Mutiara Baru Pariwisata Papua



November lalu saya tiba di Papua, mengunjungi tempat-tempat wisata yang belum dikelola sempurna. Tempat yang sejuk, dengan alam apa adanya. Salah satu provinsi dengan kehidupan paling akrab dengan gunung dan lautnya. Orang masih menombak ikan dan menganyam pakaian dari serat-serat hutan. Ditemani derai ombak dan angin sejuk jelang Natal menggelayut turun dari perbukitan sagu, saya merapat ke pelabuhan Teluk Wondama, satu kabupaten di Papua Barat yang menghadap langsung Cekungan Kepala Burung. Teluk Wondama termasuk kawasan Taman Nasional Teluk Cenderawasih, lautnya menghampar ke selatan, bukitnya ditutupi hutan tropis, dan beberapa distriknya dihiasi gugusan pulau vulkanis.

Perjalanan menuju Teluk Wondama ditempuh dengan transportasi laut. Setelah mendarat di Manokwari, kita menempuh perjalanan laut 5 jam ke arah tenggara. Kapal yang melayani rute Manokwari-Teluk Wondama ada  dua jenis. Pertama adalah Kapal Express setiap Rabu (MKW-WSR) dan Minggu (WSR-MKW). Kapal ini berangkat pukul 11:00 dan tiba di Pelabuhan Wasior, ibukota Wondama pukul 17.30 WIT. Yang kedua adalah kapal besar setiap Jumat dan Kamis sore dengan waktu tempuh lebih lama: sekitar 12 jam.

Nama Teluk Wondama mungkin belum setenar Sorong tempatnya Raja Ampat. Wasior lebih dikenal karena dilanda banjir bandang 2010 silam. Kini sisa kehancuran itu masih terlihat, misal batu-batu besar khas gunung yang kini masih “nyasar” di sisi-sisi jembatan kota.

Bentang alam Teluk Wondama sangatlah kaya. Jenis tanam-tanaman yang tumbuh termasuk endemik/khas, sebagian malah belum diinventarisir secara ilmiah. Keberadaan Taman Nasional Teluk Cenderawasih yang menyimpan ribuan spesies biota laut dan warisan sejarah religi menjadi perpaduan wisata yang unik.

Sebagai kawasan teluk, letak 13 distrik di Teluk Wondama terpisah-pisah dan berdiri sebagai gugusan pulau. Dari 13 distrik itu, saya memilih tiga yang menyimpan kekayaan sejarah cukup tua dan potensi bahari setara Raja Ampat. Saat ini, tanpa di-ekspos publik, pemerintah setempat tengah menyusun rencana pengembangan pariwisata di tiga distrik potensial tersebut.


Pulau Roon, Pulau Auri dan Pulau Rumberpon.
Nama-nama yang terdengar asing di telinga domestik, ya?
Percaya atau tidak, secara kolektif kunjungan wisatawan mancanegara ke Pulau Roon, Auri, dan Rumberpon sudah mencapai 5.000 kunjungan per tahun sepanjang 2015. Lima ribu. Itu data yang saya dapatkan dari Kepala Dinas Pariwisata Teluk Wondama, Bapak Menase Banggo. Angka itu sudah lebih tinggi dari kunjungan wisman ke Yogyakarta year-on-year pada Juli 2015 yang hanya 4.852 kunjungan (Data Dir.Statistik,Keu., TI dan Pariwisata BPS,Republika 2/9/2016) .
Namun, seperti kebanyakan daerah hasil pemekaran, pengelolaan PAD di Papua masih serba-minim, dokumentasi pendapatan dan pengeluaran masih buram. Pintu masuk kapal-kapal wisatawan juga masihn berhenti di Raja Ampat atau di Balai Taman Nasional di Manokwari. Padahal, tiga distrik Wasior sangat potensial sebagai daerah tujuan wisata atau setidak-tidaknya konservasi.

1.   Jejak Religi di Kampung Yende (Pulau Roon)
Dua jam dari Pelabuhan Wasior menggunakan Longboat,  ditemani percik air yang berkilau, kita akan tiba di Pulau Roon di timur. Perkampungan bersembunyi di balik tenangnya dinding-dinding karang. Untuk mencapai jantung Roon kita melewati dua pulau kecil di kanan-kiri yang menghampar bak gerbang penyambut. Di jalan menuju rumah kepala kampung saya bertemu anak-anak yang girang karena kamera, melompat ke air, menyelam lalu muncul lagi di permukaan. Atmosfer sosial yang jarang ditemukan di kota.

       Belum ada infrastruktur berarti di Kampung Yende ataupun Mena yang terhubung jalan beton selebar 4 meter. Uniknya, semua pemukiman penduduk Roon memanggung di atas air dan ditopang pilar-pilar kecil dari kayu-bambu. Air bersih masih berasal dari perbukitan yang dialirkan melalui pipa. Sementara untuk penerangan dan kebutuhan listrik lainnya, karena PLN belum menjangkau, penduduk sini memanfaatkan instalasi panel surya bantuan PNPM Mandiri.


