Benarkah Green Tidak Selalu Berkelanjutan?

Ilustrasi: e360.yale.edu



*

Sustainable development is puzzling. On the one hand, the term means; sustainable development means economic development and standar of living which do not impair the future ability of the environment to provide sustenance and life support for the population (F.Douglas Munschet)

Salah satu desain rancangan dari Sinar Mas Land dengan konsep Green
(Muhammadsetiawan.blogspot.com)

Memahami bencana dalam konteks “bukan masalah” akan memberikan pendekatan yang berbeda dalam penanganan bencana. Selama ini bencana dipandang sebagai masalah sehingga pendekatan yang dilakukan adalah penanganan pasca bencana, bukan sebelum bencana. Bencana bukan masalah? Merubah sudut pandang ini tidak mudah karena berhadapan dengan dampak traumatik warga, baik yang berada di lokasi bencana maupun yang menyaksikan melalui televisi.

Belajar dari bencana hebat yang melanda beberapa daerah di Indonesia, bisa kita lihat jika kerusakan infrastruktur berpengaruh besar pada ambruknya perekonomian selama beberapa bulan. Jepang selama bertahan-tahun telah mengembangkan bangunan yang ramah bencana atau tahan gempa. Pelajaran penting dari negeri Jepang yang bisa diterapkan di Indonesia adalah konsep pembangunan infrastruktur dan pembangunan manusia.

Jepang, selain bergerak cepat dalam menciptakan inovasi desain bangunan tahan gempa secara bersamaan turut serta membangun mental penduduknya seperti disiplin, terutama dalam menghadapi bencana alam. Sikap disiplin dan didukung dengan sistem infrastruktur mutakhir terhadap bencana sangat bermanfaat dalam mengurangi angka korban jiwa akibat bencana.

Contoh yang bisa kita berikan misalnya, saat gempa bumi terjadi, masyarakat tidak akan kebingungan mencari perlindungan jika bangunan yang mereka tinggali menjamin keselamatan mereka. Contoh lain adalah daerah yang dikelilingi gunung api aktif, informasi jalur evakuasi dan bangunan pelindung dari awan panas akan membantu mengurangi angka korban jiwa.

Berikut adalah contoh beberapa penerapan bangunan ramah lingkungan dan ramah bencana sebagai bagian dari konsep dan desain bangunan berkelanjutan:

Rumah Dome, Rumah Tahan Gempa di Dusun Ngelepen
Dusun Ngelepen yang terletak di Kabupaten Sleman mengalami kerusakan parah akibat gempa bumi yang terjadi pada tahun 2006. Pasca terjadi gempa, Pemerintah setempat mengusulkan akan membangun pemukiman baru bagi warga dengan konsep rumah tahan gempa yang berbentuk menyerupai rumah Teletubis.

Tahun 2013 Saya berkesempatan mengunjungi Dusun Ngelepen untuk melihat lebih dekat konstruksi bangunan yang ada disana. Cukup mengejutkan juga saat pertama kali melihat keunikan bangunan tersebut. Sekilas jika dilihat dari luar, ukuran rumah ini sangat kecil, namun saat masuk ke dalam rumah justru terlihat cukup luas. Sebelumnya saya sempat berpikir kesulitan akan sulit bergerak jika tinggal di dalam rumah yang berbentuk lingkaran seperti itu. Saya penasaran dengan peletakan kamarnya, dan ternyata tidak berbeda dengan rumah yang berbentuk segi empat seperti rumah kebanyakan.

Rumah Dome terdiri dari dua lantai, lantai satu terbagi menjadi empat ruang, satu ruang tamu, ruang dapur dan dua kamar tidur. Pada bagian atas, yakni lantai dua tidak ada pembagian ruang seperti yang ada di lantai satu. Lantai dua hanya berisi ruang kosong saja, menurut informan saat itu bahwa ruang di lantai dua digunakan untuk ruang santai seperti menonton TV. Bentuk rumah yang melingkar menjadi kunci utama mengapa rumah ini dikatakan tahan gempa.

