Cerita Kemiskinan di Karang Rejek

Pertanyaan itu masih menggantung di benak saya, mengapa miskin?, mengapa masih ada orang miskin? apa itu miskin?. Pertanyaan itu menjadi bagian dari diskusi kami dengan dosen di kelas sebelum mengakhiri perkuliahan.

Saya sebelumnya menganggap bahwa miskin adalah ketika seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan sandang dan pangan mereka. Berupa penilaian yang tidak mendasar, semata mengandalkan bacaan dari selebaran Koran yang selalu menggembar-gemborkan fakta kemiskinan di Indonesia.

Ternyata persoalan kemiskinan tidak serigid yang dipaparkan data statistik, atau kemiskinan itu adalah sekelompok orang yang tidak memiliki kemandirian. Salah satu papan pengumuman di sudut Jalan kota Yogyakarta menuliskan seperti ini, “jangan memberi sumbangan (receh) karena dapat menghambat kemandirian mereka”.

Saya tersenyum melihat pengumuman tersebut. Kemandirian apa yang “aliansi” tersebut maksudkan?. Ketika kita menyempatkan diri mengelilingi kota Yogyakarta di malam hari, akan ditemukan sejumlah gelandangan dan anak-anak yang menggantungkan hidup semalam di sudut jalan atau di depan emperan toko.

Pemandangan itu membuat saya bertanya, “dimana pemerintah?”. Kita berbicara soal kemandirian yang terjadi jika memberi receh di jalan, padahal akses untuk untuk hidup layak sebagai manusia kebanyakan hampir tidak pernah mereka dapatkan. Lack of access, buntu. Lantas sudahkah mereka mandiri sementara akses untuk hidup layak saja sulit mereka peroleh?

Melalui informasi seorang teman, saya disarankan mengunjungi salah satu desa di kabupaten Gunung Kidul. Karang Rejek, desa inilah yang akhirnya saya kunjungi untuk mengetahui gambaran potret kemiskinan di pedesaan. Karang Rejek dinilai cukup istimewa, karena desa ini pernah mendapatkan pernghargaan sebagai salah satu desa berprestasi dalam melaksanakan program kemandirian desa.

Sekalipun pernah meraih penghargaan tingkat nasional, namun desa Karang Rejek tetap menyisakan persoalan kemiskinan yang hingga saat ini menjadi bagian dari kehidupan masyarakat lain di desa tersebut. Saya bertemu dan berbincang dengan kepala Desa Karang Rejek (Bapak Kasdi Siswo Pranoto).
1388981175105532737
Kantor Desa Karang Rejek, Kab.Gunung Kidul
Beliau menyampaikan beberapa hal yang telah dilakukan pemerintah dan masyarakat untuk membangun perekonomian di desa Karang Rejek. Salah satu program unggulan dan sementara berjalan di desa Karang Rejek adalah BUMDes. BUMDes merupakan lembaga yang didirikan oleh pemerintah setempat untuk melayani kredit mikro.

Keuntungan dari BUMDes selain untuk membantu meningkatakan perekonomian keluarga, juga digunakan untuk dana pembangunan desa. Saat ini tercatat keuntungan dari BUMDes telah mencapai Rp.500.000.000,00. Dana tersebut digunakan untuk mengadakan pompa air agar warga tidak kesulitan air bersih. Pemberian ternak dan memperbaiki sistem pengairan seperti irigasi untuk kegiatan dan berladang.

Namun Pak Kasdi tidak hanya menjelaskan detail desa Karang Rejek melalui segudang program khas visi-misi pembangunan desa. Beliau dengan sangat terbuka menyarankan saya untuk bertemu dengan salah satu keluarga di desanya, yang dianggap bisa memberi saya informasi lebih penting selain bahasan program semata.

Darmosuwito, begitu nama keluarga ini. Pengentasan kemiskinan di desa Karang Rejek perlahan mulai membantu perekonomian masyarakat, namun untuk keluarga Darmosuwito program pengentasan kemiskinan belum “disambut” sebagai upaya pemerintah/aparat desa untuk meningkatkan taraf hidup dan ekonomi keluarganya.

Sekitar tahun 1990-an keluarga Bapak Darmasuwito pernah melakukan transmigrasi di tanah Papua. Namun setelah dua puluh tahun (20 thn) beliau kembali ke desa Karang Rejek. Karena tidak memiliki pekerjaan tetap, sedikit demi sedikit lahan perkebunan miliknya di jual dengan harga rendah.

Sekarang pak Darmasuwito hanya menempati bangunan di atas tanah satu-satunya yang mereka miliki. Tidak nampak gurat keprihatinan mendalam atas kehidupan mereka. Darmasuwito menjelaskan kehidupan mereka selama ini, cara pandang mereka tentang hidup dan bagaimana mereka bertahan.

