Toraja, Kristen, dan Kekhasan Budaya

Perjalanan ke kabupaten Tanah Toraja (Sulawesi Selatan) saya lakukan sekitar tahun 2009. Saat itu sedang ada tugas lapangan untuk mata kuliah penginderaan jauh. Perjalanan menuju kabupaten Toraja dari kota Makassar sekitar 9-10 jam. Saya sudah lama dibuat penasaran oleh cerita dari teman, keluarga yang sebelumnya pernah berkunjung ke Tana Toraja. Nuansa adat yang begitu kental dan kesan horor adalah hal yang paling sering mewarnai imaginasi saya tentang Tana Toraja, karena katanya jenazah warga tidak langsung di makamkan melainkan di awetkan dan disimpan di gua, tempat ini dinamakan Londa.

Akses menuju Kab.Toraja pada saat itu sudah memadai, infrastruktur jalan mendukung berbagai aktivitas lintas kabupaten dan provinsi. Sebelum memasuki kabupaten Tana Toraja, saya dan rombongan menyempatkan istirahat sejenak di kabupaten Enrekang. Pemandangan di Enrekang tidak kalah menarik dengan pemandangan yang ada di kabupaten sebelumnya. Kami berhenti tepat di pinggir jalan, dan mengarah langsung ke gunung yang terkenal di Enrekang, Gunung Nona. Konon disebut Gunung Nona karena bentuknya yang menyerupai alat kelamin (maaf) wanita.

138137491099563400
Gunung Nona di Kabupaten Enrekang (2009)
13813750691842781548

Jam 9 malam saya akhirnya tiba di kabupaten Tana Toraja. Perbedaan yang paling nyata saya rasakan ketika berada di Tator adalah suasana kota tua dan seperti tersembunyi. Karena Tator dikelilingi oleh pegunungungan sehingga ketika memasuki kotanya, kita merasa seakan dikepung/dikelilingi dinding yang tinggi. Ini pemandangan alam luar biasa, Tator saya anggap kota tua bukan karena banyaknya peninggalan bangunan Belanda atau sisa bangunan zaman penjajahan. Melainkan karena Toraja masih menggunakan ciri khas rumah adat Tongkonan di setiap bangunan rumah atau bangunan publik lainnya.

rumah tongkonan Toraja (Sul-Sel). sumber : wikimedia.org
rumah tongkonan Toraja (Sul-Sel). sumber : wikimedia.org
Penduduk Toraja mayoritas beragama Kristen, akan tetapi toleransi mereka terhadap warga Muslim sangat tinggi (seperti itu yang saya lihat). Warga Muslim yang berkunjung ke daerah Toraja tidak perlu khawatir soal makanan. Penduduk asli Tator khususnya umat kristiani sangat paham betul hal-hal yang menjadi batasan umat muslim dalam mengkonsumsi makanan, misalnya daging babi. Setiap warung makan di Toraja pasti menyertakan informasi mengenai warung mereka, contohnya warung makan babi, bakso babi, tidak samar-samar seperti B2 misalnya.

Didaerah di mana agama mereka menjadi mayoritas, masyarakat Toraja semakin menunjukkan toleransinya pada umat muslim yang hanya seberapa di kabupaten ini. Hal ini juga menunjukkan bahwa masyarakat Kristen di Toraja menyadari dan memahami nilai sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Masalah agama merupakan hal yang paling rentan menimbulkan konflik, dan masyarakat Tator menjaga gesekan itu dari hal paling mendasar, makanan. Ini bentuk toleransi yang perlu kita apresiasi ditengah konflik antar agama bahkan sesama agama yang sering terjadi di berbagai daerah.

Tempat menarik selanjutnya yang kunjungi adalah, Kete’kesu. Wah, saya tidak bisa membayangkan pada saat itu, betapa unik dan sakralnya budaya tanah para leluhur ini. Kete’kesu merupakan pemakaman khusus masyarakat Tator yang diawetkan. Jadi sanak saudara yang baru saja meninggal dunia tidak langsung dikuburkan. Jenazah ini disimpan terlebih dahulu, mereka mengawetkan jenazah ini hingga beberapa tahun. Masyarakat Toraja masih percaya bahwa sanak keluarga yang meninggal tidak langsung meninggalkan bumi. Melainkan masih ada disekeliling mereka. Ketika jenazah  sudah bisa dikebumikan, masyarakat Toraja akan mengadakan hajatan luar biasa meriahnya.

13813751771338250758
salah satu jenazah yang diawetkan (lok.Kete
1381375285229412161
salah satu bagian dari rumah Tongkonan
Sayang sekali, kedatangan saya pada waktu itu tidak bertepatan dengan acara pemakaman warga yang sudah meninggal. Acara pemakaman ini bisa menelan biaya hingga ratusan juta. Namun seluruh biaya tidak ditanggung sepenuhnya oleh satu pihak keluarga. Tetapi teman, dan kerabat dekat ikut menyumbang pada acara tersebut. Nantinya yang punya hajatan akan membalas bantuan yang sudah diberikan. Kalau kita mengamati dari sisi materi, orang akan berpendapat hal tersebut kurang bermanfaat karena menghabiskan banyak biaya untuk keluarga yang sudah meninggal. Akan tetapi saya menilai bahwa, dengan cara seperti ini mereka bisa mempertahankan budayanya, mereka mengajarkan kita nilai kebersamaan dan saling membantu.
13813754101036684129
deretan rumah tongkonan di Kete

Kegiatan ini merekatkan kembali hubungan keluarga dan sahabat yang berada di tempat jauh. Dan yang paling penting adalah tindakan mereka merupakan bentuk penghargaan paling tinggi terhadap sanak keluarga yang semasa hidupnya menjadi panutan. Ini menjadi pemahaman bahwa selama hidupnya masyarakat Toraja akan mengamalkan nilai-nilai kebaikan bagi anak cucu mereka. Agar anak cucu mereka membangun sikap penghargaan atas nilai kebaikan yang mereka dapatkan. Sehingga merayakan hajatan meriah pada saat pemakaman sanak keluarga merupakan bentuk pengormatan atas ajaran nilai-nilai kebaikan yang diwariskan secara turun menurun. Nilai-nilai kebaikan dan kehidupan ini tidak akan bisa dibeli oleh apapun, dan inilah budaya masyarakat Toraja yang selalu dipertahankan.

Comments