Berkaca pada Banjir...

Warga melintasi Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat yang tergenang air saat Banjir mulai merendam (9/1/2014). Sumber foto: Dany Permana — Kompas.com.

Lembaga riset dan analisis Katadata.co.id merangkum kerugian total akibat Banjir Jakarta selama dua hari (Senin 9 hingga Rabu 11 Januari 2015) mencapai total 3 triliun rupiah, dan berpotensi membengkak hingga 4,5 triliun sebelum Jumat.

Katadata mengutip pernyataan Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (KADIN) DKI Jakarta Sarman Situmorang yang menjelaskan bahwa dengan mengalikan kerugian akibat tutupnya sekitar 75.000 toko (termasuk kios dan outlet di pusat-pusat perbelanjaan), dan dengan asumsi omzet harian per toko sebesar Rp 20 juta, kerugian per hari akibat banjir jakarta mencapai Rp 1,5 triliun.

Tanpa berharap, tapi andai banjir Jakarta masih akan terjadi selama sepekan penuh–BMKG memprediksi hujan deras masih akan terjadi di Jakarta dalam rentang 7 hari–, maka total kerugian diderita orang di Jakarta mudah dihitung, yakni 10 triliun lebih.
Di luar hitung-hitungan kertas, kerugian yang nyata dirasakan lebih pahit oleh warga yang kebanjiran, merelakan kendaraan mereka mogok di tengah jalan, dan yang terpaksa meninggalkan pekerjaan karena harus mengungsi. Sayangnya saya belum menemukan prakiraan angka kerugian psikologis akibat banjir Jakarta. Karena jika memantau twitter, banjir Jakarta yang datang terus-menerus seperti diterima begitu saja sebagai “nasib kaum urban”, jika tidak malah dijadikan candaan ironi (meme).

Ini bukan banjir heboh pertama bagi Ibu Kota. Beberapa hari setelah Bundaran Hotel Indonesia dan Istana Negara dilalap air bah Januari 2013 lalu, Gubernur Joko Widodo menerima rekapitulasi kerugian total yang mencapai Rp 20 triliun, lalu menyetujui penganggaran pos Penanggulanan dan Antisipasi bencana banjir untuk tahun-tahun berikutnya sebesar lebih dari Rp 25 triliun.

Akan tetapi, saat Jakarta kembali kebanjiran awal 2015 ini, Penerusnya, Basuki Tjahaja Purnama, yang merasakan siklus banjir pertama sebagai gubernur, mengaku kewalahan dengan “debit air yang terlampau besar”, malahan mengumumkan dugaan adanya sabotase di dua pintu air utama. (Baca Kompas.com: Istana Kebanjiran, Ahok Curiga Ada Sabotase) Ahok sepertinya lupa, pada musim yang sama 2014 saja, air bah yang masuk ke Ibu Kota nyaris sama besarnya dengan yang terjadi tahun ini.

Apapun alasan Ahok, dan berapapun kali ia meminta maaf, kiranya hati warga Jakarta tidak mau mengambil pusing. Cukup sudah kebanjiran di jalan dan mobil mogok “merusak hariku”, merusak suasana hati dan menggagalkan banyak agenda.

Tapi bagaimanapun pahitnya menerima kenyataan pahit banjir, kini waktunya warga Jakarta melihat banjir dalam bingkai yang lebih luas. Merebaknya banyak meme di media sosial memarodikan liputan banjir tentu suatu cara untuk melihat banjir Jakarta dari bingkai dan sudut lain.

Hanya saja berkaca pada banjir harusnya bisa lebih kritis, coba menggunakan logika publik dalam mengira-ngira, apakah Jakarta sebuah kota yang menjanjikan kehidupan produktif di masa-masa datang.

Belum sepekan berlalu sejak kita kembali diingatkan dengan berita Jakarta yang didapuk sebagai Kota Termacet di Dunia, versi sebuah lembaga afiliasi produk lubrikan ternama. Peringkat nomor wahid dalam hal kemacetan lalu lintas kota diraih Jakarta hanya dalam waktu 4 tahun, setelah sempat terseret di urutan 11 hingga 14 sebelum 2010. Menurut riset itu, rerata kendaraan di jalan-jalan Jakarta berhenti-berjalansebanyak 33.240 kali dalam setahun. Itu kalau diramu berdasar waktu, pengendara di Jakarta bisa menghabiskan waktu terjebak macet di jalan antara 45 menit hingga 2,5 jam setiap harinya.

Predikat termacet yang diraih Jakarta pada awal 2015 agaknya senada dengan “ramalan” Direktur Indonesia Effort for Environment, Ahmad Safrudin yang pada Juli 2013 lalu kepada Tempo pernah memprediksi 2014 sebagai tahun lalu lintas Jakarta akan mengalami kemacetan total (stuck). Kala itu Ahmad menggambarkan, jika 15 (limabelas) persen saja kendaraan Jakarta beroperasi di jalan, maka kemacetan pasti terjadi.

