Udara dingin begitu tajam menusuk hingga ke tulang rusuk,
namun bagi pria berumur tiga puluh tahun itu udara dingin yang dirasakannya
belum apa-apa dibandingkan sikap dingin ayahnya. Sikap dingin bapaknya yang
tetap tak bergeming selama puluhan tahun, membuat pria ini semakin memahami
bagaimana seorang laki-laki begitu teguh memegang prinsip walaupun harus
kehilangan anak laki-laki yang dulu sangat dibanggakan.
“motere’ mako nak,
punna le’ba’mi sakolanu”..
Kata-kata itu adalah permohonan yang kesekian kalinya
disampaikan Pung Massaniga kepada anak semata wayangnya Akbar. Saat itu Akbar
adalah satu-satunya lelaki dari tanah adat yang berhasil mengenyam pendidikan
hingga ke Makassar. Akbar berasal dari daerah terpencil salah satu kabupaten di
selatan Sulawesi.
Dua puluh tahun yang lalu kondisi kampung ini tidak memberi
harapan apa-apa selain mengharap rejeki
dari kegiatan berkebun atau menjadi penyadap pohon karet. Karena di tanah ini
terbentang kebun karet beratus-ratus hektar, Lonsu atau London Sumatra adalah
perusahaan pengolahan getah karet yang sudah berdiri selama puluhan tahun di
tanah Kajang yang salah satu desanya dikenal dengan pakaian serba hitam. Tanah yang selama ini dikenal
sangat anti moderinitas, menolak publisitas dan tetap melestarikan warisan moyang
yakni hutan adat.
Perkebunan Karet Lonsu di kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba
Akbar tak menangkap eksotisme lokal tanah kelahirannya
sebagai sebuah bara api yang menghidupkan mimpi-mimpinya. Akbar tak pernah
bermimpi kembali ke kampung halamannya untuk membangun rencana-rencana
hidupnya. Bagi Akbar hidup harus dinamis, tidak bisa statis. Menurut Akbar
hidup dinamis hanya bisa didapatkan dengan hidup di kota, dengan ritme waktu
yang begitu lincah bergulir hingga kadang melewatkan peristiwa sederhana namun
memberi arti penting.
Hidup di kota memang dinamis namun tak menyisakan makna
apapun selain mengutuki kesialan-kesialan waktu yang harus membuat manusia
terjebak di jalan atau perjumpaannya dengan manusia yang setiap hari memelas
receh. Setidaknya itulah remah-remah kejadian yang menghiasi perjalanan Akbar
mengejar cita-citanya di kota Makassar.
“Saya minta maaf Om,
sudah kuputuskan untuk tetap di Makassar, saya juga punya cita-cita yang mau
saya jalani”. Kata Akbar sambil sesekali mengepulkan asap kreteknya.
Setiap kata-katanya selalu diawali dengan mengisap dalam-dalam
kreteknya lalu melepasnya kembali di udara, seakan beban itu ikut lepas bersama
asap kreteknya. Pamannya yang dia panggil Om adalah utusan bapaknya, berharap
agar anak semata wayangnya bisa segera pulang di kampung.
“ikau ji paeng nak,
saya hanya kasihan sama Pung Massaniga tiap hari datang kerumah tanyakan
bagaimana kabarmu. Atau kalau kau sempat, pulanglah dulu baru jelaskan semuanya.
Saya tidak tega lihat bapakmu pulang terus mukanya sedih sekali nak”. Akbar mendengar dengan serius kata-kata omnya,
“Ya minggu depan saya pulang ketemu bapak
om, kita’ sampaikan saja dulu kalau keadaanku disini baik-baik saja”.
Akbar benar-benar merasa tidak bisa berfikir selama seminggu
sebelum kepulangannya, permintaan bapaknya dianggap beban pikiran yang sangat
mengganggu. Akbar merasa bapaknya tidak memahami gengsi laki-laki, tidak
mengerti bagaimana cara laki-laki mencari jalannya.