Konstruksi yang melingkar menyebabkan kekuatan bangunan merata dan mengkuti gerakan tanah. Tidak seperti dengan bangunan yang berbentuk segi empat, kekuatan bangunan tidak merata karena bertumpu pada setiap sudut bangunan. Saya mengagumi konstruksi rumah Dome ini, dan tidak hanya rumah warga yang dibuat melingkar seperti itu, bangunan publik lain seperti puskesmas, gedung balai pertemuan juga berbentuk melingkar.

Penataan lingkungan juga diperhatikan di kawasan ini, misalnya membangun taman bermain, drainase dan jalan. Sore itu saya melihat senyum anak-anak saat bermain di sekitar rumah mereka, tidak ada yang menyangka jika daerah ini pernah diguncang gempa hebat yang meruntuhkan bangunan mereka sebelumnya.

Rumah Dome ini terletak di dusun Ngelepen, Prambanan, Yogyakarta
(Dokumen Ratih Purnamasari)

Rumah Rempah, Rumah Ramah Lingkungan
Apa jadinya rumah yang dibangun dari sisa limbah konstruksi? Kita pernah mendengar rumah botol Walikota Bandung atau rumah yang terdiri dari kumpulan kontainer? Saat pertama kali menginjakkan kaki di Rumah Rempah Solo, Saya tercengang melihat komponen yang membentuk bangunan tersebut. Ternyata sisa kayu, besi yang biasanya jadi rongsokan dan limbah ternyata bisa didaur ulang dan jadi hunian.

Baru kali ini saya melihat ada bangunan seperti ini yang menggabungkan berbagai sisa atau limbah konstruksi untuk dijadikan bangunan. Tidak hanya bangunan rumahnya saja yang ramah lingkungan, penataan pot tanaman yang ada di halaman rumah rempah juga cukup mengagumkan. Pot tanaman ditaruh di antara rangka besi yang didesain seukuran diameter pot tanaman.

Memasuki bangunan bagian dalam rumah rempah, ada tangga yang cukup unik saya temukan. Tangga yang menghubungkan lantai satu dan lantai dua adalah tangga besi, sebelumnya pernah berfungsi jadi pagar, kini disulap jadi tangga. Melalui desain Rumah Rempah saya memahami konsep Go Green atau berkelanjutan, bahwa Green bukan hanya soal seberapa banyak ruang hijau yang tersedia atau semampu apa kita menerapkan konsep masyarakat mandiri berkebun. Rumah Rempah membuka cakrawala baru tentang bagaimana memaknai konsep Go Green dan Sustainable secara rasional, bukan brand semata.
Perhatikan komponen yang ada di rumah tersebut, materialnya adalah sisa kayu,
kaca dan besi (Lokasi Rumah Rempah, Solo)

Bahan yang digunakan sebagai rangka bangunan adalah besi bekas

Perhatikan juga pot tanamannya, cukup unik bukan?


Rumah Bambu Bumi Pemuda Rahayu di Desa Dlinggo
Berawal dari kegiatan “Akademi Berbagi Yogyakarta” yang menghadirkan bapak Marco Kusumawijaya sebagai pembicara saat itu, Saya akhirnya mengetahui tentang keberadaan rumah bambu yang ada di desa Dlinggo. Pertemuan Saya dengan bapak Marco saat itu lebih banyak berbicara soal energi dan konsep hijau yang banyak didengungkan berbagai produk publik seperti mobil, rumah, dan plastik belanja.

Satu kata yang sering diulang Pak Marco adalah istilah Entropi. Apa itu Entropi? Secara sederhana dapat kita pelajari dari peristiwa sederhana yang sering kita saksikan sehari-hari. Beras memiliki entropi yang rendah, dibandingkan setelah beras berubah menjadi nasi. Beras yang dimasak dan menjadi nasi memiliki entropi yang tinggi. Mengapa tinggi? Karena untuk memasak beras kita membutuhkan sumber daya lain yakni energi panas untuk membantu proses kematangan nasi.

