Kota menyimpan harapan juga masalah bagi warganya. Kota menjadi tumpuan harapan untuk kehidupan yang lebih baik. Namun kota bisa menjadi sumber masalah ketika sumber daya tidak terdistribusi secara merata bagi penduduk kota. Gibson (1948), “the future is here, it’s just not evenly distributed yet”. Bahwa masa depan sesungguhnya ada pada masa kini, selama ini kita melihat bahwa masa depan adalah “esok”. Apa yang kita miliki saat ini (masa kini), tidak pernah benar-benar kita persiapkan untuk menunjang kehidupan di masa kini. Padahal kehidupan di masa depan sangat dipengaruhi perilaku dan rencana masa kini.
Seperti halnya dengan kota, permasalahan kota yang kita saksikan menunjukkan bahwa tidak ada harapan yang lebih baik untuk kehidupan di kota. Alasan bagi warga diluar wilayah kota memasuki/berpindah ke wilayah perkotaan karena ada harapan bahwa di kota, bisa “menghasilkan” banyak uang (ekonomi). Pertumbuhan ekonomi, permintaan tenaga kerja, dan eksploitasi hasil pertanian untuk kehidupan perkotaan menjadi semacam “export-oriented”.
SDA di pedesaan khususnya sektor pertanian, menjadi penopang kehidupan masyarakat kota. kemudian pertumbuhan ekonomi di wilayah perkotaan menuntut ruang yang lebih luas. Maka terjadi ekspansi/perluasan kawasan perkotaan yang sebelumnya menjadi wilayah pedesaan, parahnya adalah ketika perluasan kawasan perkotaan dilakukan, sasarannya adalah tanah pertanian. Tanah yang telah memberi kehidupan bagi masyarakat kota.
20 Tahun yang akan datang, kota seperti apa yang akan terbentuk?
Bila membandingkan kota Jakarta dengan Singapura dan Kuala Lumpur, tentu Jakarta sangat jauh berbeda dengan kedua ibukota negara tersebut. Beragam spekulasi menyebutkan diantaranya adalah karena Singapura dan Malaysia adalah negara bekas jajahan Inggris. Inggris sebagai negara persemakmuran, dinilai sangat memperhatikan negara jajahannya. Sedangkan Indonesia, setelah merdeka dari penjajahan Belanda, harus memulai pembangunan dari awal.
Warisan pengetahuan tentang penataan kota adalah duplikasi penataan kota di Negara Belanda, yang dikenal sebagai kota 1000 kanal. Implikasinya terhadap penataan kota di Jakarta, lahirlah kanal-kanal yakni Banjir Kanal Timur dan Banjir Kanal Barat. Sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, Indonesia khususnya kota Jakarta memiliki peluang dan tantangan besar di masa yang akan datang. 20 tahun yang akan datang negara- negara di Asia menjadi pusat pembangunan dan perekonomian seluruh dunia (Cina & Jepang).
Jakarta dan kota lain di Indonesia, jika tidak bersiap menghadapi tantangan masalah lingkungan dan penataan kota hingga 10 tahun berikutnya (2010-2020), maka kita tinggal menanti kehancuran kota di Indonesia. Dalam hal ini kita tidak sedang meramal dan menerka-nerka masa depan kota kita. Namun fakta yang ada saat ini, sudah seharusnya menjadi tanggung jawab bersama masyarakat dan pemerintah.
Berdasarkan data UN (United Nation), sebanyak 191 juta jiwa (2005): 115 juta jiwa tinggal di negara maju, dan 75 juta jiwa tersebar di negara berkembang. Setengah dari populasi yang melakukan perpindahan tersebut adalah wanita. Masalahnya adalah, kota bahkan tidak cukup aman untuk warga kota perempuan. Kasus pemerkosaan, pembunuhan, dan diskriminasi lainnya menegaskan bahwa pembangunan kota belum mampu menjawab tantangan urbanisasi yang dilakukan oleh kaum hawa.
Estimated percentages of female migrants 1990-2005
Source: Report of the UN secretary-general on International migration development
Pertumbuhan penduduk di wilayah perkotaan (urbanisasi) sangat rentan dengan isu segregasi dan kemiskinan. Masalah utama urbanisasi saat ini adalah kebutuhan rumah/tempat tinggal-infrastruktur, karyawan/buruh-kebijakan pemerintah. Kota telah menjelma sebagai pusat harapan dan kesempatan. Walau demikian segregasi kelompok, eksploitasi tenaga kerja, dan diskriminasi masih menjadi fenomena sosial masyarakat perkotaan.