Akbar frustasi dengan kondisinya, ingin sekali meluapkan isi
hatinya tapi hanya bisa tertahan di kepalanya. Pantang bagi Akbar mengeluarkan
kata-kata dengan nada tinggi apalagi kasar di dengan bapaknya. Bagi laki-laki
Makassar seperti Akbar melawan orangtua apalagi bapak sama seperti meludahi
muka sendiri. Ada harga diri yang berada di luar batas hubungan darah bapak dan
anak, jika melawan bapaknya dengan argumen dan harus mengecewakan bapaknya maka
harga diri adalah jawabannya, harga diri antara lelaki dan sesama lelaki, bukan
antara anak dan orangtua.
***
Kepulangan Akbar tidak membawa perubahan apapun, terutama
untuk bapaknya. Akbar tetap berkeras segera kembali ke Makassar mencoba
peruntungan setelah menyelesaikan kuliahnya di teknik mesin. Mimpi Akbar,
seorang anak laki-laki dari daerah terpencil di Sulawesi Selatan terbangun di
laboratorium mesin teknik mesin. Akbar tidak tertarik dengan sentimentil budaya
dan kearifan lokal yang barusan dikagumi selama sepuluh tahun terakhir. Bagi
Akbar, nilai-nilai lokal itu cukup tertanam di tanah adat saja, dibiarkan
bergulir seiring perubahan zaman.
Cara pandang Akbar yang membuat Pung Massaniga kecewa dengan anak lelakinya.
“Saya sekolahkan kau
bukan untuk jadi anak yang tidak tahu asal usulmu, tanah kelahiranmu. Kalau
tahu begini, lebih saya pilih sekolahkan anak orang daripada kau. Anak lain
lebih hargai saya daripada kau anakku sendiri”.
Dengan menahan amarah, Akbar berusaha menenangkan dirinya
agar tidak keluar satu kata yang bisa membuat bapaknya semakin marah.
“Apa lagi yang kurang
Akbar? Mauko lagi apa nak, kalau mau kerja disini kau bisa bantu bapak, bantu
anak-anak lain juga dan terutama bantu orang-orang di desa ini nak”.
Akbar mencoba merendahkan nada suaranya, sambil melihat ke
arah bapaknya, berusaha berbicara dengan santun selayaknya seorang anak kepada
bapaknya.
“Cobaki dulu mengerti pak, ada juga
cita-citaku, bukan di sini rencanaku, bukan kesibukan seperti ini yang bikinka
senang pak, bulan depan ikutma berlayar di kapalnya Om Kadik.
Saya dipanggil bantu-bantu dulu untuk urusan mesinnya, kalau sudah cukup modal
saya mau bangun usahaku sendiri, tidak bergantung lagi sama orang”.
Akbar berharap penjelasannya bisa membuat Pung Massaniga
bapaknya bisa lebih memahami keinginan anak lelakinya. Namun rupanya Pung
Massaniga sudah mulai lelah berdebat dengan anaknya, dia menyerah dan sangat
kecewa dengan sikap keras kepala Akbar anaknya.
“Sudahmi kujelaskan
nak maksudku, mau sekalika kau ada di desa ini bisa sama-sama bangun desa yang
sudah kasi kau banyak rejeki. Tapi sudahlah, kejarmi cita-citamu di lautan
sana. Mungkin di sana lebih baik daripada di sini di rumah orangtuamu sendiri,
janganko menyesali apapun yang kau putuskan. Sekali kau memutuskan maka itu
yang jadi takdirmu, itu kodratnya laki-laki, karena yang bisa
dipertanggungjawabkan sama laki-laki itu hanya kata-katanya. Sudahlah besok kau
berangkat, bapak nanti siapkan keperluanmu”.
