Kopi Merapi dan Strategi Menggerakkan Petani

Perjalanan kami ke Dusun Merapi dua minggu lalu untuk menemui Sumijo, seorang petani kopi di lereng Merapi akhirnya memberi informasi baru tentang keberadaan Koperasi Kopi Merapi Turgo. Sumijo sebelumnya (16/05/2015) banyak bercerita tentang pengembangan perkebunan kopi Merapi hingga menjadi sebuah usaha koperasi. 

Sumijo (Ketua Koperasi Kopi Merapi Turgo) menuturkan kala itu bahwa usaha Kopi Merapi saat ini mulai berkembang, ditandai dengan pemesanan kopi dari hotel di Jogja, hingga Chef Ragil di Jakarta. Salah satu hotel yang menjadi langganan pemesan kopi Merapi bisa memesan kopi hingga 80 bungkus (per bungkus/250 g) sedangkan pesanan kopi dari Chef Ragil sendiri mencapai 200 kilo (jenis green bean). 



Tingginya permintaan kopi Merapi baik dalam bentuk bubuk dan green bean diakui Ibu Dewi (32 tahun) yang juga pengurus koperasi. Hingga saat ini pemesanan kopi dalam bentuk green bean sudah mencapai 400 kilogram namun koperasi hanya mampu memenuhi pesanan sebanyak 200 kilo/tahun.

Usaha Koperasi Kopi Merapi Keberadaan Koperasi Kopi Merapi dimanfaatkan dengan baik oleh Sumidjo dengan mengembangkan usaha warung kopi tradisional di Dusun Petung. Kegiatan wirausaha Sumidjo, rupanya lebih dikenal lebih dulu ketimbang Koperasi Kopi Merapi. Memahami keahlian dan pemahamannya tentang kopi, petani kemudian memilih Sumidjo sebagai Ketua Koperasi Kopi Merapi sejak tahun 2007 hingga sekarang.


Peran Sumidjo dalam pengembangan usaha Koperasi Kopi Merapi sangat signifikan terlihat dari berbagai penghargaan nasional yang berhasil diraih unit usaha bersama “Kebun Makmur” melalui Koperasi Kopi Merapi. Jaminan mutu dan kualitas Kopi Merapi akhirnya mendapatkan penghargaan tertinggi yakni SNI Award pada tahun 2007, bersaing dengan beberapa unit usaha skala nasional. 

Penghargaan lain selain SNI Award yang diraih Kopi Merapi, juga datang dari Kementerian Pertanian dengan kategori Ketahanan Pangan dan Lingkungan. Selain penghargaan dalam negeri, testimoni seorang Maya Sutoro (aktivis kemanusiaan yang juga adik Presiden Barack Obama) dan pakar kopi asal Belanda Sipke de Schiffart tentang Kopi Merapi merupakan penilaian penting bagi jaminan kualitas dan mutu Kopi Merapi.



Dewi menuturkan, pengelola koperasi berusaha memberikan yang terbaik bagi pelanggan dan konsumen Kopi Merapi. Misalnya, untuk memenuhi pasokan bahan baku Kopi Merapi, koperasi juga menerima kopi dari beberapa daerah namun jumlahnya tidak banyak atau melampaui bahan baku Kopi Merapi.


“Koperasi tidak ingin menjual merek Kopi Merapi saja padahal kualitas kopinya bukan dari biji Kopi Merapi, cara seperti itu dianggap menipu konsumen.” Ujarnya. Yang mengejutkan lagi, selain untuk konsumsi, ternyata Koperasi Kopi Merapi juga melayani pemesanan dari salon kecantikan yang memanfaatkan kopi untuk perawatan tubuh! 

Kualitas kopi yang dijual untuk kebutuhan perawatan tubuh memang bukan kualitas nomor satu, karena pihak koperasi tidak mau menjual kopi jenis konsumsi dengan harga yang sama untuk kebutuhan perawatan tubuh. “Eman-eman, Mbak, sayang, kalau kopi bagus Cuma dipakai buat lulur!,” kata Dewi. Saat ini, koperasi berencana mengembangkan bidang usaha kopi ke usaha pembuatan permen kopi. Sumidjo menganggap bahwa usaha kopi kedepannya tidak lagi menghasilkan satu jenis olahan saja, tapi bisa menghasilkan variasi pangan. Sumodjo sang ketua koperasi sebetulnya punya kegelisahan. 

Cita-cita besarnya menjadikan kopi sebagai minuman khas dari Indonesia agar orang Indonesia dapat menikmati kopi terbaik di negerinya sendiri. Sayangnya, pengetahuan petani kopi di lereng Merapi masih minim. Semangat mereka sepertinya belum sejalan dengan cita-cita Sumidjo. 


Harapan Sudmijo, dengan pengembangan desa wisata, Kopi Merapi akan menggerakkan semangat para petani agar kembali menggarap kebun kopinya dengan serius, tidak mudah tergoda dengan alih bisnis ke tambang pasir. Setidaknya dengan menjadi daerah tujuan wisata, akan semakin banyak kunjungan orang dari berbagai daerah untuk menikmati Kopi Merapi.

***

Comments