Pemukiman penduduk di Kampung Yende, Pulau Roon. Rumah-rumah ditopang di atas air. (dok.pri.)
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ratihsyifani.kompasiana.com/tiga-mutiara-baru-pariwisata-papua_585b9f30557b617b492b4a40


Pak Simon selaku informan lokal di Kampung Roon yang membantu kami 
mengenal sejarah religius Kampung Roon

       Kampung Yende terkenal karena jejak religi dari abad ke-18. Terdapat makam pendeta G.L.Bink di dataran agak tinggi, sekitar 200m dari pantai. Pendeta G.L.Bink merupakan misionari Zending Protestan asal Belanda yang menyeberangi lautan pada tahun 1884. Berdasarkan penjelasan Pak Simon, tokoh adat setempat, sebelum kedatangan pendeta Bink, kehidupan penduduk Roon didominasi paham mistis tanpa mengenal agama. Mereka masih memuja pohon dan menganggap kekuatan moyanglah yang mendatangkan ikan dan  menjauhkan badai.

       Perjuangan G.L.Bink mengenalkan Agama kemudian berhasil dan dikenal sebagai diplomasi sisir dan cermin. Konon, alih-alih Alkitab, benda yang pertama kali dikenalkan ke penduduk justru sebuah cermin dan sisir. Pendeta Bink menghampiri anak-anak, mencontohkan cara menyisir rambut, lalu menunjukkan mereka ke arah cermin. Saat itu, untuk pertama kalinya, penduduk Roon tahu bentuk rapi rambut dan pantulan asli wajah mereka. Kekaguman yang berbalut kepercayaan itu berujung pembaptisan massal pada 16 Februari 1884. Delapan tahun kemudian, didirikanlah gereja yang diberi nama Isna Jedi. Saat ini, di samping Isna Jedi berdiri pula gereja baru yang menyimpan Alkitab tua terbitan Leiden, Belanda tahun 1889 dilengkapi terjemahan dalam Bahasa Melayu. Kondisi Alkitab ini relatif masih utuh, selain ujung atas dan bawah kertasnya yang rapuh.

(Gereja Isna Jedi yang dibangun pada abad ke-18 oleh Pendeta G.L.Bink)

Makam Pendeta G.L.Bink yang berada satu lokasi dengan komplek 
Gereja Isna Jedi lama dan yang baru

       Dalam bingkai wisata religius, Yende sangat memikat, karena gereja berhadapan langsung dengan dermaga, sementara sisi baratnya berhadapan dengan gugusan yang dijuluki Pulau Teletubbies. Titik strategisnya berada di sepanjang jalan menuju dermaga hingga gereja tua Isna Jedi. Tidak ada bangunan penghalang sehingga dari kejauhan gereja ini terlihat kokoh memikat. Menurut Kepala Kampung Yende, sudah sering wisatawan mancanegara berziarah ke makam pendeta G.L.Bink, terutama mereka yang punya keterkaitan dengan Protestan ataupun sejarah Belanda.

2.   Pulau Auri
Eksotisme tebing Phi Phi di Thailand yang pernah menjadi ikon film James Bond, kini saya temukan di rute menuju Pulau Auri. Dari Roon kita menyeberangi laut lepas selama 2 jam. Pulau ini aslinya tidak berpenghuni, karena penduduk yang kebetulan ada waktu itu adalah nelayan transit menunggu cuaca kembali normal. Nelayan ini biasanya tinggal selama 2 minggu sebelum melanjutkan perjalanan ke Wasior.
       Pantai Auri ini bisa dikembangkan sebagai destinasi bahari terutama diving. Menurut Pak Pasai yang seorang mitra WWF (World Wildlife Foundation) sekaligus pelatih selam, keindahan Auri tidak tertandingi. Hal ini terlihat dari pasir putih dan warna air yang biru-kehijauan. Hanya saja, Pantai Auri tidak cocok untuk pengembangan resort karena akses yang memang cukup jauh dari Kota. Kontur alamnya yang tidak rata cocok sebagai arena trekking, persinggahan kapal pesiar, memancing dan penyelaman instan sebagaimana di pulau Phi Phi Thailand ataupun Sipadan di Malaysia.


      
3.   Konservasi Alam Laut di Yomakan (Pulau Rumberpon)
Perjalanan berakhir di Pulau Rumberpon, sekitar 2,5 jam perahu ke arah timur hingga dermaga Kampung Yomakan. Ditemani Mas Pasai dan WWF, saya disambut keramahan yang agak berbeda ketika saya berada di Kampung Yende. Masyarakat di Yomakan terlihat tidak canggung lagi melihat pendatang. Pemerintah provinsi sengaja mengundang WWF untuk membantu pelestarian alam laut di sini. Mereka lalu menanam kima dan membina penangkapan ikan lestari tanpa bom ataupun racun.