Pung Massaniga berlalu begitu saja meninggalkan Akbar yang
masih tidak percaya dengan apa yang barusan di dengarnya. Antara senang
tapi juga merasa bimbang dengan keputusannya. Akbar merasa Pung Massaniga
seperti orang lain, belum pernah dia mendengar bapaknya berbicara serius
seperti apa yang barusan didengarnya.
Keesokan harinya Akbar sudah bersiap menunggu mobil
penumpang rute Kajang-Makassar, rumah itu kelihatan sepi. Pung Massaniga tidak
ada di rumah, Akbar mencari bapaknya tapi tidak melihatnya di sekitar kolong
rumah panggungnya. Di bagian bawah rumah Pung Massaniga dijadikan sebagai
tempat mengerjakan perkakas rumah tangga, atau mengerjakan pesanan pelanggan yang minta di
buatkan kursi makan, tempat tidur dan lemari.
Pagi itu suasana rumah sangat
lengang dan mobil jemputan Akbar sudah tiba, Akbar tidak berpamitan dengan
bapaknya. Agak sedih perasaan Akbar tapi dia berusaha menyimpan kejadian pahit
tersebut, tak ingin diingatnya lagi, dia berusaha membayangkan rencana hidupnya
yang dimulai bulan depan. Sementara di kejauhan Pung Massaniga melepas
kepergian anaknya, ada kecewa dan juga sayang yang dirasakannya hingga Pung
Massaniga tidak ingin melihat kepergian anaknya.
***
Lima tahun berlalu dan Akbar tidak pernah bertemu apalagi
pulang kampung menjenguk ayahnya. Empat tahun bekerja di Kapal penumpang
membuatnya merasa jenuh hingga akhirnya musibah tenggelamnya kapal laut itu
terjadi, kapal penumpang “Timur Laut” karam dan tenggelam. Tenggelamnya kapal
“Timur Laut” menelan korban jiwa yang tidak sedikit pada tahun 1997 . Perusahaan
kapal penumpang tempatnya bekerja akhirnya bangkrut, dan Akbar terpaksa harus berhenti
dari pekerjaannya.
Kabar musibah anaknya bukan tak diketahui Pung Massaniga,
tapi musibah itu tak membuatnya bergeming untuk menghubungi anaknya apalagi
menanyakan kabar anaknya. Pung Massaniga menyerahkan hidup anaknya pada takdir
yang dipilih anaknya sendiri. Kehidupan Pung Massaniga juga berjalan seperti
biasa, sesekali datang kerabat mencoba untuk membujuknya agar menghubungi
anaknya, tapi tak pernah dia penuhi.
Pung Massaniga tidak pernah menyinggung soal anaknya, dia
benar-benar merasa sendiri. Pernah sekali masuk rumah sakit karena kelelahan karena
usia, namun tidak pernah ia meminta agar anaknya datang menjenguknya. Kadik,
saudaranya yang bersama Akbar bekerja di kapal “Timur Laut” sudah kembali lagi
ke kampung dan menggarap lahan warisan orangtua untuk ditanami merica. Kadik
pernah membahas soal Akbar namun reaksi Pung Massaniga diam saja, sejak saat
itu Kadik tidak berani lagi menyinggung soal Akbar.
***
Kadik menelpon Akbar dan memberitahu kondisi ayahnya yang
sudah sekarat karena sakit, meminta agar Akbar segera pulang ke kampung.
“Pulangko dulu ndik, garringi manggenu, Pung
Massaniga.”
(pulanglah
dulu nak, bapakmu sakit keras sekarang)
Suara di ujung telepon membuat Akbar merasa terkejut dan
tiba-tiba merasa rindu dengan bapaknya. Ingin sekali memeluk bapaknya dan
meminta maaf atas segala kesalahannya lima tahun yang lalu. Tapi Akbar tidak
berani lagi menatap wajah ayahnya, apalagi kondisinya sekarang masih terpuruk,
belum mendapat pekerjaan tetap.
