justru berharap melalui musibah ini, pemerintah tidak lupa dengan kehidupan minor warga pendatang ini. Ibu Tini dan keluarganya juga menaruh harapan besar terhadap kepemimpinan Jokowi sekalipun mereka tidak menuntut terlalu banyak, sekali lagi prinsip ” jangan ngoyo” membuat Ibu Tini justru lebih rasioanal memandang persoalan hidup, tidak terlalu menyalahkan keadaan.

Hal yang tidak jauh berbeda juga saya temui ketika mengunjungi pemukiman yang berada di pinggir rel kereta api, inilah tempat hidup para pemberani kota Jakarta. Saya mengatakan demikian karena jarak antara rumah dengan rel kereta api hanya menyisakan sempadan kira-kira 60 cm dari bibir rel. Warga yang mendiami perkampungan tersebut sebagian besar telah menempati lokasi rel selama puluhan tahun. Saya kembali tidak habis pikir, bagaimana bisa mereka bisa tinggal dengan tenang di tempat seperti itu?, menambah sedikit view dramatis, di tengah Rel kereta terdapat kursi yang sering digunakan warga setempat untuk duduk bersantai dan menikmati segelas teh hangat di pagi hari.

Dari jauh kereta komuter arah bekasi hendak melintas, dan si ibu kembali memberi kode dengan meneriakkan suara cukup keras bak pantulan suara mkirofon sambil meneriakkan (”oe, kereta-kereta, kiri-kiri”), saya tidak kaget dengan suara keretanya, suara ibu tersebut yang cukup mengagetkan dan mengingatkan saya agar cepat meningglkan tempat tersebut karena kereta akan melintas. cukup memberi sensasi luar biasa, inilah Jakarta, sepelik apapun masalahnya, warga Jakarta tetap optimis dan tidak “cengeng” menghadapi kehidupan. Saya merasa kehidupan warga Jakarta seperti inilah saya menemukan pelajaran berharga bagaimana manusia hidup, bukan bagaimana manusia mempertahankan hidup.

13714587381541603470
Sumber Gambar: Theo Fransisco
1371458935772708829
sumber gambar: Theo Fransisco (Jakarta 13 Februari 2013)
Rasionalitas warga pinggiran kota Jakarta ditunjukkan dengan sikap legowo, tidak ngoyo, bekerja keras tanpa mengharap suatu perubahan kehidupan yang berlangsung secara instan. Mereka bukan kaum yang memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi, tetapi mental juara yang mereka realisasikan sudah seharusnya membuat malu orang kota yang mengaku cerdas dan hebat justru tidak mampu menghargai hidup, seperti dengan melakukan tindakan bunuh diri karena tekanan hidup yang semakin berat, atau perilaku korup kalangan terdidik lainnya (segelintir). Semoga pemerintah dan masyarakat kota yang hidup berkecukupan di Jakarta tidak memandang sebelah keberadaan mereka, nikmatilah Jakarta dengan keberagaman warganya, selama senyum masih nampak di wajah warga kota, selama itu pula kita masih bisa meyakini bahwa kita masih hidup, belum “mati” dimatikan oleh individualisme.
***

Comments