Sarjio, Berdaya di Tanah Transmigran



Sudah lama saya menantikan perjalanan ini, mengunjungi Pulau Kalimantan yang juga dikenal dengan Borneo Island. Yang berbeda dari perjalanan kali ini adalah daerah yang akan saya kunjungi sedang terpapar asap pembakaran hutan dan lahan gambut. Seminggu sebelum perjalanan dimulai, saya dan tim yang beranggotakan 4 orang mulai mempersiapkan perlengkapan survei dan P3K untuk antisipasi kabut asap selama turun lapangan. 

Tidak banyak yang saya ketahui tentang Kalimantan, khususnya Kalimantan Tengah selain hutan dan kabut asap. Bahkan masalah kabut asap ini sebenarnya sudah lama saya dengar, jauh ketika saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Perjalanan kali ini sudah memiliki agenda khusus. Akan banyak pertemuan dengan masyarakat lokal, baik yang tinggal di dalam kota sebagai bagian dari peninggalan transmigrasi, hingga masyarakat yang berdiam di sekitar hutan adat Gunung Purei. Rute perjalanan akhirnya diputuskan akan mendarat di Bandara Syamsuddin Noor, Banjarmasin  pada 11 Oktober, lalu dilanjutkan perjalanan selama 10-12 jam ke kota Muara Teweh, yang terletak di Kabupaten Barito Utara (Propinsi Kalimantan Tengah). 

Kondisi permukaan jalan ternyata sudah jauh lebih baik jika dibandingkan dengan jalan propinsi di Jawa Tengah. Namun karena minim informasi seperti papan penunjuk arah, maka perjalanan ke Kota Muara Teweh rupanya cukup membingungkan terutama bagi orang yang baru menempuh perjalanan ke sana. Marka jalan juga hanya ada di dalam kota, begitu kami keluar dari kota kabupaten, maka jalan-jalan yang kami lalui tidak lagi dilengkapi marka jalan. Di lain sisi, jarang sekali saya menemukan rumah penduduk di kanan kiri jalan, kecuali masuk di perkampungan tertentu, itupun tidak sampai satu kilometer, lalu jalan yang kami lalui kembali gelap gulita. 

Kabupaten Barito Utara termasuk sebagai salah satu kabupaten tertua di Indonesia. Akan tetapi jika diamati sekilas, tetap saja terlihat pembangunan wilayah di daerah ini berjalan masih lamban, atau mungkin tidak punya target terlalu jauh sebagaimana kota-kota seperti Balikpapan, Bontang, atau Bukittinggi di Sumatra. Jalan-jalan penghubung antar desa dan ibukota kabupaten belum banyak yang beraspal, listrik belum menjangkau semua titik-titik pemukiman di daerah Montallat dan Rarawa. 

Baru beberapa jam setelah turun dari mobil dan hanya menikmati tidur sejenak, kami berangkat ke salah satu lokasi transmigran yang berlokasi di Desa Se Rahayu km 52 dan juga berbatasan langsung dengan Kabupaten Murung Raya. 

Di sana saya bertemu dengan salah seorang transmigran asal Jawa Timur, Pak Sarjio. Dia adalah satu dari ribuan orang Jawa yang “diangkut” untuk mendiami Kalimantan setelah program transmigrasi berjalan pada 80-an. Sekelilingnya terdengar ciprat air. Sulit dipercaya, tetapi saya benar-benar melihat kolam ikan di tanah Kalimantan. Saat itu Pak Sarjio tengah sibuk mengerjakan bangunan untuk kolam lele dan patin. 

Sambil bersenda gurau, dirinya mengajak saya melihat-lihat sebentar kolam pembenihan ikan lelenya. Namanya lele Sangkuriang, kata Pak Sarjio dengan penuh semangat. Dirinya begitu antusias bercerita banyak hal, terutama terkait soal mengapa Pak Sarjio memilih menggeluti usaha budidaya perikanan darat, alih-alih ikut-ikutan menanam sawit dan memilih karet. “Saya tidak menanam sawit, karena kalau sawit umur 25 tahun sudah harus ganti, tapi kalau karet 25 tahun semakin bagus getahnya, untungnya masih bagus karet, sekalipun harganya turun.”  

Pak Sarjio sesekali menambahi keterangannya dengan guyon khasnya, yang mengibaratkan dirinya seperti rumput, kalau rumput diinjak-injak tidak apa-apa, begitu dia menggambarkan nasibnya sebagai rakyat kecil. Sarjio mendarat di Borneo sebagai transmigran asal Jawa pada 1986. Selain bercocok tanam sebagai pekerjaan wajib, Sarjio mengaku kala itu dia sudah mulai pula mengerjakan banyak pekerjaan lain. 

Sebelum menjalankan usaha pembenihan lele, dia bekerja sebagai buruh bangunan. Tiga tahun terakhir mulai menanam karet dan setahun terakhir mulai berkebun sayur mayur. Tapi dengan hitung-hitungan sendiri, akhirnya lele jadi primadona baginya. Alasannya sederhana: karena faktor usia dan tenaga, juga karena usaha pembenihan lele dianggapnya lebih banyak manfaatnya. 

Sarjio mengungkapkan jika hampir setiap minggu dia bisa menjual ratusan benih lele yang dihargai Rp.300,-/lele. Beda lagi dengan pembesaran, kalau pembesaran lele, baru bisa dipanen setelah tiga bulan. Dari hitung-hitungan biaya pemeliharaan, dan pakan, Sarjio akhirnya fokus pada usaha pembenihan lele.


