Hemat Energi Itu Mudah!

Buku koleksi pribadi
Ceritanya tadi pagi saya lagi baca buku Laurence Smith soal masa depan bumi di tahun 2050 dan biasanya saya selalu khusyuk kalau sudah bahas energi. Lawrence menjelaskan sangat gamblang dengan gaya bertutur ringan dan jauh dari kesan berat. Kendati demikian, data kemerosotan lingkungan dari berbagai negara disajikan sangat menarik di buku ini. Setidaknya di awal-awal pembahasan materinya, saya sudah dapat gambaran, ada empat tantangan yang akan dihadapi manusia di masa depan, sekalipun gejalanya sudah bisa kita rasakan di masa sekarang. Empat hal yang disorotinya adalah ledakan penduduk, sumber daya alam, globalisasi, dan perubahan iklim. Tantangan terakhir adalah teknologi.
Lawrence menganalogikan bagaimana keempat masalah tersebut saling berkaitan;
Pemanasan global dan efek rumah kaca merupakan hasil dari eksploitasi sumber daya alam yang berdampak pada ketahanan ekonomi secara global. Dengan jumlah sumber daya alam yang terbatas dan mesti butuh ratusan tahun untuk memperbaharuinya manusia masih harus tetap survive karena sumber daya yang terbatas itu harus dibagi sama banyak dengan populasi penduduk yang jumlahnya sudah melampaui ambang batas. Secara sederhana, kita menyebutnya sebagai ketimpangan. Dengan kondisi seperti ini maka hukum rimba berlaku, siapa yang berkuasa dan bisa mengakses paling banyak sumber daya tersebut maka dia yang paling kuat. Kembali ke masalah energi dan teknologi.
Teknologi berkaitan erat dengan konsumsi energi, apalagi di era serba-gadget seperti ini, tentu teknologi yang digunakan sehari-hari mesti disokong dengan kesiapan dan ketersediaan energi. Sayangnya diskusi energi atau tema lingkungan masih terlalu jarang dibahas di ruang sosial. Pembahasan lingkungan, energi, dan air seakan-akan hanya jadi konsumsi kalangan akademik dan hanya bisa diakses lewat jurnal dan publikasi. Belum lagi kendala bahasa, dan pilihan teks huruf yang bikin mata lelah, gara-gara tulisan jurnal yang rapat-rapat dan hurufnya kecil-kecil.
Terkait hal itu, saya bisa memaklumi keengganan sebagian orang apalagi remaja-remaja yang justru paling sering menggunakan gadget untuk mau berpikir jauh soal masa depan energi di bumi ini. Tema energi maupun konsep hemat energi di negara kita masih jadi program nasional, mesti dimulai dari gerakan-gerakan khusus, dan kolektif dari pemerintah. Masih ingat kampanye pemerintah soal menggunakan lampu seperlunya di jam-jam tertentu itu? Padahal jika dipikir lebih jauh, setiap hari kita berurusan dengan energi. Tanpa energi kita tidak bisa melakukan berbagai macam kegiatan atau menjalankan perlengkapan elektronik guna menunjang aktivitas. Jadi ketika bicara hemat energi, kita tidak perlu alergi karena pemakaian energi tidak lepas dari pola dan gaya hidup kita sehari-hari.
Saya ambil contoh gadget. Soal pilihan gadget saya cenderung berpikiran konservatif, artinya kalau masih bisa digunakan maka tidak perlu segera diganti dengan gadget keluaran terbaru (high end). Alasannya sederhana, semakin sering saya berganti hape, atau kira-kira ada 100 orang seperti saya yang ganti hape tiap 3 bulan sekali, akan dibuang ke mana limbah hapenya? Iya gak apa-apa kalau kita punya lembah silikon Bangalor di Indonesia, di sana baterai-baterai bekas dan komponen gadget bekas masih bisa digunakan buat menyalakan/menyuplai listrik untuk satu desa. Ada yang pernah nonton serial detektif Yukawa Sensei? Di film ini, guru fisika Yukawa pernah mendatangi lokasi pembuangan limbah elektronik. Di tempat itu dia melihat tumpukan kulkas dan barang elektoronik bekas yang sebenarnya sebagian peralatannya masih berfungsi jika didaur ulang kembali. Di banyak kota besar di negara kita saja urusan sampah plastik dan perintilannya masih jadi masalah nomor satu, ini belum limbah elektronik yang dampak lingkungannya juga tidak sedikit, mesti butuh pengelolaan yang tidak sederhana, tidak sesederhana kita menyolok kabel-kabel gadget tersebut.
