Kelola Pertambangan: Stop Tambang Liar

Sejak tahun 1945 tepatnya pada tanggal 11 September menjadi sejarah awal bagi bangsa ini mengelola kegiatan pertambangan. Lembaga pertama yang menangani Pertambangan di Indonesia adalah Jawatan Tambang dan Geologi.

Jawatan ini, semula bernama Chisitsu Chosajo, bernaung di Kementerian Kemakmuran. Kemudian pada tahun 2000, Departemen Pertambangan dan Energi berubah menjadi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.

Selama itu pula, hingga sekarang tidak sedikit masalah dan konflik pertambangan yang terjadi di berbagai daerah. Masalah lingkungan menjadi sorotan utama, memicu maraknya penolakan masyarakat terhadap aktivitas tambang di daerahnya.

Salah satu kegiatan penambangan liar yang terdapat di Lombok dekat laut Bali menyisakan masalah lingkungan yang serius. Sisa limbah pertambangan tersebut mencemari ikan dan merusak terumbu karang di wilayah tersebut. Tidak berhenti di Lombok, kasus penambangan liar untuk tambang emas menggunakan bahan berbahaya seperti merkuri.

Zat yang terkadung dalam merkuri sangat berbahaya bagi kulit. Sedihnya adalah, masyarkat menganggap bahaya ini tidak seberapa jika dibandingkan dengan untung yang diperoleh dari mendulang emas.
Sebuah lokasi pengolahan tambang liar di Lombok  (http://www.mongabay.co.id/)
Sebuah lokasi pengolahan tambang liar di Lombok (http://www.mongabay.co.id/)
Persoalan tambang kemudian menjadi masalah nasional, masalah pengelolaan tambang berbagai daerah di Indonesia seolah mirip pertarungan berbagai kepentingan, kelembagaan dan kementerian. Di satu sisi kegiatan pertambangan merupakan salah satu potensi meningkatkan PAD namun tidak sedikit juga dampak lingkungan yang ditimbulkan. Pada akhirnya perdebatan soal kegiatan pertambangan akan bermuara pada satu objek yakni masyarakat, apakah merugikan atau memberi manfaat?.

Untuk mengetahui sejauh mana standar pelaksanaan kegiatan pertambangan yang telah dilakukan selama ini, maka saya menemui salah satu dosen pertambangan Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta Dyah Probowati (Minggu 29 Desember 2013).
Dalam menyikapi maraknya kegiatan pertambangan yang banyak merusak lingkungan beliau mengemukakan tiga (3) poin penting. Poin penting ini terkait pengelolaan tambang yang dinilai sebagai langkah penyelamatan lingkungan pasca tambang (reklamasi).

“Kegiatan pertambangan yang banyak menyisakan kerusakan lingkungan paling banyak dilakukan oleh penambang liar (1). Penambang liar ini tidak memahami standar dan ketentuan kegiatan pertambangan. Penambang liar melakukan pengerukan tanah di seluruh wilayah yang diidentifikasi sebagai wilayah tambang. Ketika selesai menambang, mereka berpindah lagi, sedangkan lokasi tambang sebelumnya ditinggalkan begitu saja tanpa upaya konservasi”.
13884516821486122794
Kegiatan pertambangan seharusnya melakukan reklamasi pasca tambang
Selain karena persoalan penambang liar, masalah lain yang menyebabkan kegiatan pertambangan selalu berdampak pada lingkungan karena: tidak bisa memilih tempat kegiatan, pemindahan tanah cukup besar, serta terjadinya mining is gimbling (padat modal, resiko tinggi) dengan daya serap tenaga kerja yang rendah.

Saya kembali tanyakan, lantas apa yang dimaksud dengan tambang hijau, Dyah menjelaskan bahwa tambang hijau adalah kegiatan pertambangan yang mengikuti aturan pertambangan (Good Mining Practices). Aturan tambang good mining practices terdiri dari: peduli lingkungan, peduli K3, konservasi, dan pembangunan masyarakat(2).