Jakarta tidak mungkin menambal lukanya tanpa mengamankan dirinya dalam ruang gerak dan ruang napas yang cukup. Pendangkalan sungai berpuluh-puluh tahun belum bisa diatasi dengan pengerukan beberapa pekan sejak periode singkat Gubernur Joko Widodo. Apalagi perbaikan gorong-gorong yang hanya secuil-cuil. Kini, revitalisasi sungai keruh dan waduk di Pluit dan Riario jarang terdengar karena citra Gubernur Basuki lebih akrab dengan urusan ketertiban SDM tingkat eselon dan pembenahan birokrasi yang mengandung masalah sama keruhnya.

Terus merosotnya nasib Ibu Kota dari tahun ke tahun memberi cerminan bahwa masalah di, tidak cuma Jakarta tetapi banyak kota lain, lebih dari sebatas ancaman banjir dan kemacetan. Ibarat siklus banjir itu sendiri, ada sebab di hulu, dan akibat di hilir. Yang hulu-hulu ini termasuk perizinan bangunan, studi perencanaan, daya dukung lingkungan, infrastruktur, kependudukan, tata ruang yang berantakan, sampai mental korup penyusun-pelaksana birokrasi. Sementara urusan di hilir, barulah termasuk penataan kampung hunian, keadaan tanggul dan pintu air, penertiban tanah ilegal, PKL, sampai masalah tempat sampah.

Tapi tidak berarti jalan keluar kandas sama sekali.
Jakarta serupa etalase bagi manusia-manusia paling aktif di Indonesia. Tempat berkumpul kaum urban dengan Indeks Pembangunan Manusia tertinggi di Indonesia, yang berdasar data BPS, mencapai 77,8 poin pada 2013. Kota-kota yang paling mendekati antara lain Riau (76,5), Manado (76,7) dan Yogyakarta (76,9). Dalam hal informasi, Jakarta tempat pengguna paling aktif hampir semua aplikasi berbasis telepon genggam untuk informasi seputar banjir, lalu-lintas, sampai gaya hidup.

Peran kaum muda


Kaum muda Jakarta, dibanding kota-kota lain, termasuk paling potensial membantu pemerintahnya mengembangkan sistem “antisipasi dan penanganan” banjir. Mereka yang berusia 15 hingga 25 tahun merupakan pengguna teknologi informasi paling banyak lewat perangkat mobile. Jika arus informasi dapat terjadi dalam hitungan detik lewat ponsel, status ketinggian di pintu air, titik genangan, kemacetan (sekarang popular app Waze), bahkan sampai lokasi dan status pengungsi dapat disebarkan lewat relawan-relawan. Sama seperti distribusi kemacetan, dari sekitar 270 juta penggunaan ponsel di Indonesia, lebih dari 70%-nya tersebar di Jabodetabek. Peluang komunikasi tanggap darurat banjir di kemudian hari akan memunculkan banyak inovasi.

Belajar dari kasus pasca-erupsi Gunung Merapi di Yogyakarta 2010-2-11 lalu, sebanyak 140 komunitas relawan tercatat pada database BPBD untuk siaga di puluhan titik rawan banjir lahar hujan, dari lereng terdekat dari puncak di Cangkringan sampai kawasan Kali Code yang membelah kota Yogya hingga Bantul. Meski banjir bandang kala itu tetap menerjang, jumlah korban serta kerugian materil dapat diinventarisir dalam waktu singkat, lewat peran komunitas-komunitas relawan ini. Kini, komunitas-komunitas relawan muda itu sebagian besar masih aktif dan tersebar, dan dapat dipanggil kapan saja.


Foto Bundaran Hotel Indonesia saat dikepung banjir, Januari 2013. Sumber: Kompas.com

Jakarta juga pasti bisa. Kaum muda Jakarta sangat aktif bersosialisasi dan mudah merespon informasi, ataupun jadi sumber informasi. Peran para relawan Jakarta sudah terlihat saat banjir menyapu parah hingga menenggelamkan Bundaran HI 2013 lalu, juga saat 23 orang terdata meninggal dunia saat banjir 2014. Relawan naik perahu, menginap di pengungsian, bergabung dengan tim SAR. Tapi dengan kemajuan dan tantangan makin besar, dan saat pemerintah masih berkutat dengan hitung-hitungan, anak-anak muda sudah bisa berbuat lebih dari sekadar menyebar meme.

Banjir dan Tanah Longsor tercatat sebagai bencana alam paling “mematikan” di Indonesia. Apakah karena banjir banyak warga Jakarta “ngungsi” ke Bandung atau ke Jawa Tengah? Mungkin tidak juga. Kita tidak akan menyerahkan Jakarta tenggelam begitu saja meski tanahnya turun 18cm per tahun. Tapi bagaimanapun sulitnya penanganan banjir, masyarakat kita selalu siap. Berhenti abai dan mulai bertindak.

—-
Tagar #BanjirJakarta hingga Jumat (13/1) di Twitter sudah ditayangkan sebanyak 1.827.644 kali dalam 3 hari terakhir, dan sudah diperbincangkan oleh setidaknya 1.280.642 akun. (TweetReach) Pada Rabu, tagar #JakartaBanjir diperbincangkan sebanyak 21.000 tweet hanya dalam 24 jam. (BBCIndonesia)
Data pencarian terbesar menyangkut jalan alternatif (@Lewatmana), posko bantuan (Lazismu, DompetDhuafa), dan info mitigasi (Infomitigasi).

Comments