Hipster!

Festival Honk di Somerville (Foto oleh Adam Groffman)

Beberapa muda-mudi keluar masuk di salah satu Outlet yang cukup terkenal di kota Yogyakarta. Setiap hari, setiap jam sebelum pukul 10 malam jalan ini selalu macet. Pemicu paling besar ada di toko ini, karena peminat pakaian anak muda di sana begitu tinggi, hingga hampir tidak menyisakan ruang parkir sama sekali.

Sesekali juga saya perhatikan perkembangan terbaru model dan desain resto tempat nongkrong anak muda di kota ini. Setiap bulan pasti ada saja yang baru, entah itu dari dekorasi, tatanan lampu dan tema restonya sendiri. Makin kesini muncul berbagai resto mini dengan ukuran yang tidak terlalu besar, dengan tatanan dekorasi yang hampir sama. Lampu agak kekuning-kuningan dan banyak menggunakan ornamen kayu, kesannya cukup hangat jika dilihat dari jalan.

Mereka yang keluar dari outlet baju atau yang nongkrong di resto mini ini umumnya yang saya lihat punya semacam gaya dan pemilihan “fashion” cukup seragam. Perempuan dengan kacamata besar, berkawat gigi, baju agak kebesaran dan sedikit acak-acakan. Sedangkan untuk laki-lakinya kebanyakan menggunakan baju kaos dilapisi kemeja dengan kancing yang terbuka, topi bundar “Bruno Mars”, berkacamata besar dan celana selutut.

Dandanan gaya Hipster (whomagazine.co)


Kebetulan seorang teman yang lumayan mengerti perkembangan fashion pernah kutanya soal ciri-ciri yang saya sebutkan tadi. Mungkin mirip-mirip gaya Vintagekatanya, salah satu tren fashion yang cukup in di tahun 80-an. Sejak saat itu saya mulai cari info banyak soal perkembangan fashion, semata karena menemukan sekelumit “fenomena” di dalamnya.

yaitu tentang bagaimana perubahan gaya hidup yang mempengaruhi wajah kota, secara fisik dan sosial, hal ini yang menjadi awal ketertarikan saya tadinya mengamati pertumbuhan jumlah toko baju dan beberapa rumah makan di kota ini.

Oke, Apa itu Hipster?

Hipster, kaca mata besar, menggunakan bandana, atau sedikit bergaya Vintage adalah salah satu ciri komunitas ini. Dari beberapa literatur yang saya temukan komunitas Hipster biasanya tidak mengikuti perkembangan fashion yang sedang laris manis bak kacang goreng. Ibaratnya, Hipster punya mazhab sendiri dan berlaku umum sesama Hipster. Pilihan musik yang mereka dengar pun tidak berdasarkan lagu apa yang sedang ramai didengarkan, mereka juga sudah punya selera sendiri soal musik.

(Ini yang dipahami “sedikitnya” di Indonesia, dari beberapa tulisan blog yang saya baca, soal definsi mereka tentang Hipster)

Bagaimana Hipster di Amerika?
Selera di bidang fashion, musik, tempat makan, pertunjukan konser membuat komunitas Hipster terlihat lebih tertutup dan cenderung “abai” dengan sekeliling. Gelombang komunitas Hipster yang tumbuh selama 10 tahun terakhir di kota-kota Amerika dibaca sebagai sebuah peluang ekonomi. Komunitas Hipster dinilai cukup potensial untuk pemasaran berbagai macam produk fashion dan tempat hiburan.

“Ini adalah contoh klasik sebuah penjajahan berbentuk fashion untuk menanamkan hak dan paham, yang hari ini dikenal dengan sebutan Hipster.” Opini cukup “keras” mengkritik kehadiran Hipster ini disuarakan oleh Thomas Chatterton Williams yang menuliskan opininya di The New York Times. Kritik ini didasari oleh pandangan bahwa tren gaya hidup yang seragam seperti Hipster dinilai berupaya menghapus “keunikan” spesial setiap kota
Hipster terlihat ingin meniadakan sesuatu yang tidak sesuai dengan pahamnya dan kelompok yang disasar adalah golongan menengah ke bawah.

Lebih jauh, mari kita fokuskan pada opini Williams tentang pengaruh Hipster dalam mengubah wajah dan citra kota.

