Hindari Belakang Bus!



Nasibnya jadi moda transportasi massal, bus selalu punya dua dilema. Kedatangannya disyukuri sekaligus dikhawatirkan. Akhir Maret lalu pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta mendatangkan 20 armada baru bus untuk moda massal Transjogja, sebagai bentuk hibah dari pemerintah pusat senilai tak kurang dari 6,27 miliar. Tapi namanya bus yang bergabung dengan armada lama, mau tidak mau bus-bus ini masuk ke dalam citra kurang menyenangkan Transjogja yang tersiar tiga tahun belakangan: polusi.

BLH mencatat selama ini sumber polusi tertinggi di Yogyakarta adalah masih sepeda motor. Per tahun 2012, tingkat polusi dari sepeda motor di Yogyakarta bisa mencapai kisaran 0,9 hingga 7,9 ppm (parts per million), sepuluh kali lebih tinggi sejak 1992.
Dengan proyeksi jumlah sepeda motor sekitar 1,4 juta di 2014 (85% dari total 1,7 juta kendaraan bermotor tercatat, Dinas Penganggaran Kas Aset Daerah, Sept. 2013) dan pertumbuhannya 15% setiap tahun, tingkat polusi akan memanaskan udara sampai (bisa jadi) dua kali lipat.

Lantas, kenapa bus jadi sasaran empuk?

Yah... di jalan, statistika PSI (pollutant standard index) hampir tidak terlihat oleh pengendara, apalagi sepeda motor. Tidak... tidak.
Di jalan, visual memenangkan segalanya. Itulah kenapa dengan tingkat polusi seperti itu, masyarakat pengguna jalan bukannya antipati terhadap pengguna sepeda motor, tapi begitu sensitif terhadap gumpalan-gumpalan karbon monoksida yang terlepas dari knalpot bus.

Berita kedatangan 20 bus Transjogja yang sudah heboh di kalangan pemerintah sejak medio tahun lalu nyatanya tidak membawa harapan yang praktis lebih baik bagi masyarakat pengguna jalan di Yogyakarta. Alih-alih menerima kenyataan bahwa sepeda motor adalah "penyumbang penyakit" paling masif di jalan, warga, seperti halnya saya, masih menunjuk bokong bus sebagai sumber polusi paling menyakitkan.

Yah, mungkin itu terlalu subjektif dan memuat sentimen antarmoda. Bisa dipahami.

Tapi, hitung-hitungan pemerintah juga BLH terkait polutan sebenarnya mencakup lingkup pembahasan makro, sebuah kota dengan indeks. Di jalan,  yang dirasakan adalah pengaruh individual. Ketika asap terhirup hidung dengan pekatnya, yang ditunjuk pertama kali adalah moda yang menyemburkannya, bukan kelompok dalam hitungan makro sebagaimana kasus kabut asap yang terjadi di Riau.

Cobalah berkendara persis di belakang ekor bus Transjogja, rasakan kepadatan berhenti di lampu merah dengan formasi seperti itu. Ketika lampu berubah hijau dan bus melaju lebih dulu, kencangkan ikat maskermu, karena tiupan gas monoksida dan carbon seperti commulunimbus yang langsung menyelimuti kepalamu. Tragedi semacam ini, di mata pengguna, adalah kambing hitam polusi. Tidak ada itu statistik PSI ketika nyatanya hidung sudah megap-megap menahan napas.

Artinya apa? Masyarakat menggunakan logika praktisnya untuk lebih baik menghindari belakang bus di jalan, daripada berupaya memraktikkan transportasi massal yang lebih bersih. Tidak sulit untuk menyisi Transjogja dengan badan busnya yang sebesar itu, apalagi kamu pakai sepeda motor matic. Menghindari bokong bus lebih aman ketimbang berhenti, menyeka mata, dan mengira-ngira siapa yang menyebabkan polusi paling tinggi di kota.

Semua parameter pencemaran udara yang disebarkan (?) pemerintah tidak berhasil karena kepulan asap lebih dipercaya ketimbang angka-angka di papan penunjuk tingkat polusi (ellah dalah papan di sekitaran kampus UGM juga sudah dicopot, di Yogya tidak ada lagi papan ini).

Tingkat polusi sebagiannya menyangkut psikologi berkendara, penilaian stigmatis terhadap bus-bus diesel, dan keputusan singkat di lampu merah. Bahkan setelah 20 bus baru Transjogja tiba dan beroperasi mengikuti formasi 56 bus lainnya, publik pengguna jalan tetap akan menghindar selagi bisa, berpikir bahwa program pemeliharaan dan atau peremajaan bus tidak pernah menang melawan ganasnya lalu lintas.

Dan pada akhirnya moda transportasi massal tetap di persimpangan jalan, menunggu... sampai sopirnya bisa sedikit mengerti bahwa menginjak gas di lampu merah bisa menghalau simpati. Di sisi lain, sepeda motor bersaing sebagai kambing hitam.

*

Comments

  1. ratihweningdi4/26/14, 11:46 AM

    betul sekali fan, kalau bisa dikumpulkan asap kendaraan bermotor, tentu tingkat polusinya lebih tinggi :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Apa pendapatmu?