Merasakan Pertumbuhan Penduduk

Sumber ilustrasi: "Penduduk Jakarta mencapai 11 juta jiwa pada 2020" (kompas.com)

Saat mengetik tulisan ini, saya baru saja menamatkan buku The Geography of Bliss, catatan perjalanan mantan jurnalis The New York Times Eric Weiner mencari negara-negara paling bahagia. Karena buku itu banyak membahas “faktor-faktor kebahagiaan penduduk suatu kota atau negara”, mau tidak mau saya juga mencoba-coba nalar yang bisa teramati di sekeliling tentang kondisi kekinian sebuah struktur geografi, dan tentu saja demografi. Satu dari sedikit isu yang ternyata jarang saya sadari justru merupakan gejala paling signifikan, dan paling besar efek lipatgandanya: pertambahan penduduk.

Seperti pernah tertuang lewat satu-dua tulisan, saya lahir di sebuah kabupaten kecil di pesisir Sulawesi Selatan, di mana pembangunan di masa kanak-kanak kami begitu datar dan biasa. Dengan populasi hanya sekitar 210 ribu jiwa, kabupaten saya tidak menunjukkan kemajuan apapun sampai akhirnya dipimpin oleh seorang bupati revolusioner yang beberapa kali tampil di acara Mata Najwa. Seperti warga kebanyakan kabupaten yang “minim isu” dan berada jauh di luar cakupan informasi nasional, saya tidak merasakan perubahan signifikan kota kabupaten selain pembangunan fisik dan  beberapa perbaikan kecil. Semuanya biasa dan teduh saja, di mana kehidupan orang-orang berlangsung sebagai rutinitas yang akrab dan tidak pernah membosankan.

Lalu saya menjajal Yogyakarta, sebuah kota budaya yang selama tiga dekade “dijual” sebagai komoditas devisa dan belum juga bisa menyalip popularitas Bali sebagai kota pariwisata. Tiba pertama kali di Kota Gudeg pada tahun 2007, saya dikejutkan oleh dua hal: dinamika kota yang begitu sibuk dan satunya lagi mengejutkan, keberaturan

Untuk ke Yogyakarta, dari kabupaten tempat lahir saya harus melintasi Makassar, kota metropolitan (megapolitan?) yang jadi “pusat pertumbuhan Indonesia bagian Timur” dan yang bandar udaranya dikuasai Lion Air dan sebagai terminal HUB, menghubungkan Jakarta dengan Papua atau Medan dengan Manado. Sebagaimana banyak kota bertitel “metro”, Makassar tumbuh begitu cepat dengan gesit pembangunan properti, ritel, kawasan niaga, dan pusat-pusat pendidikan. 

Tetapi semaju apapun kota Makassar yang diklaim pemerintah dan masyarakatnya, saya tidak pernah kerasan tinggal berlama-lama di sana. Jalan yang macet dan aspal yang terluka di mana-mana, drainase yang berpuluh-puluh tahun kondisinya buruk, pembangunan sekadar simbolis dan persaingan rezim sehabis pilkada, raungan klakson para pengemudi, dan masalah birokrasi korup yang nyata di depan mata menyiksa saya sebagai warga negara yang suka mengeluh dan gemar melaporkan kejadian. 

Ketimbang mengkritik terlalu sering namun tidak pernah ada perubahan berarti, atau curhat kepada teman di sana lalu dijawab “terimalah, memang begini adanya”, atau “jangan bandingkan dengan kota lain”, saya memilih menjauh. Bahkan masyarakatnya banyak yang pesimis dan cuek, pikir saya. Jadinya ya sudah, mencari tempat di mana kehidupan bisa lebih produktif tanpa harus menambah dosa dengan cara yang konyol. Sama dengan kebanyakan orang Makassar dan Sulawesi yang menemui kegusaran yang sama, saya lebih betah beraktivitas di “tanah orang”, dan lalu kerasan di Provinsi kecil Yogyakarta, 1.052 kilometer jauhnya.

Meski begitu, di mata saya, tidak berarti Yogyakarta secara total lebih baik sebagai sebuah kota untuk ditinggali, daripada Makassar. 