Hipster awalnya adalah sebuah “paham “kebebasan” dari kalangan menengah ke bawah yang kemudian di masa sekarang menjadi tren warga kelas atas. Paham seks bebas dan ngedrugs dikhawatirkan akan merusak tatanan sosial warga kota. Banyak kasus kekerasan yang terjadi di kota besar tidak lepas dari perilaku menyimpang sekelompok orang. Seperti yang terjadi di kota London dengan sejarah pembunuhan sadis Jack The Ripper.

Legenda Jack The Ripper hingga saat ini masih menjadi misteri dalam pemecahan kasus pembunuhan di kota London. Tidak banyak yang diketahui dari sosok misterius ini selain sebuah informasi kunci, bahwa korban yang dibunuh adalah pekerja seks komersial. Tujuan pembunuhan yang dilakukan oleh JTR diterjemahkan sebagai sebuah tindakan “menghapus” kerusakan moral sosial di Kota London.

Artinya tubuh perempuan sangat kuat membangun persepsi segelintir orang terhadap kondisi sosial yang ada kota tersebut. Seseorang lebih mudah menandai keunikan satu kawasan melalui pakaian yang digunakan wanita di kawasan itu. Perubahan gaya hidup yang bergerak cepat, dan tidak berbanding lurus dengan perubahan cara pandang kelompok masyarakat yang mengutamakan norma sosial akan menimbulkan jarak pemisah yang cukup lebar.

Hasilnya adalah, kelompok minoritas seperti homoseksual, pasangan lesbi, pekerja seks (maaf), dan gay akan menyingkir dari pemukiman kota yang dihuni kelompok mayoritas. Mereka mengembangkan ruang bermukim sendiri dan jauh dari lingkungan sosial pada umumnya.

Belakangan, sejak isu-isu HAM mulai didengungkan, kelompok minoritas seperti gay mulai memberanikan diri muncul di tengah masyarakat dan mengukuhkan keberadaan mereka. Dilihat dari tingkatan ekonomi kaum “gay” ini punya tingkat kemapanan yang jauh lebih baik dibandingkan kebanyakan PSK, sehingga kelompok gay bisa memilih tinggal di apartemen dalam kota. Sebagian besar dari mereka juga rata-rata adalah dari kalangan cukup berpendidikan.

Gaya Hidup dan Kekerasan Perkotaan

Style may emerge for the sake of provocation. Gambaran saya sebelumnya soal bagaimana tubuh dan pakaian mempengaruhi persepsi itu juga terjadi di kelompok Hipster. Hipster contohnya, gaya yang mereka gunakan adalah gaya yang memang lazim di eranya. Hipster dipopulerkan dalam novel Jack Kerouac’s pada tahun 1957 yang berjudul On The Road.
Referensi yang saya miliki berjudul – How Hipsters Transformed From A Local Subculture To Global Consumption Collective – menyebutkan bahwa Kerouac melihat Hipster sebagai sebuah peralihan cara pandang terhadap gaya hidup, seperti musik, pesta narkoba dan sex bebas.

Cara pandang radikal ini yang mulai dikirtik, karena secara fundamental paham Hipster dinilai bertentangan dengan nilai sosial, sama dengan gay, homoseks, dan lesbi. Namun cakupan pengaruh Hipster secara umum terlihat lebih “kekinian” dan sangat menggambarkan gairah muda sehingga kemunculannya tidak sama mencoloknya dengan gay atau lesbi.

Protes keras yang terjadi saat ini tidak lagi menekankan pada persoalan paham Hipster yang cenderung “bebas”. Kini mereka muncul dengan paham selera yang agak “ekslusif”, dengan dukungan fasilitas seperti toko baju, musik, resto dan acara konser. Pola ruang yang muncul kini akan lebih banyak menggambarkan sebaran fasilitas jasa dalam kota, dimana dalam satu ruas jalan akan terdapat banyak toko baju, resto khusus bagi para Hipster.

Dijalan Anda akan bertemu dengan banyak orang dengan gaya yang seragam, kesenangan yang sama, wajah kota yang konsmtif karena lebih banyak ruko dan tempat nongkrongnya. Anak muda akan lebih banyak ditemukan di resto-resto atau depan swalayan, waktu berjalan begitu lambat dalam gelak tawa mereka. Esok harinya tinggal tugas para lansia dan pemburu sampah yang memunguti sampah muda mudi ini.

Oh..Hipster
Ilustrasi Andrew Leonard/travvelsized.com.

***

Comments