Di kasus lain saya pernah kedatangan teman dan waktu itu menginap di kosan. Saya heran sejak datang dia sudah nge-charge hape, pulang jalan-jalan nge-charge lagi, mau tidur hape kembali di-charge. Karena penasaran saya akhirnya bertanya, 'Eh kok hape mahal kayak gitu memang harus di-charge terus ya?" Teman saya lalu menjelaskan alasan kenapa dia terus nge-charge hapenya. Jadi akun BBM, Line, WhatsApp dan akun-akun lainnya aktif terus, jadi hape cepat berkurang dayanya. Saya jadi agak ngeri dengar penjelasannya. Dari pengalaman ini saya menyimpulkan sementara kalau ada korelasi pada peningkatan penggunaan gadget dengan kebutuhan energi dan sampah elektronik. Kalau ada yang tertarik menelitinya, mungkin bisa menghasilkan temuan baru soal gaya hidup yang tidak terencana bisa berdampak pada masalah lingkungan, sekalipun sesungguhnya pengalaman seperti ini nampak sepele dan sederhana.
Mengapa hemat energi itu gampang? 
Saya termasuk setuju dengan pendapat Marco Kusumawijaya soal penghematan energi. Bahwa konsep hemat energi itu ditentukan dari pertimbangan-pertimbangan secara rasional masing-masing orang. Sekalipun kita ngirit pakai lampu tapi gadget di-charge terus, dispenser nyala terus ya tetap saja tidak hemat energi. Hemat energi sesungguhnya bisa menjadi bagian dari gaya hidup, kalau kita mau sedikit usaha. Lalu contoh penerapan praktisnya bagaimana? 
Oke, saya sendiri memahami hemat energi setelah melakukan pertimbangan-pertimbangan cukup rasional dan hitung-hitungan. Jadi yang pertama saya terapkan adalah pemakaian peralatan elektronik sesuai kebutuhan dalam rentang waktu tertentu. Misalnya pemanas nasi, ini untuk mahasiswa yang tinggalnya kos-kosan seperti saya, tentu masak nasinya tidak sampai satu liter sehari. Jadi masak nasi seperlunya, atau sesuai kebutuhan saja. Sebelum ke kampus saya masak nasi untuk porsi sarapan dan bekal makan siang di kampus. Usahakan tidak ada nasi tersisa di pemanas, biar pemanas nasinya cukup buat masak saja. Begitu juga dengan pemanas air atau dispenser. Saya menyalakan dispenser 30 menit sebelum membuat teh, susu atau kopi. Kopi atau tehnya jadi, dispensernya saya matikan lagi, jadi setiap berangkat ke kampus saya sudah memastikan tidak ada barang-barang elektronik yang menyala, aman dan sederhana kan?
Selanjutnya hemat energi untuk hape dan gadget lainnya. Saya memang masih bertahan dengan hape Nokia jadul banget, Nokia Express Music. Kondisi baterainya masih awet dan tahan sampai tiga hari, gadget lain seperti Ipad juga lumayan tahan baterainya bisa sampai empat hari. Pilihan saya terhadap gadget seperti ini karena sudah mempertimbangkan hitung-hitungan energi tadi. Kok bisa Ipad tahan empat hari? Karena Ipad-nya khusus untuk Wi-fi saja. Jadi tidak sempat bersosial media? Susah dong kalau mau dihubungi? Kata siapa? Selama masih bisa SMS, silahkan SMS. Cara konvensional seperti mengirim SMS juga termasuk hemat energi, artinya kamu tidak perlu bicara/ngobrol ngalor ngidul kalau tidak penting, hemat energi pula, hape saya jadi tidak cepat lowbatteray pastinya. 
Beberapa teman yang mencoba minta pin BBM juga awalnya merasa sulit kalau saya minta via SMS. Saya katakan, kalau urusan akademik, konsultasi penelitian alangkah bagusnya dijelaskan dengan runut dan dikirim lewat e-mail saja. Ketimbang diskusi pendek-pendek di aplikasichatting. Kalau sekadar menanyakan kabar, saya rasa SMS dua-tiga kali dengan biaya SMS 500 perak tidak terlalu memberatkan ketimbang saya harus memaksakan diri menggunakan macam-macam gadget yang belum tentu kebutuhan mendesak bagi saya. Sebaliknya pemborosan energi tadi justru menjadi bagian dari perjuangan beberapa orang yang bertahun-tahun belum mendapatkan listrik sama sekali. Kisah Mbah Suji, yang di masa tuanya belum menikmati listrik memberi pelajaran bagi saya, jika ketidakmerataan energi memang masih terjadi hingga sekarang.
hmmm.

Comments