“Beberapa perusahaan pertambangan besar sudah menerapkan aturan GMP seperti Kaltim Prima Cold. Ijin usaha pertambangan saat ini juga harus dilengkapi dengan laporan AMDAL dan RPT (reklamasi pasca tambang). Dokumen ini (RPT) harus secara jelas menggambarkan pengembangan dan pemulihan kembali lahan pasca tambang/penutupan tambang berdasarkan prinsip lingkungan hidup seperti konservasi”.

“Kegiatan pertambangan jika dilakukan sesuai dengan standar operasional yang ditetapkan dapat meminimalisir dampak lingkungan (3). Kegiatan ini jika dilakukan dengan benar memang akan merubah bentang alam, namun dilakukan dengan tahapan dan mekanisme pelaksanaan yang memperhatikan struktur bentang alam,  mengetahui keadaan tanah, seperti keadaan lapisan tanah, jenis tanah dan kondisi geologi di lokasi tambang”.
138845126329405104
1388451473167492040
contoh kinerja tambang permukaan
Rencana reklamasi tambang sudah diatur dalam  PP.No.78 tentang Reklamasi Pasca Tambang, memuat aturan sebagai berikut:

a. Reklamasi disusun untuk jangka waktu 5 tahun
b. Dibuat rencana reklamasi untuk masing-masing tahun
c. Rencana reklamasi disusun sesuai umur tambang
d. Rencana reklamasi sebelum dan sesudah ditambang
e. Rencana reklamasi dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan

Mengenai kegiatan tambang yang menyisakan persoalan kerusakan lingkungan, tidak lepas dari pengawasan pemerintah daerah. Pemerintah daerah mengetahui potensi tambang dan mineral yang ada di daerahnya karena kegiatan pertambangan dalam satu daerah telah diatur dalam Rencana Tata Ruang Wilayah.

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten misalnya mengatur kegiatan pertambangan dan strategi kegiatan pertambangan sesuai arahan dari rencana tata ruang. Sehingga sekalipun diketahui sebagai lokasi potensial untuk kegiatan penambangan, pemerintah kembali merujuk pada peruntukan lahan yang telah ditetapakan dalam RTRW.

“Berarti kegiatan penambangan liar ini tidak diketahui oleh pemerintah setempat?”, nampaknya pertanyaan saya waktu itu belum bisa dijawab beliau mengingat ranah pembahasannya akan menyerempet ke berbagai hal menyangkut pelaksanaan aturan tata ruang di daerah.

Aturan mengenai kegiatan pertambangan dari awal hingga perencanaan reklamasi pasca tambang telah diatur dengan kaidah dan prinsip lingkungan. Namun mengapa masih banyak masalah lingkungan yang terjadi di lokasi pertambangan?

Sampai saat ini saya sebagai orang awam dan masyarakat biasa hanya bisa memberi pandangan berdasarkan fakta yang terjadi di lapangan. Pemerintah paham betul seperti apa potensi SDA dan mineral di daerahnya. Jika ada kegiatan penambangan di daerahnya, berarti kegiatan tersebut diketahui pemerintah atau bisa saja ada ijin dari pemerintah setempat.

Celah terjadinya pelanggaran kegiatan penambangan ada di tahap ijin usaha pertambangan. Jika merujuk pada undang-undang No.78 tentang Reklamasi Pasca Tambang, pemerintah dan perusahaan tambang seharusnya memahami betul aturan tersebut sebelum mengeluarkan ijin pertambangan. Namun ternyata, di lapangan tidak demikian, menurut Dyah:

