Green Mile: Adakah Manusia yang Sanggup Hidup Sendiri?

Mama dan Ayahku setelah pulang shalat Ied (2014)

Jauh sebelum menonton film yang dibintangi aktor Tom Hanks ini, Aku pernah berfikir ingin sendiri, hidup sendiri. Alasanku sederhana, ingin jauh dari kebisingan yang tidak penting. Setiap hari Aku berjalan melakoni kehidupanku seperti biasa, namun secara perlahan sekelilingku ikut berubah. Semua serba terburu-buru padahal teknologi yang mendukung aktivitas manusia pun sudah tidak kalah cepatnya. Aku kemudian mendapati rutinitas yang sama dan tidak berubah setiap harinya, yang berbeda adalah kecepatan, semua menjadi beringas karena waktu.

Hingga akhirnya tanpa direncanakan sama sekali, hari itu Aku disodorkan satu film oleh teman. 
“Film apa? bagus nggak?” tanyaku saat itu.

Temanku tidak banyak basa-basi dan mengatakan kalau lebih baik aku menonton saja film itu. Pada bagian pertama dari film ini Aku sempat berfikir apakah yang kutonton adalah film tentang orang-orang lansia? soalnya bagian pertama dari film ini adalah sekumpulan manula yang menghabiskan waktu di panti jompo.

Alur film terus berjalan, menyampaikan jalinan cerita yang makin apik ditelusuri. Aku terdiam dan terhenyak, agak emosional dan akhirnya meneteskan air mata. Tangisku pecah seperti ada yang menusuk di dalam hatiku. Malam hari setelah menonton film ini Aku tidak bisa tidur nyenyak, pesan pada bagian terakhir dalam film Green Mile begitu membekas di kepalaku. 

Aku tidak tahu seperti apa persisnya rasa nelangsa itu, apakah rasanya seperti saat Aku mendengar lagu Mimpi milik Anggun? Karena saat mendengar lagu ini bagian dari diriku tiba-tiba merasa terhempas di tempat yang sangat jauh dan ada kerinduan kuat yang memanggilku kembali. 

Green Mile menyampaikan pesan pada diriku tentang seperti apa dunia yang akan dihadapi ketika orang-orang terkasih satu per satu telah pergi. Banyak hal yang akan berubah, fisik yang semakin lemah namun “dipaksa” mengikuti gerak cepat orang-orang, bahasa yang semakin sulit dipahami, dan waktu yang terasa berjalan sangat lambat. 

Teknologi dan peradaban pada akhirnya tidak menyisakan tempat bagi yang lemah, tua dan sendirian. Teknologi yang bergerak cepat semakin terlihat tidak masuk akal dihadapan lansia. Lantas dimana pelarian yang membuat kita masih bisa bernafas lega? sembari menerima keadaan yang mulai bersahabat dengan segala keterbatasan fisik?

Aku membayangkan wajah tua Ayah. Hari ini dengan segenap mimpi yang juga sama kuatnya tertancap di kepalaku ingin melihat dunia, tiba-tiba melintas wajah Ayah dengan raut wajah bergaris-garis. Tangisku makin tak terbendung malam itu, idealismeku berlomba dengan waktu. Aku tidak ingin meninggalkan Ayahku dalam keadaan sendirian, Aku khawatir dirinya merasakan kesepian yang menyiksa saat putri kecilnya mulai pergi meninggalkannya. 

Kenangan manis saat kanak-kanak masih membekas di kepalaku hingga sekarang. Saat itu Aku menginginkan sepasang sepatu, dan tiba-tiba saja ketika bangun di pagi hari terasa ada yang aneh dengan kakiku. Diriku melonjak kegirangan karena melihat sepasang sepatu terpasang manis di kedua kakiku.

Dibalik kelambu Ayahku tersenyum lalu menggendong, sambil mengusap kepalaku. Yang Aku ingat hari itu Ayah menjelma seperti seseorang yang berbeda, seseorang yang begitu bahagia, senyumnya tidak berubah hingga sekarang. Teduh.

Aku ingin menemaninya, menunjukkan jika tidak akan ada yang berubah saat fisiknya melemah, saat suaranya tak lagi jelas, saat satu per satu giginya jatuh dan rambutnya memutih. Semuanya akan berjalan seperti biasa, semua akan menunggu dirinya di meja makan, berkumpul bersama. 
----

Comments