“Kami perantau, warga transmigran, kami berdaya” 

Bantuan pemerintah dalam hal ini Dinas Perikanan atas usaha-usaha pengembangbiakan benih lele dinilai sudah cukup membantu. Dinas Perikanan tetap memerhatikan keberlangsungan usaha kelompok pembenihan lele. Menurut Sarjio, biasanya orang dinas yang memasarkan kembali benih lele untuk memudahkan distribusi benih lele. Selebihnya dijual ke pasar dan menyediakan pesanan rumah makan. 

Sejauh ini hambatan yang paling besar dirasakan adalah keseriusan anggota kelompok pembenihan. Sarjio menuturkan, tidak jarang ada anggota yang tidak sabar, ingin segera meraup untung sebanyak-banyaknya. Jika terlalu lama menunggu hasil dari pembenihan lele, perhatian anggota pembenihan bisa beralih ke profesi lain. Apalagi sumber pendapatan ekonomi di sana sangat bergantung pada kelapa sawit dan karet. Karena alasan itu pula, Sarjio berusaha memanfaatkan lahan kurang dari setengah hektar untuk menanam sayur-sayuran, cabe dan juga padi. 

Pak Sarjio berusaha mencari penghasilan dengan cara kreatif berdasarkan pembagian waktu. Ada penghasilan mingguan yang berasal dari penjualan benih lele, penghasilan bulanan dari sayur-sayuran dan penghasilan tahunan dari tanaman karet. Semua ini dilakukan Pak Sarjio sebagai upaya membangun kemandirian. Sarjio sangat bersemangat menceritakan harapan-harapannya di masa depan terkait usaha pembenihan lele Sangkuriang. 

Dia berharap pengembangan lele berikutnya tidak lagi fokus pada pembenihan saja, melainkan sudah sampai pada tahap pengolahan ikan lele. Ragam kuliner dapat dihasilkan dari lele seperti kripik dan kuliner khas seperti lele asam manis. 

“Kalau tidak dibakar, tidak bisa meladang” 

Tidak seperti tetangga dekat tempat tinggalnya yang katanya memilih menanam sawit, Pak Sarjio lebih memilih karet. 

Menurutnya untuk membuka lahan sawit, atau membersihkan lahan sawit cara paling umum bahkan sudah jadi tradisi masyarakat setempat adalah dengan cara dibakar. Hanya cara itu yang bisa dilakukan karena tidak memakan banyak biaya, sekalipun dampak lingkungan yang ditimbulkan juga cukup besar. Karena alasan itu pula, Pak Sarjio memilih menanam karet. Selain karena harus membakar lahan lebih dulu, menanam sawit kurang baik untuk ketersediaan air tanah. 

Sarjio menjelaskan jika menanam sawit membutuhkan air lebih banyak, dengan begitu dia khawatir sumber mata air sekitarnya akan kering. Sungguh sebuah pemikiran yang sangat baik jika disebarkan ke seluruh warga sekitar. “Sebelum menanam sawit, memang harus ada pembakaran lahan dulu mbak, setelah itu ditanami padi, baru ditanami sawit.” Pak Sarjio menjelaskan jika dirinya juga tidak pernah menghakimi pilihan teman-temannya yang ikut menanam sawit dan membakar lahan, karena alasan mereka sama-sama cari makan. 

Akan tetapi, melihat usaha yang sementara ini dijalankan Pak Sarjio dengan mengembangkan pembenihan lele, saya percaya pelan-pelan dan bertahap warga sekitar bisa mengikuti jejaknya. Berdaya secara ekonomi dan tetap menjaga lingkungan itu yang diharapkan Pak Sarjio tanpa lekas-lekas menyalahkan aksi pembakaran lahan oleh teman-temannya. 

Karena sampai saat ini memang tidak ada terobosan baru dalam hal meningkatkan kesejahteraan orang Teweh selain berkebun karet dan sawit dengan cara membakar lahan. Diam-diam saya mengagumi orang ini, ternyata tinggal di desa dan jauh dari ibukota kabupaten tidak pernah menyurutkan ide dan kreativitasnya untuk terus berdaya di daerah transmigrasi. “Kita ini perantauan, kalau tidak berusaha cari makan sendiri, tidak kerja, maka kita bisa mati kelaparan, itu rumusnya nggih.” 

Kembali dia terkekeh-kekeh sambil sesekali bergurau dengan teman-temannya dengan Bahasa Kalimantan yang sudah terdengar fasih di telinga saya. Dari perjalanan ini saya belajar satu hal, apa yang saya pelajari dan ketahui ternyata tidak sebanyak realita yang ada di lapangan. Tanah Kalimantan menyimpan masih banyak masalah, tetapi tak pernah kehilangan orang-orang yang ingin memperbaiki dari hal-hal sederhana. 


Pak Sarjio juga membuka pandangan lain pada saya, bahwa masalah di sana bukan hanya isu lingkungan. Ada banyak masalah yang cukup kompleks di sana, tanah yang kaya mineral, subur dengan hutan lebatnya tapi ternyata belum memberi banyak perubahan berarti dalam kehidupan mereka. Jauh di dalam batas kritis antara lahan-lahan hutan, tanaman produksi dan ceruk-ceruk pertambangan yang menggurita, ada upaya-upaya tanpa suara yang meneruskan perjuangan pulau ini sejati dirinya, seumpama paru-paru kepulauan yang tersohor dan berjaya.




Comments