Pembangunan Daerah dan Donat Plastik

Rute alternatif yang saya pilih menuju Kabupaten Pati ternyata tidak semudah yang saya bayangkan sebelumnya, melewati jalan yang kondisinya mulus-mulus saja/ tidak rusak, kenyataannya kondisi jalan utama poros Purwodadi rusak parah. Melalui bantuan GPS saya dan teman menemukan rute baru alternatif tersebut, dengan memperkirakan jarak tempuh yang lebih singkat dibandingkan melalui jalur utama Magelang-Semarang-Demak-Kudus-Pati. Kondisi jalan yang rusak menyebabkan lama perjalanan semakin bertambah dari target sebelumnya yakni sekitar 4 jam bertambah menjadi 6-7 jam.

Namun berkat jalur alternatif ini saya bisa menyaksikan langsung kondisi daerah yang infrastruktur jalannya masih rusak parah. Saya berasal dari Sulawesi Selatan, beberapa kabupaten yang pernah saya kunjungi semasa tugas lapangan kondisi jalannya boleh dikatakan masih layak dilalui kendaraan. Padahal bayangan saya sebelumnya pembangunan infrastruktur di pulau Jawa sudah jauh lebih baik di bandingkan dengan daerah lain yang berada di luar Pulau Jawa.

Melalui pengamatan singkat sepanjang perjalanan, saya melihat umumnya yang melalui jalur alternatif tersebut adalah kendaraan berat seperti truk dan bus. Seringnya digunakan jalur ini oleh bus dan truk menjadi penyebab kondisi jalan di jalan raya Purwodadi rusak berat. Jalur tersebut sangat ramai dilalui berbagai jenis tipe kendaraan roda dua dan 4, sekalipun kondisi jalannya bergelombang, rusak dan berlubang.
 Jalan Raya Semarang-Purwodadi rusak berat. (foto: M Taslim Hadi)
Jalan Raya Semarang-Purwodadi rusak berat. (foto: M Taslim Hadi)
Kewenangan pemerintah daerah khususnya dalam perbaikan infrasturktur jalan propinsi seringkali terkendala masalah klasifikasi jenis jalan. Jalan propinsi dianggap menjadi tanggung jawab pemerintah propinsi, sedangkan jalan kabupaten menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten. Belum selesai perbaikan jalan di satu ruas jalan propinsi, kerusakan jalan di tempat lain juga terjadi, akibatnya hampir tidak ada biaya pemeliharaan jalan.
Di Kabupaten asal saya misalnya, Bantaeng, hampir tidak ada lagi jalanan rusak baik itu jalan-jalan desa. Sangat berbeda jauh kondisinya dengan kabupaten tetangganya, kabupaten Jeneponto, sekitar 2 tahun yang lalu jalan propinsi yang menghubungkan poros Makassar-Jeneponto-Bantaeng masih rusak parah. Kadang ada penumpang yang berkomentar agak nyeleneh, katanya sejak masih kecil hingga kembalinya dari perantauan jalan di kabupaten ini masih rusak.

Tidak jauh berbeda dengan kondisi infrastruktur jalan di Purwodadi, jalan propinsi di kabupaten Jeneponto kerap kali melakukan perbaikan infrastruktur jalan, hanya saja kondisinya tidak pernah berlangsung lama, belum cukup setahun, kondisi jalannya rusak kembali. Ini juga yang menjadi alasan saya sewaktu masih kuliah agak malas pulang kampung ketika libur kuliah.

Selain itu, sepanjang perjalanan menuju Pati (Purwodadi-Grobogan) hampir tidak terlihat sektor pangan unggulan. Semoga saya tidak keliru, namun daerah ini terlihat seperti daerah kering. Membandingkan dengan kabupaten Jeneponto di Sulawesi Selatan, daerah ini terbilang sangat tandus.

Faktor lainnya sektor pertanian dan perkebunan belum menjadi penyokong utama untuk mendongkrak PDRB kabupaten Jeneponto. Begitupun dengan daerah Purwodadi, kondisi geografi bisa saja jadi penyebab sepinya pembangunan industri manufaktur di daerah ini, berbeda jauh dengan kabupaten Kudus, Pati dan Demak. Masing-masing daerah ini memiliki ciri khas pembangunan daerahnya, Pati dengan industri produk olahan kacang yang dikenal dengan merek DUA KELINCI, Kudus dengan industri rokok dan Demak dengan wisata religinya.

Saya melihat beberapa desa yang dilalui di kabupaten Grobogan, kondisi infrastruktur jalannya  sangat buruk. Jika asumsi saya benar, kebanyakan penduduk di desa tersebut (kaum muda) banyak yang mencari peruntungan di kota besar dan lebih menjanjikan kehidupan yang lebih baik.

Saya kembali teringat dengan tulisan di blog Marko Kusumawijaya, sebuah desa miskin yang ditinggalkan oleh penduduknya untuk mencari pekerjaan di kota. Perlahan-lahan desa miskin tersebut mulai mengalami perubahan, penduduknya sedikit demi sedikit lebih sejahtera, perekonomian membaik, namun pengorbanan besar yang dilakukan adalah kaum perempuan terpaksa tinggal menjaga desa dan tidak bertemu dalam waktu lama dengan suami atau anak lelaki. Ketika pekerjaan di kota sudah tutup, semuanya kembali dalam keadaan semula, sulit mencari pekerjaan, dan tidak ada potensi alam yang mampu dikembangkan.

Daya tarik kota, menyebabkan orang-orang yang tinggal di desa memilih mencari kehidupan yang lebih baik di kota. Tidak ada upaya membangun potensi desa, sehingga desa-desa semakin lengang dan tidak berpenghuni. Jikalau pabrik dibangun, kesannya hanya “numpang” lokasi, numpang memakai tenaga kerja penduduk sekitar. Namun setelah pabrik tutup atau berpindah lokasi, semuanya ditinggalkan, sumberdaya alam habis, perekonomian desa ikut kena imbasnya.

Program pemerintah seperti MP3EI maupun program pembangunan masyarakat lainnya rupanya hingga saat ini masih bergaung di atas kertas. Orang terdidik bicara soal pembangunan, merancang konsep pembangunan desa tapi tidak pernah lihat sawah, tidak pernah bergumul dalam perbincangan dengan masyarakat desa.Ibratnya konsep pembangunan daerah selalu enak di dengar, enak dipandang mirip donat, ketika dimakan eh ternyata donat plastik. Beginilah pembangunan di negara kita, tinggi mengawang-awang dalam konsep namun realisasi tak pernah menyentuh bumi, siklusnya lima tahunan.

*Selamat Pagi

Comments