Kota yang Berubah: Cerita Jogja



Saat menginjakkan kaki pertama kali di Yogyakarta pada 2007 silam, udara sejuk masih bisa dijumpai di banyak sudut kota seputar UGM. Walaupun pedagang kaki lima sudah mulai merebak di atas trotoar saat itu, kenyamanan masih bisa dirasakan karena di bagian kota lain ruang jalan masih tersedia. Tujuh tahun kemudian, banyak sekali yang berubah.

Merasakan perubahan pada kota sering kali melahirkan pemikiran-pemikiran jahil soal "bagaimana sebenarnya kota bertumbuh". Di Jogja, gerai-gerai bisnis mendominasi perubahan struktur kota dan pergeseran daerah pemukiman. Daerah Gejayan yang sejak dulu dihiasi ruko-ruko produk ponsel kini mulai disesaki hotel dan indekos mewah. Di daerah Malioboro yang jadi pusat keramaian kini mulai digiring untuk lebih ramah bagi pejalan kaki meski, upaya itu nampaknya utopis.

Perubahan wajah kota mungkin terpaut soal izin hak bangun-bangunan yang sering kali malah terdengar politis. Banyaknya hotel dan mal baru di Yogyakarta bukan semata karena permintaan yang tinggi, tapi karena perizinan yang longgar. Pada 2013 lalu pemerintah Kota menerbitkan moratorium pembangunan hotel baru, tapi toh aturan itu dicabut tidak sampai setahun setelahnya.

Di mata awam, mudah sekali menghakimi bahwa kota mereka sudah tidak nyaman karena disesaki bangunan-bangunan baru yang meninggalkan kearifan lokal. Wajar pula seniman Kauman meluncurkan slogan Jogja Ora Di-dol (Jogja tidak dijual), mengkritik lembeknya pemerintah menghadapi perizinan bangun-bangunan.
Padahal, di mata masyarakat pendatang sekalipun, kota Jogja punya wajahnya sendiri yang tidak harus berganti menjadi kota besar lainnya. Alasannya sederhana: kota otonomi budaya seperti Jogja bukanlah metropolitan yang liberal seperti Jakarta dan Surabaya. Jogja punya aturan zonasi, sengkedan, bahkan zona aman ketinggian udara bangunan yang lebih ketat dibandingkan kota-kota lain.

Ada kota-kota yang perwajahannya berubah sangat pelan, sampai-sampai pemerintah setempat agak kesulitan menemukan titik awal untuk memolesnya lebih cantik. Tetapi ada juga kota-kota yang --seperti Jogja--, merasakan pertumbuhan pelannya dengan begitu personal, dekat dengan masyarakat, dan tidak terlalu ambisius untuk pemolesan citra.
Modernisasi kota yang terjadi di Jogja berada pada koridor-koridor kenyamanan yang didasarkan pada pemahaman Ojo Ngoyo Ojo Dumeh Ojo Lali. Kota yang berubah di tempat lain tidak lantas membuat warga Jogja kecil hati. Aksi seniman Malioboro tersebut jadi bukti bahwa --terlepas dari motif pembangunan--, masyarakat Jogja lebih senang kota mereka "begitu-begitu saja".

Modernasi yang terjadi di Jogja hakikatnya pembangunan manusia, bukan penambahan gedung dan pencakar langit. Kemajuan teknologi di Jogja berdasar pada kearifan, bukan kecanduan. Sekarang di saat banyak kritik terlontar atas pemerintah daerah yang belum juga menerbitkan aturan soal apartemen dan kondotel yang merebak bak jamur, warga Jogja menunggu pasar yang menghakimi mereka.

Tinggal kita lihat, seberapa kuat kota ini bertahan.

--------------------
Ilustrasi: Salon LONDON, satu bangunan tua yang tersisa pada wujud aslinya, Malioboro. Foto oleh @Ratihalrasyid

*

Comments