Sustainable development is puzzling. On the one hand, the term means; sustainable development means economic development and standar of living which do not impair the future ability of the environment to provide sustenance and life support for the population (F.Douglas Munschet)
Ibarat sebuah puzzle, sasaran pembangunan berkelanjutan dihadapkan pada dua pilihan dilematis. Satu sisi pembangunan berkelanjutan menyasar perilaku manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam untuk meningkatkan taraf hidup. Namun disisi lain upaya ini membutuhkan teknologi yang cukup besar. Bahwa upaya meningkatkan taraf hidup tersebut telah menghilangkan prinsip kearifan lokal dalam pemanfaatan sumberdaya.
Energi, salah satu bagian dari prinsip pembangunan berkelanjutan, cukup menarik apabila melihat potensi sumber energi di Indonesia. Menyadari bahwa dengan potensi SDA di Indonesia, bukan suatu hal mustahil untuk pengembangan sumber energi lestari dan berkelanjutan. Potensi alam khususnya energi di Indonesia, sudah ada di depan mata.
Namun apakah fakta kekayaan SDA untuk energi terbarukan dapat segera diwujudkan? Saya menilainya tidak sesederhana itu. Bahwa benar, potensi panas bumi, tenaga surya, angin adalah sumber energi potensial yang menjamin ketahanan pangan energi nasional. Namun pengelolaan energi berkelanjutan tentu membutuhkan energi yang lebih besar lagi.
Saya akhirnya mencoba menemui salah satu pengamat tata kota Marco Kusumawijaya, pendiri dan direktur RUJAK (Ruang Jakarta) Urban Studies untuk menanyakan lebih lanjut persoalan energi khususnya hemat energi. Sebelumnya Marco Kusumawijaya pada kegiatan Akademi Berbagi (AkBer) Yogyakarta tanggal 25 September 2013 menjelaskan mengenai kota lestari, yang saat ini lebih dikenal dengan istilah kota berkelanjutan.
Dalam paparannya, Marco menegaskan bahwa berbagai kebijakan mengenai hemat energi, efisiensi energi adalah bahasan yang cukup kompleks dan membutuhkan kehati-hatian. Kehati-hatian yang dimaksud adalah cermat berhitung dan tidak terjebak dalam “jebakan hijau”.
Saya tertarik dengan satu kata yang terus diulang Pak Marco yakni entropi. Beliau menjelaskan keterkaitan antara energi yang dihasilkan dengan nilai entropi yang dikeluarkan. Nasi (energi potensial) yang kita konsumsi saat ini memiliki entropi tinggi, dibandingkan ketika masih berupa beras, yang nilai entropinya rendah. Artinya ketika beras diolah menjadi nasi, dibutuhkan sumber energi lain (minyak tanah, gas) untuk menghasilkan sumber energi baru bagi tubuh.
Contoh lainnya seperti pengolahan makanan untuk sayuran dan daging ayam, dan sapi. Energi yang dikeluarkan ketika memasak sayuran tidak sebesar ketika memasak daging ayam dan sapi. Untuk memasak daging sapi misalnya bisa menghabiskan waktu hingga 1 jam. Atau ketika menggunakan oven listrik, menggunakan tenaga 1.000 watt (1 kilowatt) dan oven dinyalakan selama satu jam untuk memanggang kue. Total energi yang digunakan adalah 1 kilowatt-jam/kWh (=3.600 kilojoule),Mediastika,2013.
Saya mencari literatur lain mengenai entropi, dan akhirnya menemukan penjelasan yang berkaitan antara entropi dan energi yang dikemukan oleh W.Van Gool dalam buku “Energy and Time in Economic and Physical Sciences”.
(it must be remarked that in nature two tendencies play a role when a system is not in equilibrium: one the that tries to pull the system in the direction of the lowest energy and the other is to get the system into the most probable situation, W.van Gool).
Efisiensi energi akan terbentur pada sebuah sistem yang tidak seimbang. Di satu sisi kita berusaha untuk menggunakan energi secara efisien, namun pada bagian lainnya kita membutuhkan mekanisme tambahan untuk memperoleh energi. Pak Marco menjelaskan bahwa hemat energi adalah mengembalikan pada alam. Alam yang akan memproses energi, tidak menggunakan mekanisme tambahan.