“Iye’ om, saya
usahakan pulang secepatnya, jagaki bapakku om”.
Suara ditelepon gengamnya sudah hilang tapi luka dan
kepedihan masih dia genggam erat-erat, kepergiannya yang tidak disaksikan
langsung Pung Massaniga membuatnya sangat kecewa dan berjanji tidak akan pulang
sebelum sukses dia raih di perantauannya. Namun takdir berkata lain, sukses
belum diraih nasib sudah memaksanya pulang kembali bertemu ayahnya.
Akbar meninggalkan kos-kosan sederhananya di daerah
Mannuruki menuju terminal. Harapannya segera mendapat mobil penumpang yang bisa
segera membawanya pulang ke kampungnya di Kajang. Pukul 08.00 pagi mobil yang
ditumpangi akhirnya berangkat, lumayan menguras waktu pikir Akbar. Waktu terus
berlalu hingga akhirnya tepat pukul 11.00 siang dia sudah masuk di kecamatan
tempat tinggalnya, kecamatan Kajang, namun butuh waktu satu jam untuk sampai di
rumah.
Sepanjang perjalanan tidak banyak yang berubah, jalan
kecamatan sepanjang perkebunan karet London Sumatra masih seperti dulu,
aspalnya sudah rusak dan idak nyaman lagi dilalui kendaraan. Perkebunan karet
ini menyisakan banyak cerita antara dia dan bapaknya, dulu sewaktu kecil Akbar
sering diajak bapaknya menunggangi kuda. Bapaknya bercerita tentang masa sulit
setelah Indonesia merdeka, sempat ada gerombolan yang meresahkan warga.
Soal suku Kajang, bapaknya juga bercerita kalau di dalam
kawasan adat tidak boleh berpakaian lain selain hitam. Mereka hanya menggunakan
cahaya dari lampu minyak karena menolak menggunakan listrik dari pemerintah.
Pernah Akbar merasa penasaran dengan suasana kampung di kawasan adat suku
Kajang, namun oleh bapaknya sering diceritakan bahwa di kawasan itu banyak
penunggunya, bahaya jika seorang anak bepergian sendiri, bisa disembunyi sama
penunggu hutan.
Mobil sudah berhenti tepat di depan rumah Pung Massaniga,
Akbar terkejut sudah berada di depan rumahnya, namun sekaligus merasa heran
melihat banyak orang yang berkumpul di halaman rumah. Dia segera keluar dari
mobil dan menemui Om Kadik, pamannya. Pamannya sudah menyambutnya dengan wajah
muram, segera menghampiri Akbar.
“Kenapa banyak orang kumpul om?, bapakku mana, mauka
ketemu”. Akbar bertanya sambil melihat dengan wajah heran orang-orang yang
berkumpul di rumahnya.
“Bapakmu nak, Pung Massaniga, baru mau saya hubungi kau
ini,”.
Om Kadik berusaha menjelaskan tapi rupanya Akbar segera
berlari masuk ke rumah. Akbar terkejut mendapati bapaknya sudah terbujur kaku
dengan kain kafan yang menutupi tubuhnya. Akbar tak kuasa menahan tangisnya, ia
menangis di tubuh bapaknya. Akbar merasa semakin tidak berguna, tidak
menghabiskan waktu bersama bapaknya.
“Bapakmu titip pesan sama kau nak, ada surat tapi nanti saja
kau baca. Saya minta maaf tidak bisa jaga baik-baik bapakmu”. Om Kadik berusaha
menenangkan Akbar yang masih terlihat begitu shock.
“Om, saya menyesal sekali, saya ini anak durhaka, terlalu gengsi
sama orangtua sendiri, saya tidak lihatmi bapakku di saat terakhirnya, saya
belum berbakti sama dia om”.
