Jogja Diserbu, Pertanian Sleman Terancam?

Tidak perlu menunggu waktu cukup lama, hanya dalam hitungan bulan pembangunan ruko di Sleman selesai dibangun. Kecamatan Depok merupakan salah satu kecamatan di Sleman yang memiliki perubahan penggunaan lahan yang cukup signifikan selama lima (5) tahun terakhir. Jika mengitari jalan di Babarsari, terlihat ruko baru dan rumah makan baru berjejeran di sepanjang jalan.

Sleman Sembada, begitulah bunyi slogan kabupaten Sleman. Namun hingga lima (5) tahun yang akan datang apakah Sleman masih mampu swasembada pangan? Pesatnya pembangunan di Sleman sangat erat kaitannya dengan ekspansi pembangunan di Yogyakarta. Kecamatan yang secara administrasi dan geografis wilayah berbatasan langsung dengan Yogyakarta akan “kecipratan” pembangunan kota Yogyakarta.

Kecamatan yang memiliki potensi strategis mengalami pembangunan pesat tergabung dalam aglomerasi perkotaan kabupaten Sleman. Aglomerasi perkotaan Kabupaten Sleman terdiri atas Kecamatan Depok, Mlati, Gamping, Godean, dan Ngaglik). Dari kelima kecamatan ini, Depok mengalami perubahan lahan yang sangat cepat khususnya perubahan fungsi lahan persawahan menjadi lahan terbangun.
1389062456186744098
Peta Perubahan Lahan di Kecamatan Depok (1997-2002)
1389062631848132206
Peta Perubahan Penggunaan Lahan di Kawasan Aglomerasi Perkotaan Kab.Sleman (2006-2010)
1389062963755772174
persentase perubahan fungsi lahan di Kecamatan Depok
Sekitar tiga (3) bulan yang lalu saya pernah survey di daerah Mlati, dusun Jaten. Saya mendatangi dusun ini karena di wilayah ini akan dibangun perumahan Real Estate di atas lahan persawahan yang cukup luas. Informasi dari hasil wawancara saya cukup mengejutkan, menurut Muryanto (Kep. Dukuh Jaten) bahwa hampir seluruh lahan pertanian di pedukuhannya merupakan milik orang lain, bukan milik penduduk setempat. Sebagian besar warga dukuh Jaten yang memiliki lahan pertanian sendiri hanya memiliki lahan pertanian < 1 ha.
1389062750547417311
Halaman depan Real Estate di daerah dukuh Jaten
13890628791589841753
bangunan yang berdiri di atas lahan pertanian
Informasi penting lainnya yang saya peroleh adalah sejak dahulu beberapa lahan pertanian di Sleman dimiliki oleh satu orang, yang dikenal memiliki banyak sawah di Sleman. Saya mencoba menanyakan hal ini ke dukuh setempat, dikatakan “karena tuntutan ekonomi, sedikit demi sedikit lahan pertanian di daerahnya dijual dan hal ini sudah berlangsung selama puluhan tahun”.

Sejak Yogyakarta mulai ramai dikunjungi oleh pendatang seperti mahasiswa, maka pembangunan kos-kosan mulai dibangun di atas lahan pertanian. Seperti yang terlihat di daerah Pogung, kita akan melihat bangunan kos-kosan dan perumahan berdiri di atas lahan pertanian.

Pemerintah Sleman sendiri mengatakan bahwa pemerintah Sleman tetap mempertahankan lahan pertanian pangan yang ada seluas 21.000 ha. Sehingga konversi lahan pertanian yang ada selama ini bukan bagian dari lahan pertanian yang ditetapkan oleh pemerintah untuk mempertahankan ketahanan pangan.

Berdasarkan keterangan Bapak Arif Setiyo Laksito (Bappeda Kab. Sleman) bahwa lemahnya pengawasan dan penerapan perda untuk mempertahankan lahan pertanian di Sleman salah satunya disebabkan karena tumpang tindih perundang-undangan. Berikut kesimpulan wawancara saya dengan pak Arif:

1. UU Agraria tumpang tindih dengan UU Tata Ruang. Dalam UU Tata Ruang tanah dijelaskan bahwa tanah bukan barang investasi, bahwa tanah memiliki kaidah sosial. Ibaratnya pemerintah mengatur kepentingan publik di atas lahan privat. Ini yang menjadi kendala begitu sulitnya menerapkan rencana tata ruang wilayah.

2. Kepmen 20/2011 tentang peraturan zoning plan. RTRW bukan akhir dari seluruh perencanaan tata ruang, ada RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) yang memegang peranan lebih besar. Pelanggaran fungsi pemanfaatan lahan dalam RTRW masih bisa “diabaikan” karena RDTR belum ada. Untuk membuat RDTR membutuhkan waktu yang cukup lama karena dalam pembuatan peta RDTR tingkat kesalahannya hingga 4 m. Rencana Detail inilah yang harus segera diperdakan agar memiliki kekuatan hukum di lapangan.

3. Investasi, investasi diyakini sebagai sumber dana pembangunan yang paling cepat diperoleh. Di satu sisi akan meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) namun berbenturan dengan target pemerintah untuk mempertahankan lahan pertanian.

138906304737553078
Penjelasan Pak Arif, pada poin pertama cukup berasalan dan menjawab seluruh pertanyaan tentang konversi lahan yang terjadi begitu cepat di Sleman. Tumpang tindih perundang-undangan dan kepentingan masing-masing kementerian menyebabkan perda RTRW dalam satu daerah susah dilaksanakan. Contohnya adalah, ketika pembangunan Kondominium sudah mengantongi ijin pemerintah daerah harus terbentur dengan aturan kementerian perumahan.

Mengambil contoh di Australia untuk kepemilikan lahan secara pribadi/privat, maka BPN (misalnya) daerah berkordinasi dengan pemda setempat terkait perencanaan tata ruang. Begitu pun dengan Singapura, mengapa kota ini memiliki tata ruang yang begitu rigid karena keputusan untuk peruntukan bangunan di setiap jengkal tanah Singapura telah diatur oleh pemerintah.

Begitu mudahnya mengatur tata ruang jika tanah tersebut dikuasai pemerintah. Saya sendiri belum memahami sepenuhnya, mengapa lahan atau tanah di negara kita sistem kepemilikannya adalah privat. Namun dampak kepemilikan lahan privat seperti ini yang memicu begitu banyaknya pelanggaran tata ruang di daerah. Tanah privat juga sebenarnya mudah dikuasai mafia tanah dengan memanfaatkan kondisi perekonomian petani.

Yogyakarta sedang tumbuh menjadi kota metropolitan, pertanyaannya apakah Sleman diuntungkan? Secara PAD iya, namun dampak lainnya kita perlu berfikir kembali. Kehilangan lahan pertanian bukan perkara sederhana, pertanian adalah sumber ketahanan pangan daerah.

Dampak lainnya adalah memberikan pengaruh pada pola penggunaan lahan agak jauh dari batas-batas pusat perkotaan. Permintaan untuk lahan menempatkan tekanan pada harga tanah untuk mencerminkan nilai-nilai perkotaan bukan nilai yang berasal dari kemampuan pertanian.

Comments