Mekanisme tambahan yang dimaksud yakni menambahkan teknologi lain. Misalnya, mengurangi pemakaian energi listrik untuk penerangan (siang hari), mengatur tata letak bangunan, agar mendapat sinar matahari yang cukup tanpa menggunakan lampu apalagi disiang hari. Untuk menghemat listrik di malam hari kita menggunakan saklar nonparalel. Saklar nonparalel lebih hemat energi karena setiap ruang memiliki saklar sendiri, sehingga menghindarkan kita dari penggunaan energi yang tidak perlu di ruangan lain.
Jika sistem ini dipahami, maka masyarakat sampai pada tahap cermat, yakni cermat dalam pemilihan dan pemanfaatan energi. Cermat energi menekankan pada kemampuan masyarakat memilah dan menghitung kebutuhan energi, bukan membatasi. Contoh yang dipaparkan oleh Pak Marco seperti pemasangan saklar nonparalel, memanfaatkan material bangunan dari tanaman, seperti bambu serta sistem pencahayaan.
Saya kembali mendesak dengan pertanyaan, “apakah ketika kita (manusia) sudah berada pada tahap cermat berhitung soal energi, kita tidak perlu terburu-buru (latah) memanfaatkan energi terbarukan? Pak Marco kemudian menjelaskan bahwa, bahkan penyebutan ‘energi terbarukan’ tidaklah benar-benar demikian, karena energi terbarukan yang ada selama ini berasal dari SDA yang sudah ada di muka bumi. Pak Marco memilih menggunakan kata subtitusi, pengganti. Kita tetap membutuhkan sumber energi pengganti, dengan memanfaatkan tenaga surya, dan angin untuk ketahanan energi demi kebutuhan energi umat manusia. Akan tetapi kita harus cermat dalam mengambil kebijakan soal energi. Kita perlu berhitung, agar penghematan yang dilakukan tidak menghabiskan energi baru di bidang lain.
Mengelola Energi Masa Kini untuk Masa Depan
Potensi SDA untuk energi yang sudah ada sejak dahulu seperti tenaga surya, matahari, air, angin, biomassa, biofuel, biodiesel, biogas dan panas bumi membutuhkan rencana kebijakan pengelolaan energi secara subtansial. Seluruh sumber energi masa depan tersebut dimiliki bangsa kita, Indonesia. Pengelolaan dan pengembangannya saat ini telah tertuang dalam peraturan pemerintah No. 70 tahun 2009 tentang konservasi energi.
Saat ini masyarakat baik individu maupun komunitas telah mengembangkan energi masa depan seperti yang dikemukakan sebelumnya. Namun saya tidak ingin gegabah dalam mendemonstrasikan seluruh potensi energi masa depan tersebut, tanpa ada landasannya.
Saya mengambil contoh sumber energi dari biogas yang banyak dikembangkan di pedesaan. Masyarakat di pedesaan mengembangkan sumber energi terbarukan. Pengembangan energi berkelanjutan umumnya dilakukan di wilayah pedesaan, mengingat lahan di wilayah kota juga sangat terbatas. Kegiatan ini bertujuan untuk melakukan efisiensi sumber energi fosil dan batubara yang semakin sedikit jumlahnya. Maka dikembangkalah energi masa depan/berkelanjutan. Kenyataan yang ada saat ini, penggunaan energi terbesar berada di wilayah perkotaan.
Pemakaian energi di pedesaan tidak seberapa jumlahnya apabila dibandingkan dengan pemakaian energi di wilayah perkotaan. Warga desa setiap hari hanya menggunakan energi untuk beberapa kebutuhan saja, misalnya untuk penerangan dan mengolah pangan. Masyarakat pedesaan kemudian dianjurkan untuk mengembangkan biogas dari kotoran ternak. Masyarakat pedesaan berusaha mengembangkan sumber energi selain batubara, padahal pemakaian/konsumsi/ketergantungan pada energi tidak sebanyak di wilayah perkotaan.
