Masa Depan Kursi Taman di Kota Kita

Tinggal di Indonesia berarti beradaptasi dengan tanah, langit, lingkungan, cara hidup Indonesia. Ketika saya baca tentang cara sekelompok arsitek Belanda merancang proyek purwarupa "Bangku Taman Cerdas" (atau kamu bisa menyebutnya 'bangku taman yang lebih manusiawi'), bayangan saya, sebagai pemikir normal, langsung terbang ke Monas, ke jalan-jalan di pinggiran Jalan Slamet Riyadi Solo, atau jalan-jalan di Jogja sendiri. Bagaimana jadinya jika bangku cerdas ini ditaruh di kota ini?

Ide ilmuwan muda Belanda yang tergabung dalam firma Pivot Creative ini sederhana dan produk keluarannya sebetulnya tidak langsung berasosiasi dengan pengertian "bangku". Ruilbank --begitu penemuan ini disebut, berbentuk penjepit mirip yang dipakai menjepit jemuran di tali, cuma agak besar.

Ruilbank, proyek purwarupa arsitek Belanda yang berarti: penjepit buku. (Kompas.com/designboom.com)

Penjepit ini terbuat dari serat kaca atau yang di purwarupanya terbuat dari baja yang lentur. Ruilbank dijepitkan di pinggiran bangku-bangku taman di jalan di Amsterdam, di mana di sela jepitan itu tertahan buku-buku, majalah, bahkan selebaran-selebaran orang hilang. Ukurannya yang proporsional membuat ruilbank bisa menahan sampai tiga buku diktat ukuran di bawah 300 halaman.
Ruilbank di Amsterdam. (designboom.com)


Apakah cara-cara inovasi bangku taman seperti ini bisa diterapkan juga di Indonesia?

Kalau kamu jalan-jalan ke Solo, di sana banyak bangku terpasang permanen di jalur pedestrian utama Jalan Slamet Riyadi. Dari semua bagian kota Solo, saya kira bagian jalan ini yang paling ramah pejalan kaki. Pohon-pohonnya banyak dan rindang (soalnya asli tua-tua). Bangku-bangku hasil tempaan dari besi dan berdasar balok-balok kayu inidicat hijau dan kuning, menarik sekali dipasang berhada-hadapan di bawah pohon-pohon asam berderet sampai menjelang Gerbang Keraton.

Tapi apakah bahan bangku yang prima dan kondisi pedestrian yang rindang seperti di Solo bikin orang minat jalan kaki? Tidak.

Sama Solo, sama pula di Jogja. Sepertinya sampai setidaknya April 2014 ini, kalau kamu jalan-jalan di sekitar Gramedia Jogja, akan mudah menemukan bangku-bangku baru di bagian belakang pot-pot bunga pembatas trotoar dengan jalan Jenderal Sudirman. Berbeda dengan style Solo, bangku-bangku di Jogja lebih minimalis, cuma berupa lipat-lipatan pipa besi berengsel yang digantung di pinggiran beton pot, juga berhadap-hadapan. Dasarnya juga sama, pakai balok-balok kayu dan dicat nuansa hijau.

Apakah bangku-bangku di Jogja ini menarik perhatian pejalan kaki untuk duduk? Tidak.


Sewaktu saya menikmati waktu-waktu bebas kendaraan Minggu (13/4) pagi, tidak ada yang tertarik menemani saya itu duduk di bangku, sendirian selama belasan menit. Ya, alasannya mungkin karena waktu itu ada pertunjukan kreatif yang lebih menarik perhatian di tengah jalan. Dan ya, mungkin karena memang posisi bangku-bangku taman ini seperti sekadar terselip di belakang pot. Lebih mirip tempat menaruh (maaf) dagangan asongan ketimbang tempat duduk. Sempit!


Masih lebih baik kondisi bangku-bangku di Jalan Margo Utomo (sebelumnya bernama Mangkubumi), yang panjang-panjang, berhias tradisi di atas trotoar selebar dua setengah meter, dan bisa jadi ruang sosialisasi walaupun sekarang-sekarang ini banyak "dikuasai" pebecak untuk tidur atau pemotor untuk menghindari sweeping lalu lintas sambil  meruap-ruapkan Sam Soe.

Oke, mari kita coba reka-reka (pikiran liar anak muda saja), kenapa bangku-bangku taman atau pedestrian kota-kota kita tidak laku.

Pertama, kita tidak suka jalan kaki, men. 

