Cara Humanis Atasi Sampah Visual dan Energi Perkotaan

Barisan kendaraan berhenti bergantian di simpang lampu merah Condongcatur, Yogyakarta. Foto diambil Kamis, 7 Mei 2015 (Fandi Sido)
Jumat malam (11/09/2015), Kompasianer R.Gaper Fadli mengirim foto tentang "hutan reklame" yang terpampang di jalan strategis Kota Jogja. Saya tertarik ingin mengulas masalah reklame besar yang sudah penuh sesak sejak dua tahun terakhir di beberapa ruas jalan seperti perempatan Ring Road Utara-Condongcatur. Jika diamati, puluhan reklame raksasa ini berada dalam radius 2-3 kilometer dari kampus-kampus negeri di Kecamatan Depok. Sebut saja di pertigaan Gejayan dan UNY, terdapat lima papan reklame besar lebar 4-5 meter dan  tinggi 2 meter, kini malah mirip dinding rumah yang menuntupi pemandangan disekitarnya.
Selain menyoroti msalah sampah visualnya, saya mulai merasakan kegusaran lain dari reklame raksasa ini. Yakni tentang pemakaian energi perkotaan, dimana pemasangan papan reklame ini membutuhkan banyak penerangan lampu neon di malam hari. Untuk satu reklame neon box ukuran 2X1 meter bisa menggunakan neon sebanyak 20 buah. Bila dibandingkan dengan cahaya yang dihasilkan dan konsumsi listrik yang sama (watt) lanpu neon dapat mengkonsumsi listrik dua kali lebih banyak dibanding lampu LED.
Pemasangan papan reklame termasuk terobosan pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan daerah dengan menetapkan ketentuan pajak reklame. Adapun reklame raksasa yang terdapat di ruas jalan strategis dan dekat kampus negeri berada dalam kewenangan pemerintah Kabupaten Sleman. Tahun 2003, pemerintah Kabupaten Sleman telah mengeluarkan Perda No.14 terkait ketentuan izin pemasangan reklame. Sedangkan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak yang akan memasang reklame yakni, 1) memasang stiker/tanda yang diberikan oleh instansi dan membubuhkan tulisan masa berlaku reklame pada reklame yang dipasang, 2) mengganti kerugian kepada pihak lain dari akibat yang ditimbulkan atas pemasangan reklame, 3) menjaga dan memelihara bangunan reklame dalam keadaan baik.
Hanya saja, dalam Perda tersebut saya tidak menemukan ketentuan pemakaian energi atau jumlah maksimal neon box yang digunakan dalam satu papan reklame. Bila dibandngkan dengan Kota Surabaya, pemerintah kota Surabaya berhasil melakukan terobosan baru dalam mengurangi konsumsi energi untuk lampu jalan. Pemerintah mengganti lampu jalan konvensional dengan lampu LED, dan mereka mengklaim telah menghemat pemakaian listrik sebesar 10% setiap bulan. Penelitian oleh U.S Departmen of Energy (telah diterapkan di Philadephia) menyebutkan jika ukuran reklame tidak mempengaruhi besaran konsusmsi listrik(watt) dengan menggunakan reklame LED. Hingga saat ini penggunaan LED untuk reklame sudah mulai diterapkan di Kota Jakarta, yang bertujuan dapat menghemat eneri lebih besar dan bersih.
Reklame Konvensional: Sampah Visual dan Pemborosan Energi
Hingga saat ini kita belum menemukan terobosan baru mengurangi sampah visual dari reklame liar yang tersebar di perempatan jalan dan sepanjang jalan-jalan utama di kota. Sampah visual dari reklame ini jelas sangat mengganggu apalagi ketika tiang reklame biasanya dipasang di bagian tengah jalan (pemisah dua ruas jalan). Reklame raksasa ini mengaburkan identitas kawasan apalagi jika tidak diatur penempatannya. Pemerintah kota tentu punya wewenang untuk menentukan lokasi mana saja yang dibolehkan/diberi izin untuk memasang reklame. Selain lokasi pemasangan reklame, pemerintah juga perlu mengatur ukuran panjang dan lebar masksimal reklame,font dan warna teks yang digunakan, agar tidak merusak pandangan, kebanyakan warna-warna reklame di jalan selalu berwarna terang menyala, dan semrawut.
Terobosan lainnya, dengan memberlakukan "masa tenang" yakni tidak memasang reklame dalam jangka waktu tertentu setelah pemasangan tahap pertama dilakukan. Misalnya, jadwal masa pemasangan iklan berlangsung selama dua minggu, lalu dua minggu setelahnya reklame harus dirturunkan. Pemerintah kita bisa memberi insentif jika pemilik reklame menaati aturan tersebut, dengan memberi "reward" seperti mengurangi beban pajak untuk satu kali pemasangan. Dengan cara ini, sampah visual bisa dikurangi karena pemerintah berhasil mengatur penempatannya dan masa iklannnya. Jadi menghilangkan sama sekali papan reklame, bukan solusi dua arah. Dalam hal ini pemerintah dan pemilik usaha bisa sama-sama diuntungkan, pendapatan daerah tidak terganggu dan identitas kawasan tetap terjaga. 
Lalu, bagaimana dengan aturan konsumsi energi maksimal untuk papan reklame?
Keberhasilan pemerintah Kota Surabaya mengurangi konsumsi listrik dari lampu jalan konvensional dan menggantinya dengan pemakaian LED bisa diterapkan untuk papan reklame. Sosialisasi tahapan penggantian jenis lampu neon ke LED untuk reklame dapat dilakukan secara bertahap oleh pemerintah. Dimulai dalam skala kecil (ruas jalan utama) untuk melihat keberhasilannya mengurangi pemakaian energi per/bulan. Ada kecenderungan, jika masyarakat kita senang melihat keberhasilan percontohan lebih dulu, baru ikut tergerak melakukan gerakan kolektif mengikuti kebijakan pemerintah. Olehnya itu, pemerintah perlu melakukan terobosan penggantian lampu konvensional dalam skala kecil dahulu, jika berhasil pemerintah tentu punya data dan hitung-hitungan ekonomi untuk dipaparkan ke pemilik reklame yang lain. Cara ini juga menunjukkan komunikasi dua arah antara pemerintah dan pemilik usaha yang diiklankan produknya.
Diantara banyak kegagalan pemerintah, masyarakat dan pelaku usaha (ekonomi) menemukan solusi satu masalah karena bahasa komunikasi visual maupun tersurat selalu berbunyi larangan. Misalnya, "Dilarang memasang baliho, reklame di sini", atau "Dilarang berjualan sepanjang jalan ini." Saya selalu tertarik jika pendekatan yang dilakukan pemerintah ke masyarakat dan pelaku bisnis selalu mengutamakan musyawarah, kumpul bersama, makan bersama seperti yang pernah dilakukan Pak Jokowi sewaktu merelokasi PKL di Taman Monjari Solo.
Saya percaya, memelihara kota dapat dilakukan dengan pendekatan humanis oleh pemerintah ke masayarakat dan pengusaha, bukan sebaliknya pemerintah tidak ikut campur, yang bertikai/bentrok di bawah adalah publik dan pengusaha. Jadi tidak mengejutkan ketika banyak protes warga yang dilakukan kini justru menambah masalah baru. Termasuk ide untuk mengurangi sampah visual, tidak ada salahnya pemerintah kita melakukan upaya yang terstruktur, memberireward/ penghargaan kepada pengusaha dan warga kota yang konsisten menaati lokasi pemasangan reklame yang sudah ditetapkan pemerintah kota.

***

Comments