Nada suara Akbar masih tertahan-tahan, tidak kuasa menahan
sedih yang membuncah di dadanya. Ingatan-ingatan singkat bersama bapaknya
sewaktu masih sekolah dasar begitu membekas di ingatan Akbar. Bapaknya bukan
sosok ayah yang selalu memberikan mainan untuk Akbar yang usianya masih kecil
saat itu. Ayahnya lebih banyak diam tapi selalu mengajaknya keliling kampung
dengan menunggangi kuda.
Sesekali Bapaknya membelikan dia cucuru’ jajanan di pasar pagi sebelum berangkat ke sekolah. Sebelum
berangkat ke sekolah kepalanya selalu dielus. Bapaknya setiap
hari mengantarnya ke sekolah dengan sepeda tua dan ban yang sudah aus
dimakan jalan kerikil. Agar tidak terjatuh dia memegangi pinggang bapaknya. Ingatan itu muncul satu per satu membuatnya semakin tak bisa menahan pedih melihat orang yang telah membesarkannya sudah tiada.
Esok harinya, pemakaman berlangsung khidmat, Akbar begitu
terpukul melihat ayahnya sudah tidak ada lagi, bahkan kata maaf belum sempat ia
ucapkan. Siang itu langit seperti ingin mengubur dirinya juga, ia menyesal
sangat dalam sampai tak ingin meninggalkan pemakaman ayahnya. Berjam-jam ia
habiskan di atas kuburan ayahnya yang masih basah, ia mengutuki dirinya sendiri
atas jalan hidup yang ia bangga-banggakan dulu.
Seminggu setelah kepergian ayahnya menghadap sang Khaliq,
semangat hidup Akbar belum juga beranjak. Malam serasa waktu yang paling
menakutkan akhir-akhir ini. karena tak bisa tidur, Akbar segera mencari surat
yang pernah dititipkan pamannya. Akbar menemukan surat itu dan memutuskan ingin
mengetahui pesan ayahnya.
Tangan Akbar gemetar membaca surat ayahnya, tidak ada lagi
air mata yang keluar di pelupuk matanya, aliran darah terasa
mengalir sangat cepat di dalam tubuhnya, dan tiba-tiba ia merasa tubuhnya
panas. Pandanganya hitam, tak ada lagi tempat berpijak, ia merasa tubuhnya
sangat ringan hingga akhirnya terjatuh.
Ada pertemuan yang tak dikehendaki namun menjadi takdir, dan
ada perpisahan yang juga menjadi bagian dari takdir, takdir mencari jalannya
sendiri-sendiri.
Takdir bukan teka-teki yang mesti dipecahkan, tapi takdir
adalah tentang pilihan, pertemuan dan perpisahan. Keputusan-keputusan di masa
lalu dan akhirnya menjadi pilihan hidup seseorang. Tentang keputusan Pung
Massaniga tigapuluh tahun yang lalu memelihara seorang bayi mungil tanpa
orangtua di barak pengungsian setelah penyerangan kelompok gerombolan pasca
kemerdekaan Indonesia.
______
ilustrasi : Akbarloyerd.blogspot.com
lelakibugis.net
luar biasa sekali ini. Humanis, realistis.
ReplyDeleteSa kira Buneng sudah mulai tahu bagaimana bercerita... bertutur dan bernada....
Salamak!
*fandi ganteng
yang serius fandi :(
ReplyDeletelayak baca tdk fandi?
Ih komentar serius ituuuu.... Layak baca. Layak dipahami.
ReplyDeletePasti garapnya serius benar.
makasi fandi..
ReplyDeleteini asli buneng
bnyak bljr di fiksi kompasiana jg
jd semangat lagi :)
huahahaha.. lovely!
ReplyDeletepencapaian besar buatmu, Nak....
hehehe makasih fandi..
ReplyDeleteitu alsan masih malu2 sy kasi liat langsung tulisanku
biar sy publish sndiri trus baca di t4 yg jauh juga :)