Yang ini harus kita akui benar. Jangankan duduk menikmati udara terbuka. Untuk pergunakan trotoar saja kita masih enggan. Alasan klasiknya ya... "Karena trotoar sudah direbut pedagang kakilima dan tukang becak!" Well, tidak sepenuhnya benar juga. Okupasi trotoar oleh pihak-pihak tak berizin ini bisa jadi alasan teknis kalau kita harus mengalah dan mungkin akan berjalan di atas aspal karena tidak dapat tempat. Tapi tetap harus jalan kaaan....
Lagipula, tidak cuma peka-el alasan kita malas jalan kaki. Ada cuaca yang tidak menentu, polusi yang menyakitkan tenggorokan bahkan yang keluar dari bus-bus pemerintah (di Jogja, Transjogja itu polusinya wuih...!)
Ini faktor budaya saja. Lingkungan mengarahkan pola pikiran dan kebiasaan masyarakat kita dari mencari oksigen, ke mencari sejuknya AC.

Kedua, bangku taman masih jadi proyek birokrat, bukan korporat.


Jauhkan dulu ingatan soal Jakarta. Mungkin Gubernur Joko Widodo cukup beruntung karena popularitas menyerap begitu banyak keuntungan di luar kepentingan politik. Bangku-bangku taman yang sekarang kembali digarap untuk simpang Monas dan beberapa kawasan "sempat mau diruntuhkan pagarnya" di M.H. Thamrin dan Sudirman, masih jadi fokus sang gubernur. Bangku-bangku taman disanggupi oleh kebanyakan pihak swasta.


Bagaimana dengan Jogja? Oke... sepeda kampus UGM disediakan Mandiri dan BNI. Fasilitas pesepeda di banyak sudut jalan dibiayai Polygon dan satu merek minuman energi (lupa namanya, cuma ingat logonya). Tapi ketika kenyamanan bersepeda tidak juga kunjung optimal dan orang kembali gaet sepeda motor, proyek bangku taman malah mangkrak. Belum, belum ada kabar dari pemerintah kota ataupun daerah Jogja menyinggung-nyinggung rencana pengadaan bangku taman besar-besaran.

Karena apa? Karena proyek bangku taman masih jadi pelengkap di alokasi anggaran pemerintah. Kenapa tidak proyek bangku taman dan perbaikan zona tunggu pesepeda yang sudah rusak itu, ditawarkan ke pihak swasta?

Pemkot bisa tanya Mandiri atau BNI apakah mereka masih menganggarkan program CSR bidang lingkungan hidup. Mintalah itu, minta mereka sediakan bangku-bangku taman semenarik mungkin, kerjasama dengan UGM (lupakan soal proyek pelestarian becak yang tidak kedengaran lagi gaungnya itu), dan fokus perbaiki ruang publik di titik terdekat dari masyarakat: pinggir jalan.

Ketimbang UGM bikin taman olahraga, taman kreatif, apalah namanya itu, lebih baik lebih-lebih uangnya dipakai untuk bantu pemkot bangun ruang-ruang duduk di jalan-jalan kota. Kalau bisa, siapa tahu koran-koran KR atau majalah gratis perusahaan-perusahaan iklan kecil atau acara komunitas bisa disebar lewat sana. Mau tiru gaya ruilbank bangku taman Amsterdam juga tidak mengapa. Walaupun isi buku di jepitannya cuma TTS. Tidak perlu malu untuk meniru kreativitas yang sesuai dengan konteks hidup orang banyak.

Ketika bagian dari ruang publik sudah dikongsikan pemerintah daerah dengan swasta, masak sih hasilnya tidak optimum? Toh di Jakarta bisa berhasil. Kurang menarik apa Jogja untuk para perhatian swasta itu?

Sekalian biar, masyarakat juga tidak antipati atau skeptis dengan setiap program pengadaan yang ditunjukkan pemerintah. Begitu ada tempat sampah, dikira politik jelang kampanye. Giliran ada trotoar diperbaiki atau taman dibangun, dicurigai karena tokoh tertentu sediakan baliho untuk dipasangi foto Sultan atau politikus lain. Ketika pemkot atau pemda menyajikan "produk-produk" humanisme ini dengan cara yang lebih akrab, masyarakat menyambutnya dengan pikiran lebih positif. Semua akhirnya bisa senang. Pemerintah, swasta, dan publik sama-sama menikmati oksigen.

Biar, tidak melulu kita andalkan mal atau gedung-gedung kampus yang boros energi untuk sekadar mencari udara segar.

Bangku taman cuma satu dari banyak produk lingkungan yang bisa diupayakan, semata-mata untuk menjadikan kota lebih hidup. Percuma juga car free day diadakan tiap minggu kalau lingkungan hidup dibiarkan pada penampilannya yang kurang menarik. Kalau kata standup comedian Ari Kriting, "... dikiranya car free day itu karena tidak ada kendaraan bermotor, udara lantas bersih? Woi... sisa polutan itu masih ada di mana-mana!"

Nah lo....


Comments