Ekosistem yang Terancam: Kasus Danau Tempe

Masyarakat di pedesaan selama ini cenderung dianggap sebagai client atau pasien, sehingga pihak yang merasa paling benar dan paling paham adalah konsultan pelaksana, atau pekerja proyek. Dua tahun lalu (Agustus 2011) setelah menyelesaikan ujian akhir S1, saya berbincang dengan salah satu teman terkait skripsinya tentang Danau Tempe.

Skripsi yang diangkat membahas tentang kehidupan masyarakat di Danau Tempe beserta kearifan lokalnya.Danau tempe, juga dijuluki sebagai mangkuk ikan Indonesia dan menjadi landmark kabupaten Wajo (Sulawesi Selatan). Ciri khas masyarakat di Danau Tempe adalah bermukim “terapung”.
13861791421406502672
Pemukiman terapung masyarakat Danau Tempe
Uniknya masyarakat ini juga memiliki rumah di daratan, mereka memiliki dua tempat tinggal. Karena sebagian besar masyarakat berprofesi sebagai nelayan, maka nelayan memilih untuk mendirikan rumah apung. Setiap Jumat, nelayan ini kembali ke daratan, biasanya Kamis sore sebagian nelayan kembali ke daratan.

Mata pencaharian penduduk Desa Pallimae sangat bergantung pada kondisi perairan di Danau Tempe. Jika air sedang pasang maka masyarakat kembali melakoni profesi nelayan. Namun jika air danau mengalami surut masyarakat beralih profesi menjadi petani palawija di danau yang kering. Pada musim kemarau, volume air danau 9.087 ha, sedangkan pada musim penghujan seluas 25.858 ha. Sedimentasi di kawasan Danau Tempe menyebabkan jumlah ikan semakin berkurang setiap tahun.

13861792322080585701
Peta luas Danau Tempe pada musim hujan dan kemarau
Luas danau pada musim kemarau seluas 5.359 ha dan pada musim hujan seluas 18.896 ha dengan perbedaan luas Musiam Tinggi air musin kemarau dan hujan seluas13.367 ha. Pada tahun 2010 produksi ikan danau Tempe hanya 3.231 ton /tahun mengalami penurunan 400% dari tahun 1950 (Surur, 2011). Populasi ikan yang tidak menentu dan semakin berkurang menyebabkan perubahan pola mata pemanfaatan ruang danau. Masalah lingkungan di kawasan Danau Tempe mempengaruhi kelangsungan ragam fauna di Danau Tempe.

1386179710451317428
Produksi ikan di Danau Tempe
Sumber : Dinas Lingkungan Hidup SUMPAPUA

Total sedimen yang masuk ke Danau Tempe adalah 1.069.099 juta m3. Kerusakan  ekosistem Danau Tempe menyebabkan punahnya beberapa burung air jenis Kuntul (Glassy Ibis). Jumlah produksi ikan mengalami penurunan dari tahun ke tahun, dan sejak 10 tahun terakhir (2000-2010) jumlah produksi ikan terus berkurang.

Perubahan ekosistem Danau Tempe tidak hanya berdampak pada masalah lingkungan. Kepunahan lain yang akan terjadi adalah terkikisnya nilai-nilai kearifan lingkungan. Desakan ekonomi akibat degradasi lingkungan melabrak nilai kearifan untuk tetap mempertahankan batasan pemanfaatan kawasan.

Tidak ada lagi penerapan nilai budaya seperti zona Makkaja, Cappeang (lokasi tempat penangkapan/penangkaran ikan)Bungka’ Toddo (zona pemanfaatan perairan danau Tempe untuk menangkap ikan dengan memanfaatkan gulma air untuk digunakan sebagai alat bantu penangkapan ikan) dan Makkaja Lalla (Zona ini bersifat umum untuk seluruh wilayah perairan Danau Tempe dan merupakan zona pemanfaatn paling luas) yang dipertahankan. Kerusakan ekosistem menghilangkan zona-zona budaya yang terbentuk dari kearifan lingkungan.

13861798671242922226
1386179988493030537

Danau Tempe bukan hanya perihal kawasan konservasi, dan lingkungan. Ada nilai budaya dan sosial masyarakat yang terbangun di dalamnya. Membentuk sebuah peradaban sendiri, yang terpelihara secara turun temurun. Peradaban yang membungkus sendi-sendi kehidupan. Merupakan denyut nadi perjalanan kehidupan masyarakat yang menangkap harapan ditengah perubahan lingkungan. Peradaban mereka disempurnakan dengan istilah “kearifan lokal”, lantas mengapa ada kata lokal di dalamnya?.

Masyarakat ini adalah bagian dari kehidupan kita, secara utuh membangun kehidupan bersama. Mereka yang mengajarkan nilai kearifan, diyakini berasal dari masyarakat lokal sedangkan modernitas berasal dari kaum urban. Jika memandang objek tersebut secara terpisah maka tidak akan pernah tercapai keselarasan dalam membangun nilai kehidupan. Modernitas akan menganggap pihaknya sebagai komunitas yang paling paham, dan memandang masyarakat lokal sebagai client.

Manfaat yang diharapkan adalah proses belajar bersama, sebagai rekan yang saling mengisi lembar kebijaksanaan. Bersama membangun, memelihara, dan melestarikan. Tidak perlu membangun konsep ala “dokter dan pasien”, menempatkan masyarakat lokal sebagai pasien, dan pemerintah berperan sebagai dokter. 

Masyarakat lokal yang memelihara kearifan budaya dalam melestarikan lingkungan adalah guru. Guru yang menghadirkan pelajaran dan praktik nyata bagi kaum urban tentang bagaimana mengenal, membangun kepekaan dan memelihara kelangsungan masa depan lingkungan dan sumber daya alam.


RIWAYAT PETA:
1.   Peta Rupa Bumi Tahun 1999 Skala 1:50.000
2.   Citra Landsat TM 7 Tahun 2000
3. Citra Landsat Tahun 2002


** Keterangan Gambar
1. Teknik Penangkapan Metode Cappeang- Palawang -(Fadhil Surur)
2. Teknik Penangkapan Metode Bungka Toddo’ - (Fadhil Surur)
3. Teknik Penangkapan Metode Makkaja Lalla - (Fadhil Surur)
4. Zona  Bermukim Terapung -(Fadhil Surur)

Comments