Sementara di wilayah perkotaan, pemakaian energi begitu besar jumlahnya, namun upaya apa yang telah dilakukan warga kota untuk efisiensi energi?. Saya berharap tidak berujung pada satu kesimpulan, warga desa melakukan efisiensi energi secara langsung maupun tidak langsung ternyata untuk memenuhi kebutuhan energi di wilayah perkotaan? Apabila kondisi ini yang berlangsung secara terus menerus maka sesungguhnya kita tidak pernah mencapai efisiensi energi walaupun telah memanfaatkan sumber energi berkelanjutan.
Jika tidak ada upaya efisiensi energi dalam perencanaan kota pada bidang tata guna lahan dan transportasi (makro) dan bangunan (mikro), maka kita tidak akan memperoleh manfaat secara signifikan dalam pemanfaatan energi berkelanjutan. Ibaratnya kita melakukan efisiensi energi secara maksimal di wilayah pedesaan untuk dihabiskan dalam jumlah paling maksimal di wilayah perkotaan.
(The conservation, efficiency and renewable energy strategies in this Plan are intended to keep a larger portion of these expenditures in the community, stimulating the local economy).
Mengelola energi bagi kelangsungan masa depan, maka yang perlu dipahami adalah bagaimana melakukan strategi pengelolaan energi pada 5 sektor vital dalam perancangan dan pengembangan kota. kelima sektor tersebut adalah:
1. Land use (Penggunaan lahan): kebijakan dalam perenacanaan tata guna lahan sangat mempengaruhi penggunaan energi dan emisi dari transportasi dan bangunan. Misalnya, melalui perencanaan kota kompak (city centre), terutama bagi daerah seperti Jakarta yang secara de facto meluas sampai Bekasi, Tangerang, Depok, dan daerah disekitarnya.
2. Transportation (Transportasi): mengutamakan pengadaan infrastruktur dan transportasi massal. Pemborosan energi paling besar berada di sektor transportasi. Tidak hanya moda yang dibenahi namun sistem jaringan transportasi terpadu perlu ditingkatkan.
3. Building (Bangunan): dalam melakukan efisiensi energi pada bangunan perlu ditekankan pada dua hal yakni pemilihan dan pemanfaatan. Pemilihan material dan pemanfaatan, seperti mengatur sistem pencahayaan baik yang bersumber dari cahaya matahari maupun cahaya lampu.
4. Pemecah angin: pemecah angin dapat berupa pepohonan, bergerak mengikuti perubahan arah angin agar energi dalam bangunan tidak lekas hilang.
5. Mengurangi pengerasan. Pada bangunan misalnya, menyediakan sebagian lahan untun resapan air sesuai dengan KDB setiap bangunan.
Perencanaan dan perancangan kota juga perlu dilibatkan dalam pengelolaan energi, karena aktivitas pembangunan kota membutuhkan sumber energi yang sangat besar. Untuk memenuhi kebutuhan energi perkotaan, maka pengelolaan sumber energi dan efisiensi energi lebih tepat difokuskan pada wilayah perkotaan terlebih dahulu. Dalam mewujudkan ketahanan energi yang perlu kita pahami adalah pemanfaatan energi secara cermat dan merata oleh semua lapisan masyarakat yang berada di wilayah perkotaan maupun pedesaan.
Saya setuju dengan usaha yang dikembangkan masyarakat untuk mengembangkan berbagai sumber energi berkelanjutan misalnya biogas, tenaga surya, dll. Irawan staf penelitian pusat studi energi UGM mengatakan jika panel surya yang digunakan untuk menghasilkan sumber energi dari tenaga surya juga lebih ramah lingkungan. Pengembangan studi energi yang dilakukan oleh UGM bisa dilihat disini. Panel surya tidak menghasilkan emisi yang terbuang di udara. Akan tetapi, kita perlu menempatkan ide ataupun pengembangan ilmu pengetahuan pada sasaran yang tepat. Agar pengembangan ilmu pengetahuan kita bisa membawa manfaat dalam kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya.
Sumber:
1. Wawancara bersama Marco Kusumawijaya (26 Oktober 2013)
2. International Resource Panel (UNEP)
3. Christina E. Mediastika
4. Wawancara bersama Irawan Ekoprabowo (29 oktober 2013)
Alamat BPR (bumi Pemuda Rahayu): Dukuh Banjarharjo,Desa Muntuk, Kecamatan Dlinggo Kabupaten Bantul
Comments
Post a Comment
Apa pendapatmu?