Mungkin Selama Ini Trotoar yang Salah



Pada 27 Juli 2012, harian Tribun Jogja mengangkat liputan berjudul "Halte TransJogja Jadi Penghalang Trotoar". Artikel pendek itu berisi kritik penempatan halte-halte bus massal kota Yogyakarta yang "eh ternyata" berdiri di atas ruang kota yang seharusnya jadi hak penuh publik, utamanya pejalan kaki. Laporan itu singkat, dan sebetulnya diangkat dari diskusi dan lokakarya peningkatan kualitas fasilitas publik kota. Seperti kebanyakan berita koran hasil acara diskusi, berita-berita seperti itu tidak banyak berpengaruh.

Sebagai kota pariwisata, kota Yogyakarta dipuji dan diberi tugas khusus menyamankan para pelancongnya yang berjalan kaki. Namun apa dinyana, ketika kebijakan pengembangan transportasi massal berbasis bus (BRT) bernama TransJogja itu muncul pada 2007, halte-haltenya malah berdiri persis mengangkangi banyak ruas trotoar. Risiko pejalan kaki, lagi-lagi harus menjejalkan kakinya ke pinggiran aspal, menghirup asap karbon diesel, dan berserempet pinggul dengan lapak-lapak PKL atau tukang parkir yang seenak udal.

Trotoar di kota-kota kita seperti tumbuh bukan pada masanya. Di Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Makassar, dan banyak kota yang pernah saya jumpai, trotoar lahir terlebih dahulu, tua dan merana. Saat zaman mengalir dan program-program kebijakan fasilitas publik bermunculan (BRT, misalnya), trotoar sudah lapang bersisian aspal, dan tidak menyisakan sedikitpun ruang bagi kemunculan halte-halte TransJakarta, TransJogja, TransSemarang, atau Batik SoloTrans. Ibarat saudagar licik, trotoar mencaplok lebih dahulu semua tanah sebelum petani-petani kecil masuk kepingin membeli kavling untuk dibanguni warung-warung toko kelontong modern.

Karena trotoar makhluk kuno, konon sudah ada sejak zaman Corinth di Yunani pada abad ke-4, sebelum berkembang di London (dikenal sebagai footpath) sejak tahun 1700-an, struktur dan skema rupanya menyebar dalam bentuk dan ukuran yang sama di seluruh dunia. Padahal, tidak semua kota punya ruang rasio cukup lebar untuk kelapangan sejarak enam hasta yang memisahkan tepian jalan dengan pintu bangunan. Di kota-kota besar di kebanyakan negara Asia Tenggara, trotoar dibuat jauh lebih sempit mengikuti penyempitan (bukan pelebaran) jalan-jalan protokol.

Kini, trotoar sering kali dianggap korban kemajuan kota, terima nasib atas perkembangan bisnis yang mencaplok banyak ruang hak publik menikmati akses kendaraan dan berjalan kaki. Lapak pedagang kakilima di Yogykaarta sampai sekarang masih liar menjejali seratus persen lebar trotoar di hampir semua ruas jalan, tanpa aturan dan tanpa penindakan. Transportasi bermesin pribadi dan bus umum menyerempet naik, membangun halte tunggu persis mengangkangi ruas yang harusnya jadi cukup lebar dan leluasa bagi empat pejalan kaki bergandengan tangan sekaligus.

Siapa yang salah?

Apakah karena trotoar dibuat lebih dulu, sebuah struktur lama, dan mengambil ruang terlalu banyak? Pembangunan halte TransJogja tidak terhindarkan--apalagi tidak mungkin dibangun mengikis pinggir aspal jalan. Mau tidak mau, halte "didudukkan dengan cantik" di ruas datar pinggir jalan yang memang "menggiring" pejalan kaki naik ke tangganya dan membayar sejumlah uang transport.

Trotoar tidak bisa apa-apa karena seperti saudagar serakah di awal tadi, harus memberi jalan bagi kebaruan-kebaruan yang tidak terhindarkan seperti kebutuhan transportasi massal dan kenyamanan menunggu bagi calon penumpang bus.

Lantas solusinya apa?

Kota Yogyakarta menunjukkan beberapa hal yang lucu, tapi setidaknya bisa jadi solusi jalan tengah sementara agar baik trotoar ataupun kepentingan kemajuan transportasi dan hak komersialisasi berjalan beriringan. Halte dibangun di atas trotoar, tapi memberikan ruas selebar +/- 40cm--muat bagi orang dewasa berbadan sedang, bukan gemuk-untuk berjalan memiringkan badan di belakang halte, di perantara halte dengan pagar bangunan. Di banyak jalan, ukuran lebar "celah trotoar" di balik halte ini bahkan hanya muat bagi seorang abege SMP yang berbadan kurus, berwajah tirus dan menyeruput es teh dalam plastik dan sedotan kecil.

Cara lain berbau intimidatif karena harus bersinggungan dengan kepentingan komersial. Ada hotel membangun fasad bangunannya sampai persis di atas pinggiran aspal. Lho, bagaimana ceritanya? Struktur bangunan hotelnya yang sekira setingkat lantai dua dibangun menjorong ke depan, tapi tiang-tiangnya menyerupai kolong dan persis selebar pedestrian di bawahnya.

Artinya, pihak hotel kepingin tarik untung dengan "menjorokkan" labelnya makin dekat ke jalan, tapi tetap melapangkan pedestrian yang dipatok dengan tiang-tiangnya tadi. Pejalan kaki masih cukup leluasa kalau mau lewat, tapi tetap segan mungkin ya karena dua-tiga satpam bersafari hitam senantiasa berjaga di situ saat tidak sedang mengarahkan minivan-minivan pribadi parkir membujur memblokir persis akses pedestrian. "Peak season," kilah.

Di jalan lain, lebih prihatin. Trotoar dipangkas  sampai seperempat lebarnya hanya karena kebutuhan parkir pelanggan bank! (Cek di depan BRI Jalan Cik Di Tiro kota Yogya). Ada kompensasi "naungan hijau" berupa kanopi dengan atap tanaman menjalar di sana.

Jadi, trotoar di banyak kota kita terima nasib saja. Salah sendiri kenapa dari dulu bentuknya begitu-begitu saja, kepinginnya mencaplok lebar tetap, ndak siap bagi perkembangan kebutuhan bus massal dan ruang komersil.

Jadi kalau sekarang banyak bodi trotoar dipotong, digencet, digusur, itu semata-mata karena perencanaan kita berdosa tidak mengembangkan jalan mengikuti kebutuhan perkembangan kota. Imbasnya, ruang pejalan kaki yang sejak dulu ditujukan menjamin keselamatan banyak orang, harus mengalah dan merenung salah atas nasibnya yang tidak paham, mengapa kemajuan peradaban dan ruang hidup manusia menjadi begitu mengerikan.

(FandiSido)

Comments