Mengambil sudut pandang sebagai orang luar (pengamat), terbiasa hidup dengan segala macam standar hidup, mungkin akan melihat bahwa kehidupan keluarga Darmosuwito sangat memprihatinkan. Namun keluarga Darmosuwito tidak memandang kemiskinan sesederhana itu. Kemiskinan bukan berarti tidak bisa makan atau minum. Darmosuwito merasa miskin ketika merasakan begitu sulitnya mendapatkan air bersih. Ya, air bersih.
1388981091921330534
Kediaman bapak Darmosuwito, Desa Karang Rejek,Kab.Gunung Kidul
Hasil wawancara saya dengan bapak Darmosuwito menghasilkan kesimpulan sementara sebagai berikut:
· Rendahnya tingkat pendidikan kepala keluarga, mempunyai pengaruh terhadap timbulnya sikap pasrah dengan keadaan dan keengganan merubah nasib melalui kerja keras.

· Sehari – hari Darmosuwito memenuhi kebutuhan ekonomi melalui kegiatan berladang. Hanya saja kegiatan tersebut tidak setiap hari dilakukan, kegiatan berladang hanya dilakukan jika sedang memasuki masa tanam dan panen saja. Keuntungan yang diperoleh cukup untuk kebutuhan makan sehari-hari saja.

· Masalah sosial terkait perilaku dan pola pikir sangat mempengaruhi sikap seseorang dalam memanfaatkan peluang dan akses khususnya untuk perbaikan perekonomian keluarga, akan tetapi hal tersebut tidak terjadi pada keluarga Darmosuwito karena pola pikir dan kebiasaan hidup “sederhana” menjadikan keluarga tersebut tidak melakukan upaya peningkatan ekonomi keluarga.

· Faktor usia mempengaruhi cara pandang dalam meningkatkan perekonomian. Ambisi dan target perbaikan perekonomian ekonomi keluarga sudah tidak menjadi fokus permasalahan.
1388981004538565792
Keluarga Darmosuwito (Desa Karang Rejek, Kab.Gunung Kidul)
Lebih jauh lagi, saya membandingkan dengan kemiskinan yang terjadi di perkotaan. Beban hidup masyarakat kota tentu jauh lebih berat dibandingkan dengan masyarakat desa. Kebutuhan hidup yang sangat besar menuntut penghasilan yang tidak sedikit pula. Persoalan kemiskinan masyarakat perkotaan tidak hanya terbatas soal kesulitan air bersih.

Masalah sosial, kekerasan dan kriminal adalah bagian dari lingkaran setan kemiskinan yang seakan menjerat leher mereka setiap hari. Orang-orang ini lebih peka dan cermat, tidak senaif seperti apa yang ditampakkannya. Persoalan hidup membentuk mereka menjadi manusia yang lebih cekatan dan lihai memanfaatkan situasi.

Lantas apakah mereka salah bertindak demikian? Mungkinkah kita merasa geram ketika mengetahui penghasilan seorang pengemis mencapai puluhan juta/hari?. Atau kita kembali bermain tarik ulur seperti memainkan layangan ketika berhadapan dengan pengemis di jalan, memberi atau mengabaikan saja?. Rasio dan naluri senang mempermainkan kebimbangan akan persoalan hidup seperti kemiskinan.

Tidak ada solusi tunggal untuk mengatasi kemiskinan, masalah ini sudah membentuk lingkarang setan. Lingkaran setan kemiskinan adalah semacam kutukan yang ditakuti oleh semua negara karena dikatakan bahwa sebuah negara yang miskin karena miskin. Penyebabnya adalah pendapatan rendah, hemat rendah, investasi rendah, danproduktivitas rendah.

Modal sosial saat ini dinilai mampu mengatasi dan membangun kembali sendi-sendi kehidupan masyarakat. masalah kemiskinan tidak bisa diselesaikan untuk orang per orang. Agar berkelanjutan, maka modal sosial yang dipilih untuk membangun kemandirian masyarakat.

Saat ini kegiatan melibatkan komunitas atau warga kampung dalam membangun perekonomian desa lebih dikenal dengan istilah pemberdayaan dan pembangunan masyarakat. Tujuannya tidak muluk-muluk, ibarat mengharap hujan emas dari langit maka masalah kemiskinan akan musnah di negara ini.

Baik modal sosial maupun pembangunan masyarakat, harapannya adalah masyarakat tahu bagaimana mereka hidup (memanfaatkan potensi dan melihat peluang), dan akses untuk menuju kemandirian itu dibuka seluas-luasnya oleh pemerintah. Persoalannya di lapangan juga tidak sesederhana seperti yang saya paparkan di tulisan ini. Tulisan ini hanya memamparkan sebagian kecil problematika kemiskinan salah satu desa di Indonesia, yang menjadi kawan cerita bagi daerah lain di negeri ini.

Comments