Bagi yang pernah membandingkan keduanya, pasti akrab bahwa Yogyakarta hanya jauh lebih sempit, jalan-jalan protokolnya jauh lebih kecil, masyarakatnya lebih heterogen, polisinya sama malas dan oportunis, dan tetap banyak orang yang suka berbuat onar-nya. Sebagiannya Yogyakarta hanya beruntung karena mendapat jatah pembangunan prioritas sebagaimana kota-kota kawasan strategis pariwisata laris lainnya, dan sebagiannya lagi bersifat kultural karena Yogyakarta dihidupi dengan kebudayaan Jawa yang terkenal mudah akrab, menghindari risiko, lugu, dan pekerja keras. 

Faktor-faktor kecil yang membuat Yogyakarta lebih nyaman terdapat di banyak hal dan sifatnya sporadis. Bagi saya, kesabaran orang di Jalan, drainase yang anti-banjir, petugas kebersihan yang rajin, dan kemauan warga untuk maju dalam koridor aturan sudah cukup untuk jadi kota yang menyenangkan, di samping fakta bahwa Yogyakarta adalah Indonesia kecil, di mana kita bisa bernostalgia dan beromantis ria tanpa harus pergi jauh. Keberaturan yang alami, masih banyak celah yang patut dikritik, tapi alami.

Hanya saja, udara sejuk Yogyakarta Nyaman yang saya hirup pada 2007 lalu itu kini mulai berubah, mulai sulit dihayati sebagai hikmah perpindahan. Sebagaimana ditulis banyak blog dan dikritik banyak media, kota Yogyakarta pasca-2013 mulai menunjukkan hawa panasnya, pengap pembangunan liarnya, dan konflik-konflik sosialnya yang tersembunyi. 

Bagi saya, perasaan yang berubah ini mau tidak mau menyadarkan  bahwa Yogyakarta, seperti kebanyakan kota idaman lain, tak kuasa membendung cinta begitu banyak orang untuk datang dan menetap. Imbasnya, penduduk makin padat dan jalan-jalan tambah macet. Kausalitasnya normal saja. Semakin banyak penduduk, semakin sulit mengatur. Hal sama bisa saya saksikan di kota Semarang, Malang, Pontianak, Denpasar.

Direktorat Pengembangan Potensi Daerah Badan Koordinasi Penanaman Modal mencatat, jumlah penduduk total di Yogyakarta (Yogya Kota, Bantul, Gunungkidul, Kulonprogo, dan Sleman) pada 2012 mencapai 3.514.762 jiwa, dengan pertumbuhan per tahun berikutnya sekira 1 persen (versi BPS: 3,5 juta). Pertumbuhan 1 persen ini tidak banyak berubah sejak sensus terakhir 2008, yang berarti jumlah penduduk Yogyakarta stabil-stabil saja dengan proyeksi pada 2019 mencapai 3,67 juta jiwa.

Bagaimana dengan mahasiswa?

Jumlah mahasiswa di Yogyakarta per tahun 2013 tak kurang dari 64.300 orang, terdiri dari 6.900-an mahasiswa di universitas negeri dan sekitar 57.402 tersebar di seratusan perguruan tinggi swasta, dari sedang hingga kecil yang kampusnya hanya berupa bangunan ruko dua lantai (BPS, Kopertis DIY). Ini 50,2 persen lebih banyak daripada periode tahun 2007/2008, tepat saat saya menginjak halaman kampus pertama kali. Jangan heran kalau ruang-ruang perpustakaan membangun gedung lebih besar, lapangan parkir lebih luas, jika tidak membuat kartu antre yang lebih banyak dengan syarat pinjam buku dan jam malam yang lebih ketat.

Baiklah, statistik telah berbicara. Sama seperti banyak kota idaman, Yogyakarta juga mencicip bonus demografi, seperti bunga manis yang menarik banyak lebah. Tapi menilai sebuah kota dengan kacamata penduduk dan warga dan fenomena sehari-hari bisa jauh lebih menarik dari sekadar mengutip angka-angka. Merasakan aliran kepadatan langsung dari nadi kota.

Penduduk (atau warga?) kota Yogyakarta yang semakin padat bisa saya lihat dari tiga titik representatif: perpustakaan kota, jalan-jalan protokol non-kampus, dan pusat-pusat belanja non-wisata. Tempat-tempat yang merupakan variabel wisata sengaja saya abaikan mengingat sifatnya situasional dan berpotensi mengandung deviasi.

Dahulu, maksudnya saat saya pertama kali menjelajah, jalan-jalan Yogyakarta juara dibandingkan beberapa kota yang pernah saya kunjungi sebelumnya. Selain kesabaran pengemudinya yang luar biasa (jika kita menghitung satu hingga sepuluh detik, tak lebih dari satu kali klakson terdengar di jalan protokol, pernah saya coba), beberapa gedung tempat kumpul warga  (rumah ibadah, taman kota, toko pakaian) ramai dan normal saja. Khusus toko pakaian dan department store, terkadang terlihat justru lebih banyak SPG atau karyawan toko ketimbang pembeli itu sendiri.

