Saphir Square, Tanda Ambruknya Eksistensi Mal di Jogja?

Saphir Square, salah satu mall terbesar di kota Jogja sudah setahun ini ditutup (2012). Sejak menetap di Jogja saya melihat kalau mall ini memang selalu terlihat sepi. Masalah kelola keuangan yang menyebabkan Mall Saphir dipailitkan oleh Bank karena tidak mampu membayar utang. dilihat dari letaknya, letak mall Saphir terbilang strategis karena berada di jalan poros arteri Jogja-Solo dan berdekatan dengan fungsi komersil yang lain.

Jika mengamati dengan mall lain yang ada di Jogja, sebagian besar memiliki keuinikan dan konsep sehingga masih bisa bertahan hingga saat ini. Mall Malioboro, mall ini tidak pernah sepi pengunjung karena terletak di jalan Malioboro.

Penggunaan brand Malioboro sendiri sudah cukup menyita perhatian publik untuk berkunjung di mall ini. Suasana di sekitar mall Malioboro juga menjadi penunjang utama mall Malioboro masih diminati untuk dikunjungi masyarakat Jogja. Jalur pejalan kaki sepanjang yang nyaman sepanjang jalan Malioboro menjadi keuntungan bagi Mall Malioboro. Akses menuju transportasi umum juga mudah ditemui, shelter trans Jogja salah satunya.

Berikutnya Ambarukmo Plaza, mall terbesar di Jogja. Saya masih sering kebingungan jika berkunjung di Mall ini. suasana di dalam mall sendiri sebenarnya tidak jauh berbeda dengan mall lain, hanya saja nuansa dan kesan ekslusif sangat terasa ketika memasuki mall Ambarukmo.

Salah satu daya tarik mall ini bukan pada bentuk bangunannya melainkan tata penempatan gerai salah satu restoran cepat saji yang tepat berada di bagian paling depan.
Dibandingkan dengan mall lain yang ada di Jogja, Mall Ambarukmo merupakan mall paling manusiawi. Saya katakan demikian karena di halaman depan Mall Ambarukmo, masih tersedia beberapa deretan tempat duduk. Setelah berkeliling di Mall, pengunjung bisa bersantai sambil duduk suasana depan jalan Amplas.
Ambarukmo Plaza, Yogyakarta (www.palaza-ambarukmo.co.id)
Ambarukmo Plaza, Yogyakarta (www.palaza-ambarukmo.co.id)
Bagaimana dengan Galeria Mall? Saya juga pernah berkunjung ke Mall ini. Mall Galeria tidak sebesar Ambarukmo Plaza, tapi suasana homy begitu terasa di Mall ini. Biasanya saya tidak terlalu betah berlama-lama di mall. Khusus di Galeria mall saya bisa merasa begitu santai.

Kemungkinannya bisa karena pengunjung di mall ini tidak seramai Amplas dan Malioboro mall, sehingga suasananya tidak benar-benar seperti pusat perbelanjaan. Jalanan di depan Mall Galeria juga lumayan nyaman di lalui pejalan kaki. Mengamati sepinya pengunjung di Mall Saphir, saya kemudian mengambil kesimpulan sederhana dari mall Malioboro, Amplas dan Galeria.
Saphir Square Yogyakarta (www.solopos.com)
Saphir Square Yogyakarta (www.solopos.com)
Desain Saphir Square memiliki banyak ornamen yang terkesan boros, sehingga yang nampak hanya bangunan besar saja. Sisi humanisnya kurang, seperti akses untuk pejalan kaki dan tempat duduk seperti yang ada di depan mall Amplas.

Mall ibaratnya menghadirkan ruang publik baru bersifat indoor yang dikemas dalam bentuk blok-blok gerai perbelanjaan. Namun perlu diterima juga, bahwa pola hidup kaum urban tidak datang ke mall sekadar belanja. Ada yang berkunjung sekadar jalan-jalan (cuci mata).

Sementara mall yang dibangun di kota saat ini masih melihat dari satu sisi, jumlah penduduk di kota yang selalu bertambah. Sehingga target yang hendak dicapai adalah meningkatkan angka kunjungan.

Mall tidak dihadirkan dalam bentuk ruang publik, dan ini justru berbeda dengan konsep mall yang ada di negara Eropa. Bangunan Mall di Eropa sekalipun memiliki fungsi komersil, juga tidak melupakan nilai-nilai humanis masyarakatnya. Jalur pejalan kaki, atau mini restaurant di bagian depan atau halaman mall merupakan daya tarik mal tersebut.

Pembangunan modern saat ini tidak bisa menampik bahwa kecenderungan masyarakat urban adalah menghabiskan waktu di Mall. Tidak relevan pula jika sekadar memberi cap stereotip bagi pengembang yang mulai mendirikan mall di kota besar.

Pengembang tidak harus membangun mall dalam satu kota, itu faktanya. Jumlah penduduk yang meningkat di perkotaan bukan potensi bahwa mall A akan ramai dikunjungi. Pola hidup secara sosial masyarakat di kota Jogja yang lebih senang ngangkring, duduk di pinggir jalan, ngopi, lesehan adalah budaya asli masyarakat Jogja.

Kunjungan ke Mall untuk berbelanja, mungkin hanya dilakukan sesekali saja. Masyarakat tetap kembali ke budaya hubungan sosial mereka yang disalurkan lewat ngangkring dan ngopi-ngopi di Jalan Malioboro atau di tugu.

Jika target yang dikejar adalah penduduk menengah ke atas, maka hitung-hitungannya sederhana saja, ada berapa banyak kelas menengah ke atas di kota Jogja yang setiap hari mau ke mall?. Berbelanja batik bagi sebagian besar masyarakat Jogja tetap menomorsatukan pasar Beringharjo. Bahkan wisatawan asing akan memilih berbelanja di pasar tradisional Jogja seperti Beringharjo.
Pasar beringharjo Yogyakarta (www.tourjogja.com)
Pasar beringharjo Yogyakarta (www.tourjogja.com)
Budaya asing berhasil menjual visual ruang publik mereka di mall, karena sejarah ruang publik sebagian negara di Eropa terbentuk di kafe. Berbeda dengan Indonesia, banyak bentuk hubungan sosial yang terbangun di masyarakat namun lemah di penerapan secara visual untuk ruang publik.

Saat ini keunikan hubungan sosial di ruang publik yang bisa ditemukan itu ada di Jogja. Ngopi di tugu, menyantap nasi angkringan di depan emperan toko KR, menghabiskan malam sampai dini hari di kilometer nol, adalah bentuk penguatan hubungan sosial masyarakat yang terbentuk di ruang publik.

Keunikan tersebut tidak memerlukan visualisasi macam-macam, kemudian digiring ke dalam mall. Mall tidak mampu menghadirkan suasana seperti ini, selain tempat berbelanja. Pengembang, sekiranya sudah memperhatikan dan membaca bukti-bukti eksistensi budaya seperti ini, apalagi jika di kota tersebut sudah ada mall yang berdiri. Melihat dan mempelajari fenomena sosial adalah faktor penting dalam mendesain apalagi mendirikan bangunan publik. Semoga masalah Saphir Square, cukup menjadi bahan pertimbangan bagi pengembang untuk berfikir kembali soal pembangunan mall baru di Jogja.

Comments