“Penambang liar ini tidak memperhatikan standar keselematan kerja, seperti penggunaan alat berat dan peralatan lengkap yang digunakan ketika melakukan penambangan”. Penjelasan Dyah Probowati memberi informasi baru bagi saya. Sebenarnya kegiatan penambangan ini jika dilakukan dengan prosedur dan standar yang ditetapkan maka prinsip pengelohan sumber daya mineral ini merupakan kegiatan eksplorasi, bukan eksploitasi”.
1388451322788149949
Peta lokasi tambang di Ratatotok
1388451768155958657
proses reklamasi tambang hijau
Pengawasan Pemerintah Daerah
Masalah pencemaran dan kerusakan lingkungan sebenarnya bisa dicegah jika pemerintah daerah serius mengawasi kegiatan pertambangan di daerahnya. Oleh Dyah Saya ditunjukkan beberapa foto kegiatan penambangan yang merusak lingkungan (dok.bersifat rahasia). Dyah menunjukkan bagaimana pengerukan tanah yang dilakukan penambang dengan cara-cara kasar (tidak sesuai standar lingkungan : geologi dan struktur bentang alam).

1388451831351208588

berfikir, untuk kegiatan pertambangan di lahan seluas dan sebesar itu, tanpa disertakan standar operasional, standar keamanan dan keselamatan, tidak memahami struktur bentang alam bagaimana bisa pemerintah tidak mengetahuinya?

Sedangkan untuk perusahaan yang sejak awal melakukan tanggung jawab lingkungan pada kegiatan pertambangan biasanya melibatkan akademisi bidang pertambangan dan lingkungan. Tujuannya adalah agar kegiatan pertambangan yang dilakukan setiap perusahaan melaksanakan sesuai standar operasional dan kajian lingkungan yang disyaratkan.
13884513911542861399
Pemantauan Laut
Informasi yang saya dapatkan dari Dyah Probowati membuka satu pemahaman baru mengenai kegiatan pertambangan. Informasi ini saya gunakan untuk menambah sudut pandang baru bagi saya. Sementara ini saya melihat bahwa, kegiatan pertambangan di satu daerah baik legal maupun ilegal maka pemerintah paling bertanggung jawab mengetahui hal tersebut.

Saya tidak membahas atau menyorot lebih banyak masalah lingkungan yang ditimbulkan dari kegiatan pertambangan. Karena sudah sangat jelas aturannya dalam undang-undang No.78 tahun 2010, jika dilaksanakan sesuai prosedur maka seharusnya tidak ada kerusakan lingkungan.


Penjelasan Dyah Probowati juga cukup jelas menggambarkan bagaimana kaidah kegiatan pertambangan bertanggung jawab yang harus dilakukan agar tidak terjadi kerusakan lingkungan. Lantas dimana letak permasalahannya?. Saya mencoba melihat sejauh mana proses yang berlangsung sebelum dampak terjadi.

Celah paling besar yang bisa disalahgunakan adalah persoalan ijin yang diberikan pemerintah setempat. Alasannya adalah, jika pemerintah hati-hati mengawasi perjanjian ijin usaha pertambangan yang diajukan maka pemerintah sejak awal akan memahami dan  mengetahui standar operasional kegiatan pertambangan yang dilakukan di daerahnya.

Sebaliknya jika sejak awal tidak ada pengawasan dan penyelenggaraan aturan yang ketat terhadap kegiatan tambang, maka yang sering kita saksikan adalah kerusakan lingkungan pasca tambang. Kondisi ini yang saya anggap sebagai kegiatan pertambangan yang tidak bertanggung jawab.  Kegiatan tambang yang tidak bertanggung jawab menyisakan masalah lingkungan yang cukup serius.

Selama pemerintah daerah dan perusahaan pertambangan menjalankan kegiatan pertambangan sesuai dengan aturan dan standar operasional pertambangan, maka aktivitas tambang justru akan memberi manfaat positif bagi masyarakat sekitar.

1388451571610141432
13884515921754395462
Reklamasi lahan pasca tambang
1388451863422883894

Sumber gambar : Dyah Probowati
Narasumber: Dyah Probowati (Dosen Pertambangan UPN Yogyakarta)

Comments