Kini, jalan-jalan Yogyakarta padat. Di simpang Gejayan ke utara hingga Ring Road Condongcatur, misalnya, kemacetan lalu lintas imbas lampu merah bisa mengular sampai 1 kilometer di kawasan Jembatan Merah. Di Jalan Kaliurang tempat banyak indekos mahasiswa UGM bahkan lebih parah, kemacetan bisa sampai 3 kilometer di jam-jam sibuk. 

Biarpun derai klakson belum seberapa banyak, tetap kentara betapa kesabaran orang-orang makin menipis. Cuaca menurut saya tidak berpengaruh, karena baik di panas terik dan hujan deras kondisinya tetap sama. Bedanya, beberapa kemacetan yang dipicu maaf ada pembangunan-kendaraan proyek keluar masuk, dan depan restoran atau klinik lifestyle yang parkir pelanggannya meluber hingga ke tengah jalan, rasa marah jelas lebih besar dan bunyi klakson lebih berderai-derai. Saya tidak lihat peran aparat dan kepedulian pemerintah kota di bagian ini (SMS, tweet, dan email kritik yang berkali-kali saya kirim diabaikan begitu saja).

Penduduk yang makin padat bisa kita rasakan pula di tempat-tempat masyarakat menghabiskan waktunya. Perpustakaan Kota Yogya favorit saya di waktu senggang (yang panjang sekali) saat saya dengan iseng memerhatikan sulitnya kita berbagi parkir dengan duaratusan orang lainnya di halaman kantor yang begitu mungil. Makin banyak wajah-wajah timur, makin banyak logat-logat Jakarta, Sunda, dan Batak. Tidak cuma mahasiswa, banyak warga kota asli Yogyakarta harus berebut tempat duduk dan terminal listrik dan antre di depan loket password internet wi-fi, berbeda dengan satu-dua tahun pertama tempat ini mengudara. Apakah ini menandakan masyarakat makin melek baca dan internet? Mungkin saja. Tapi bagi saya jelas, ini gejala jumlah warga atau penduduk yang bertambah.

Kemudian ada fasilitas kendaraan massal TransJogja, yang busnya banyakrusak lantaran tidak sanggup mengimbangi demand jumlah calon penumpang rush hour yang membeludak. Lalu ada rumah sakit yang parkirnya meluber, loket permohonan SIM yang semakin ramai dan antre semakin lama, kantor-kantor pelayanan KTP yang mulai transparan, dan masjid-masjid yang diperluas. Sayangnya, jumlah polisi sepertinya stagnan dan petugas perbaikan lampu APILL orangnya itu-itu saja.

Lalu ada budaya.
Kenapa orang di tempat umum kota Yogyakarta tambah cuek? Alasan pertama, karena penduduk makin plural, makin heterogen. Mengingat sifat orang Jawa dan lokal Yogya yang lebih baik menghindari risiko, maka menyapa dan disapa di jalan tidak perlu dilakukan kalau tidak ada kepentingan atau keadaan darurat. Apalagi kalau yang hendak disapa seseorang memang berpenampilan “berbeda” atau mungkin, mewakili citra buruk atas etnis-etnis tertentu (yang sebetulnya tidak senang saya singgung, tapi ini fakta). 

Masyarakat Yogya yang latar etnis dan suku- -budayanya kini meluas memberi jarak dan keragu-raguan bagi kita jika ingin membangun komunikasi di tempat umum, terlepas dari kita memerlukan itu atau tidak. Tapi dengan pengamatan bertahun-tahun, saya merasakan banyak hal yang berubah soal “keramahan orang-orang”, kecurigaan, dan sakwasangka kita. Meskipun Yogyakarta adalah kota paling terbuka dan toleran di Indonesia, saya sangsi hal itu terwakili oleh cara kita membangun komunikasi di tempat yang benar-benar asing. Keberanian kita terlibat dalam masyarakat setempat tidak seperti dulu.

