Kampung Code, kampung-kota yang semakin terhimpit bangunan beton di sekitarnya (dok.Ratih)
Comenius 400 tahun yang lalu telah
meramalkan saat dimana warga kota tersesat dalam ruang-ruang labirin, dinding
labirin beton yang ada dalam kota mereka. Pernahkah kita tersesat di jalan yang
sering kita lalui karena jalan-jalan itu terlihat serupa dengan jalan yang
lain? Saya pernah mengalami kejadian seperti ini, tersesat menuju kampus dan
rumah kos teman. Padahal jalan-jalan menuju kampus selalu saya yakini telah
saya kuasai, begitu pun dengan jalan menuju rumah kos teman saya.
Biasanya jalan yang saya
lalui menuju kampus mengambil rute umum, seperti jalur 3A Trans Jogja (Condong
Catur-Manggung-Jakal-Biologi UGM-RS.Sardjito). Namun, hari itu saya mencoba
rute lain, jalur 2B (Gejayan-Panti Rapih) karena ingin mencoba jalur yang lebih
dekat menuju perpustaakaan pusat UGM. Selama perjalanan saya sudah merencanakan
akan turun di shelter yang saya anggap shelter terdekat menuju pintu utama UGM.
Ternyata saya keliru, bangunan yang menjadi penanda dalam ingatan saya,
ternyata masih berada jauh dari shelter yang saya turuni saat itu.
Saya turun di shelter yang
masih sangat jauh dari pintu utama UGM, saya malah nyasar di depan UNY
(Universitas Negeri Yogyakarta). Saya mencoba mencari penyebab kejadian ini,
karena justru saya sering survei lapangan saya merasa heran kenapa bisa
mengalami kejadian seperti tersesat di jalan yang justru saya yakini sangat
familiar. Saya tidak ingin terburu-buru menganggap kejadian ini sebagai disorientasi spasial. Kecenderungan ini
memang sering terjadi pada saya saat berada dalam kota yang bloknya cukup padat
dan banyak jalan kecil (gang).
Dari sebuah buku yang
sangat menarik (Psikologi Perkotaan)* Saya mencari tahu tentang pengalaman saya
dan hubungannya dengan ruang di dalam kota. Lalu saya menemukan bahwa, warga
kota seperti kita ibaratnya pengembara, dari satu labirin ke labirin yang lain.
Contohnya saat keluar dari rumah, lalu berangkat kerja, kemudian terjebak di
dalam kemacetan, ruang yang tumpang tindih, mencari rute lain kemudian terjebak
lagi dalam blok-blok ruang.
Mari kita lihat lebih jauh, misalnya seperti apa kita mengenali
satu jalan, dan memilih jalan tertentu yang dianggap familiar, lalu menghindari
jalan lain yang dirasa kurang aman. Setelah lama tersesat di jalan, kita hanya
ingin segera menemukan jalan menuju keramaian, atau pusat kota. Tapi apakah
semudah itu menemukan pusat kota, sementara jalan menuju pusat kota semakin
tidak jelas.
Bangunan raksasa yang ada di kiri kanan jalan mengaburkan
pandangan tentang visual yang ada disekitarnya, kita merasa terhimpit dan
semakin asing di dalam ruang. Saya belum pernah
merasakan berjalan dalam labirin yang sesungguhnya, hanya dari film yang biasa
saya tonton. Dari film tersebut, saya melihat bagaimana kebingungan orang-orang
menemukan jalan keluar, atau hanya berputar-putar di jalan yang sama, lalu
buntu. Bukankah pengalaman itu sama dengan yang kita rasakan di jalan-jalan yang
ada di kota kita?
Wujud ruang kota kini
seperti dimanipulasi dalam bentuk perencanaan fisik yang mengaburkan
kawasan-kawasan penduduk asli. Jika tadinya kita masih bisa mengenali satu
kawasan karena pemukiman penduduknya, kini hal itu semakin sulit dilakukan. Pemukiman warga makin
terpinggirkan, mereka tinggal di bagian belakang, lalu dihimpit bangunan/gedung
3-6 lantai. Kampung-Kota semakin terjepit, sementara gaya arsitektur yang ada
di gedung-gedung itu bentuknya hampir sama semua.
Kini penanda unik dari
kawasan khusus dalam kota mulai samar, sangat sulit menemukan perbedaan pola
ruang dalam kota, kecuali Anda mau bersusah-susah menyusuri gang demi gang,
lalu saat itu Anda akan terkejut melihat ternyata ada masih perkampungan warga
di balik rimba beton raksasa.
—
Sumber: Halim,D.K. 2008.Psikologi Lingkungan Perkotaan.Bumi
Aksara;Jakarta Timur
Comments
Post a Comment
Apa pendapatmu?