Berapa energi yang dibutuhkan untuk memasak nasi? Jika sudah tahu kira-kira berapa energi yang kita habiskan untuk menanak nasi maka sebesar nilai itu nilai entropinya.

Lantas apa hubungannya dengan Sustainable?
Berkelanjutan tidak sekadar menciptakan inovasi dari berbagai benda atau sumber daya alam yang belum dilirik selama ini, kemudian dimanfaatkan atau didaur ulang kembali. Prinsip menciptakan dan mendaur ulang masih berada pada tahapan Subtitusi, artinya berkelanjutan namun hanya untuk mencari barang pengganti (dengan alasan keterbatasan Sumber daya alam).

Berkelanjutan adalah konsep pembangunan yang tidak berdiri sendiri, khususnya pada aspek pemanfaatan sumber daya alam dan pemilihan material bangunan yang dinilai harus hemat energi. Apakah dengan menggunakan e-book, kita sudah menerapkan prinsip Sustainable (Berkelanjutan)? Dengan pemahaman jika menggunakan e-book, berarti sudah menyelamatkan pohon dan hutan.

Bagaimana dengan sumber listrik yang kita gunakan untuk menyalakan laptop atau tablet untuk membaca e-book? Saat benda-benda ini rusak maka ada berapa banyak sampah elektronik yang menjadi beban lingkungan baru di kemudian hari? Seperti yang kita ketahui jika sampah elektronik tidak mudah di daur ulang dan memiliki risiko lingkungan yang lebih besar.

Penerapan bangunan hemat energi juga tidak hanya dilihat dari sedikitnya jumlah air conditioner yang digunakan dalam satu bangunan. Tapi bangunan hemat energi adalah bangunan yang memperhatikan, mempertimbangkan penggunaan ruang secara efektif. Desain bangunan menyesuaikan kemudahan mendapat sinar matahari, sirkulasi udara dan pemasangan saklar berdasarkan jumlah ruangan.

Pada bidang pemanfaatan air misalnya, membuat penampungan sendiri untuk menampung air hujan untuk kebutuhan yang tidak prioritas seperti menyiram tanaman. Contoh yang bisa dipelajari di Jepang misalnya, membebankan biaya pemakaian air tidak hanya berdasarkan berapa jumlah air yang diperoleh tapi juga menghitung berapa kubik air yang kita buang setiap harinya.

Salah satu ruang kumpul di kompleks Bumi Pemuda Rahayu
Material utamanya adalah bambu (Lokasi di desa Dlinggo, Imogiri. Yogyakarta)

Kesimpulan
Ibarat puzzle, sasaran pembangunan berkelanjutan dihadapkan pada beberapa pilihan. Satu sisi pembangunan berkelanjutan mengarah pada konsep pemanfaatan sumberdaya alam untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Namun disisi lain upaya pembangunan berkelanjutan membutuhkan teknologi dan sumber daya yang cukup banyak. 

Pembangunan rumah tahan gempa, atau penerapan rumah ramah lingkungan seperti Rumah Rempah dan Rumah Bambu adalah bagian kecil dalam pembahasan konsep berkelanjutan. Membangun prasarana fisik pasca gempa saja belum cukup, namun dengan membangun manusia melalui informasi kebencanaan adalah bagian dari keberlanjutan. Contoh lain misalnya, hijau belum tentu berkelanjutan, jika harus mengeluarkan energi yang lebih besar untuk menghasilkan satu kebun di atap rumah atau bangunan.

____
Diikutkan dalam lomba menulis Blogger Sinar Mas Land 2014
Oleh Ratih Purnamasari
@ratihalrasyid




Comments