Alasan kedua, saya pikir karena teknologi, alih-alih mendekatkan orang per orang, kini malah menjauhkan. Saya tidak banyak membahas yang ini karena teori dan faktanya juga sudah banyak diulas media dan studi psikologis. Pada kenyataannya, Yogyakarta juga tak bisa lepas dari serbuan teknologi kemunikasi virtual. Gelembung teknokrasi yang menyelimuti pola sosial masyarakat kita, sebagaimana sifatnya, tidak mengenal batasan geografi ataupun demografi. Ketika listrik terhubung di terminal dan wi-fi terbagi dengan murah, generasi runduk seperti yang diulas Litbang Kompas baru-baru ini juga menjamur bak lebah di tempat-tempat Yogyakarta. Ini bukan kesalahan sosial, hanya kemalangan masyarakat yang kurang kritis dengan kemajuannya sendiri. (Maaf, bagian ini agak dramatis). 

Di kota manapun sama: cobalah sapa dan ajak bicara orang yang asyik tersenyum-senyum di atas layar ponselnya, lalu hitung berapa menit (kalau bukan detik) perbincangan itu bertahan tanpa awkward moment.

Jadi, merasakan bertambahnya penduduk di kota kita bisa menyenangkan seperti membaca timeline, dan bisa melelahkan seperti menatap layar semenit tanpa berkedip. Kita terdiri dari individu-individu, lebah per lebah, yang artinya kita hanya bisa benar-benar merasakan perubahan atau konstruksi sarang kita telah berubah pada saat benar-benar mengamati. 

Kita menyetir setiap hari, lewat di jalan yang sama, duduk di mal yang sama, terjebak kemacetan yang sama, tetapi jarang berpikir apa yang berbeda tahun ini dibandingkan tahun-tahun yang lalu. Mengapa hotel makin banyak dan restoran-restoran makin arogan, mengapa klakson makin berderaian. Saat saya coba lakukan itu, saya merasakan kemalangan karena tidak bisa berbuat banyak (dan mungkin ledakan penduduk, sebagaimana teori negara berkembang yang demokratis, mustahil dikendalikan, hanya bisa diarahkan). Ini sudah dijanjikan pada kita sejak sepuluh tahun lalu, saat bonus demografi pertama kali bergaung dan proyeksi Jakarta macet total mulai dibisik-bisikkan. 
Anehnya, saat merampungkan tulisan ini, saya lihat sekeliling dan masih bisa sedikit tersenyum. Biarpun orang-orang sibuk sendiri dan sebagiannya nampak seperti robot yang kaku, jiwa-jiwa yang malang.

Statistik kembali bicara, di mana ternyata Indeks Kebahagiaan Masyarakat Yogyakarta masih masuk enam besar tertinggi di Indonesia, sekitar 70,77%, di bawah Riau, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Maluku, dan Jambi. Masyarakat Yogyakarta masih "paling bahagia di Jawa", meskipun terpental secara mengejutkan dari posisi 1 nasional pada 2010-2011. Juga berarti, masyarakat Yogyakarta rata-rata lebih bahagia ketimbang kota pertumbuhan ekonomi  Jakarta (69,21), atau kota busana dan kuliner Jawa Barat (67,81). Ini sudah seiring dengan temuan wartawan Weiner yang saya singgung di paragraf pertama, bahwa kota-kota yang masyarakatnya plural dan relatif kecil, kebahagiannya lebih  baik ketimbang kota-kota pusat pertumbuhan ekonomi dengan gaya hidupnya yang mewah.

Itulah kenapa mengamati kota membuat saya selalu bergairah. Selalu merasa hidup. Kita menghitung keterlibatan sendiri di dalam kekhawatiran-kekhawatiran yang hanya dipikirkan sedikit orang. Saya jadi ingat teori yang pernah dikemukakan seorang pakar kota aliran Ne-Malthusians, Paul Ehrlich lewat bukunya The Population Bomb tentang tiga ciri ledakan penduduk yang destruktif: 1. Sudah terlalu banyak mmanusia di bumi; 2. Keadaan bahan makanan sangat terbatas; 3. Lingkungan rusak karena peningkatan populasi.

Yah, setidaknya kita baru jelas melihat gejala no. 3, meskipun 1 dan dua juga mulai terjadi di atas buku WHO dan pemberitaan seputar Afrika. Tapi, setidaknya kita masih jauh dari kiamat. Soal kota yang makin tidak bersahabat, harap kita bersabar dan mulai terlibat. Meskipun, sebuah pepatah lama yang terkenal di kalangan saintis dan teori konspirasi sekira berbunyi, Sometimes it is better not knowing = Terkadang, lebih menyenangkan saat kita tidak tahu. [FS]

Comments