       Kini beberapa pemuda aktif melaporkan kegiatan penyelaman illegal atau kapal-kapal wisatawan yang beroperasi tanpa izin. WWF juga membina ibu-ibu rumah tangga untuk menyambut tamu. Jadinya, sebagian rumah penduduk di Yomakan dapat digunakan sebagai penginapan atau berbagi-ruang ala AirBnB. Biasanya wisatawan membawa makanan lalu dimasak di dapur pemilik rumah, lalu makan bersama. Ruang tamu disulap jadi ruang istirahat. Sanitasinya juga lebih bagus, terlihat dari toilet bersih dan terpisah dari kamar mandi.
Kampung Yomakan cocok sebagai wisata ekologi, bagi peneliti ataupun orang awam. Aspek amenitasnya pun unik karena memanfaatkan rumah-rumah penduduk sebagai penginapan. Namun fasilitas penunjang lainnya seperti kesehatan dan balai penelitian mutlak diperlukan. Pendapatan dari penyewaan kamar-kamar bisa dikelola secara langsung oleh penduduk. Selain itu, perlu museum khusus merangkum informasi kekayaan bahari dan sejarah pelestarian. Lebih mantap lagi, terdapat paket wisata Terumbu Karang, Ikan Paus atau pelepasan Penyu pesisir.

Anak-anak di Kampung Yomakan, Pulau Rumberpon, Wondama. Banyak warga sudah tidak asing lagi dengan tamu pendatang. (dok.pri.)


Masa depan Papua dapat ditempa sebagai wisata bahari berkelanjutan, yang bangkit karena mutiara keindahannya yang alami. Keunikan Papua dapat diramu dengan 10 poin yang menurut saya penting:
1.     Diperlukan infrastruktur pariwisata untuk mengimbangi semangat warga lokalnya yang begitu besar.
2.     Tiap-tiap destinasi wisata dikembangkan sesuai potensi utamanya, Kampung Yende dengan wisata religi, Pulau Auri dengan bahari, dan Kampung Yomakan dengan konservasi.
3.     Diperlukan tenaga dan aturan profesional untuk dive master dan jasa pelayanan kapal-kapal pesiar, yang dikelola oleh pengusaha yang visioner.
4.     Pintu masuk kapal-kapal wisata masih terpusat di Manokwari di mana destinasi-destinasi lain masuk paket wisata Raja Ampat. Diperlukan regulasi rute pelayaran dari Raja Ampat dan Kapal Super Yatch dari Australia melalui CAIT (yang mengatur izin teritori perairan Indonesia).
5.     Rencana pengembangan destinasi sebaiknya dilakukan dengan  FGD terlebih dahulu, melibatkan kampung, pemerintah, pebisnis, komunitas olahraga, konservasi, serta akademisi.
6.     Menyambut Sail Wondama 2019, SDM harus ditingkatkan dari sekarang. Libatkan masyarakat lokal dan pemuda dalam event-event berskala internasional, termasuk penyelenggaraan MICE (Meeting, Incentive, Exhibition, Conference).
7.     Fasilitas pendukung seperti rumah pelatihan, rumah sakit, kantor BPBD, dan sanitasi harus bersih dan aman. Dibutuhkan teknologi berkelanjutan agar bisa bersaing dengan Thailand dan Malaysia.
8.     Setelah produk terbentuk, diperlukan strategi BAS (Branding, Advertising, Selling). Ini penting untuk menguatkan ciri khas ketiga pulau di Kabupaten Teluk Wondama. Branding dapat berupa “Segitiga Mutiara Wondama”. Pemasarannya menggandeng maskapai penerbangan lewat in-flight magazine. Sedangkan selling-nya dapat mengoptimalkan dengan komunitas surfing, diving atau fotografi.
9.     Manajemen pengunjung (visitor management) akan membatasi kapasitas kunjungan 500 hingga 1.000 orang per hari dengan penyelaman maks. 100. Penyelaman wajib didampingi tenaga bersertifikat, berpengetahuan, dan fasilitas berorientasi pada pengurangan limbah non-degradable.
10.  Pembuatan website yang up-to-date memuat rute, jadwal kapal, akses darat, fasilitas wisata, penginapan, biro perjalanan, pemandu. Diperlukan pula komunitas media sosial di Instagram, Facebook, dan Twitter yang dikelola oleh duta-duta wisata yang ditunjuk.


*
Tulisan ini telah Saya ikutkan dalam kompetisi blog "Memajukan Pariwisata Papua" oleh PT.Freeport Indonesia.




Comments

  1. The Citizen Titanium Dive Watch - iTanium-Arts
    Watch the Citizen Alpha Dive Watch, a portable digital titanium aura quartz and audio tracker that titanium hip is the best way microtouch titanium to guy tang titanium toner watch titanium or ceramic flat iron your favorite games, concerts, and more!

    ReplyDelete

Post a Comment

Apa pendapatmu?