Reformasi Birokrasi, Imigrasi Yogyakarta Sukses Menerapkan

suasana pengurusan paspor di dalam Kantor imigrasi (jengarmala.blogspot.com)
suasana pengurusan paspor di dalam Kantor imigrasi (jengarmala.blogspot.com)

Hampir seminggu, saya dan teman bolak-balik ke kantor imigrasi kelas I Yogyakarta. Setiap mengunjungi kantor Imigrasi tersebut saya selalu mendapati jumlah pengunjung yang membludak. Sebelum kantor Imigrasi mulai beroperasi jam 08.00 pagi, pengunjung dengan sigap menanti di depan pintu kantor. Ternyata animo masyarakat kita melakukan perjalanan ke luar negeri begitu tinggi.

Pelayanan publik, saya melihat pelayanan publik di kantor Imigrasi kelas I Yogyakarta berjalan dengan baik. Papan informasi dan petunjuk mengenai proses pembuatan paspor terpampang dengan jelas. Petugas Imigrasi juga cekatan melayani berbagai macam pertanyaan pengunjung yang baru pertama kali mengurus paspor.

Di bagian depan, ada petugas yang memberi nomor antrian, petugas ini akan memberi nomor antrian berdasarkan tahapan proses pengurusan paspor. Batas waktu pengambilan nomor antrian dibatasi sampai pukul 11.00 siang. Pada saat teman saya mendaftarkan berkas pengurusan paspor, ternyata masih ada kelengkapan berkas yang belum dipenuhi. Petugas loket tersebut memberikan keterangan sejelas-jelasnya agar pada kunjungan berikutnya semua kelengkapan berkas terpenuhi.

Pelayanannya juga terbilang cepat, dibandingkan pengalaman saya sebelumnya. Dua tahun yang lalu (2011) saya pernah mengurus paspor baru dan bisa memakan waktu hingga 3 minggu. Jika datang lebih pagi sekitar jam 08.00 maka pengurusan paspor bisa berjalan cukup singkat (khusus tahap wawancara). Biasanya memakan waktu hingga 1 jam.

Pelayanan publik dan reformasi birokrasi terbukti memberikan pelayanan yang lebih baik. Dari segi efisiensi waktu, pembuatan paspor tidak memakan waktu lama. Jika sebelumnya memakan waktu hingga 3 minggu, sekarang paspor sudah jadi dalam waktu 10 hari. Sistem elektronik dan IT yang digunakan semakin baik, hal ini menunjang tingkat ketepatan waktu pembuatan paspor.

Masalah lain yang teman saya temui terletak di kelengkapan berkas keterangan surat domisili. Kebetulan kami berasal dari Sulawesi Selatan, sehingga KTP asal tidak bisa digunakan untuk mengurus beberapa keperluan di Yogyakarta. Maka surat keterangan domisi menjadi syarat mutlak yang berfungsi seperti KTP, namun sifatnya temporer, jangka waktunya hanya satu tahun.

Pengalaman membuat surat keterangan domisili menjadi pelajaran penting bagi saya. Agar ketika memutuskan menetap dalam jangka waktu yang lama di satu daerah, maka hal pertama yang perlu dipersiapkan adalah membuat surat keterangan domisili. Surat keterangan domisili disebut juga SKTS atau Surat Keterangan Tinggal Sementara.

SKTS inilah yang digunakan untuk mengurus persyaratan tertentu, seperti beasiswa, surat keterangan catatan kepolisian, surat pernyataan sebagai mahasiswa baru, dll. Walaupun agak sedikit repot, saya menilai jika pembuatan SKTS merupakan “etika berdomisili”. Sebagai pendatang dari daerah lain, memasuki “rumah” orang lain berarti harus meminta ijin terlebih dahulu. Sebagai pendatang ada kewajiban yang harus dipenuhi agar yang punya “rumah” senang menyambut kedatangan kita. Pembuatan surat keterangan domisili juga menjadi sarana silaturahmi dengan masyarakat lain.

Ibu RT yang rumahnya berada tepat di depan asrama kami cukup membantu dalam proses bersosialisasi dengan warga setempat. Berkat kemampuannya membangun komunikasi positif dengan warga pendatang dan warga pedukuhan, kami menjadi lebih terbuka dengan masyarakat setempat. Kami sering dilibatkan pada kegiatan di pedukuhan, walaupun tidak selalu rutin mengikuti.

Pengurusan paspor juga banyak terbantu dari bantuan ibu RT di dukuh saya. Karena sudah menjadi bagian dari warga pedukuhan maka ketua RT akan bertanggung jawab selama kami menjadi bagian dari warganya. Tadinya saya termasuk orang yang agak acuh soal urusan administrasi seperti pembuatan surat domisili.

Sebagai pendatang, saya menganggap jika saya tidak perlu mengurus surat domisili, toh saya tinggal hanya setahun – dua tahun. Namun belakangan saya sadar bahwa saya hidup di tanah lain. Setiap hari saya menggunakan sumber daya di tanah tersebut. Sangat tidak “sopan” jika kehadiran saya tidak dilaporkan atau tinggal tanpa “keterangan”. Banyaknya kasus ketidakharmonisan pendatang dan warga asli tidak lepas dari mental “cuek” warga pendatang.

Tinggal di daerah baru, makan dan minum, menikmati fasilitas publik adalah hak yang telah diperoleh sejak menginjakkan kaki di daerah baru. Persoalan keterangan domisili tidak dibatasi pada apa dan mengapa kita ada di daerah tersebut. Melainkan kita dituntut untuk memahami bagaimana menjadi warga pendatang yang toleran dengan aturan dan kebiasaan warga/penduduk asli. Bagaimana membuka diri dan menjadi bagian dari kehiduoan sosial masyarakat. 

Keterangan domisili juga akan mempermudah pendatang memperoleh pelayanan prima untuk pelayanan publik. Sekaligus langkah ini ikut membangun sistem reformasi birokrasi yang mewakili seluruh lapisan masyarakat, baik baik pendatang maupun penduduk asli.

Comments