Kota Untuk Peradaban Manusia
Warga kota, baru dikatakan mencapai tingkatan peradaban melalui penataan dan perancangan kota. Kota yang maju, semata-mata bukan karena bangunan secara fisik terlihat megah. Kota yang maju adalah ketika kota telah mencapai tahap lestari. Mari kita perhatikan, kota tempat tinggal kita, apakah kota telah membawa ke peradaban atau kita hanya bergerak mengikuti perkembangan kota yang sedang berlangsung?.
Kesadaran kita terhadap aksi kecil dalam kehidupan sehari-hari seperti membuang sampah pada tempatnya, menjaga kebersihan sungai, memelihara lingkungan tempat tinggal, menanam pohon adalah bentuk peradaban manusia. Karena jika tidak “beradab”, kita tidak akan mencapai cara berfikir paling sederhana “buang sampah pada tempatnya”. Satu tingkat diatasnya adalah ketika manusia mulai melakukan “sesuatu” pada benda yang fungsinya sudah habis, seperti mendaur ulang sampah, memanfaatkan air hujan dan air sungai, pengolahan limbah dsb.
Kondisinya bahkan akan sangat jauh berbeda jika warga di satu kota hanya menjadi warga pasif. Pembangunan infrastruktur perkotaan, tidak akan menjamin lahirnya peradaban manusia, jika manusia masih bersikap pasif. Abai terhadap lingkungan, cenderung hanya menjadi penikmat bukan pengguna. Tubuh jika jarang bergerak dan melakukan beragam aktivitas, memicu munculnya berbagai macam penyakit. Begitupun dengan kota, warga yang pasif memelihara lingkungan perkotaan, justru menambah beban pencemaran lingkungan bagi kota, Cities are Cancers.
Mewujudkan kota sebagai peradaban manusia, perlu dimaknai sebagai sebuah organisme atau mekanisme bukan mesin. Kota sebagai organisme, seperti molekul yang saling mempengaruhi agar berfungsi secara maksimal. Demikian juga dengan kota, sampah yang dihasilkan di daur ulang, limbah penggilingan padi dapat diproses untuk menjadi pupuk, serta menjaga kelestarian hutan kota. Menjaga/memelihara lingkungan dengan mengembalikan seluruh prosesnya ke alam. Tujuannya sederhana agar kembali mengasah kepekaan lima panca indera. Tindakan yang kelihatannya sederhana namun inilah peradaban manusia sesungguhnya yang akan membentuk peradaban sebuah kota.
Masuk ajal juga kalau disebut kota sebagai pusat kanker.
ReplyDeleteKarena memang di sana semua penyakit berasal, dan kotanya sendiri sakit.
Berarti tidal ada kota yang benar2 sehat dong. Seperti kutipan TravelAdvise bahwa Jakarta mengalami "epidemic of malls", kota paling menyenangkan seperti Copenhagen belum tentu mengalahkan sisi humanis kota2 yang secara visual berantakan.
Berarti, membangun kota terpadu akan percuma kalau kehidupannya tetap berjarak, bukan?
Tulisan juara....
Ohiya, nama BKT itu sudah dikoreksi di era gub Foke,
ReplyDeleteBahasanya diperbaiki jadi KANAL BANJIR TIMUR, begitu pulanyang baat.
terasa lebih logis. :)
terima kasih fan komentarnya..
ReplyDeleteperencanaan kota "terpadu" justru diharapkan agar menumbuhkan
kembali sisi humanis suatu kota. Tujuan digalakkannya transportasi massal,
selain untuk mengatasi kemacetan, dari sisi sosial agar warga kota masih
bisa brinteraksi dengan warga lainnya.
mengapa digalakkan RTH publik, selain manfaat untuk lingkungan
juga bertujuan untuk membangun kebersmaan dengan warga kota
lainnya, krena di ruang publik kita tdk mengenal "siapa elo, siapa gue".
semuanya berbaur..
mengenai BKT, terima kasih juga sudah meluruskan
sy sudh mengeditnya,di blog kompasiana..
sekali lag makasih ndi :)