Travel to Remote 2: Lelaki Misterius di Pulau Mapimonu



Setelah terombang-ambing di dalam perahu motor selama dua jam setelah perjalanan dari Pulau Roswar, kini saya dan rombongan tiba di Pantai Mapimonu. Pantai ini ibarat Maldivesnya Kawasan Taman Nasional Teluk Cenderawasih. Pantai Marasambadi sendiri merupakan gugusan Kepulauan Auri yang berada di Timur Taman Nasional Teluk Cenderawasih. Kepulauan Auri terdiri dari pulau-pulau eksotis dengan ciri dan keunikan bentang alam yang luar biasa indahnya.

Perjalanan jelajah pulau di Taman Nasional Teluk Cenderawasih tidak membuat saya berhenti berdecak kagum. Sulit dipercaya jika keindahan pesisir Tanah Papua Barat benar adanya, tidak salah jika sepanjang perairan Papua Barat menyimpan potensi kelautan yang begitu mengagumkan salah satunya Raja Ampat, Sorong. Pantai Mapimonu memiliki karakter ombak yang cukup tinggi dan menantang sehingga menurut salah satu staf pariwisata di Teluk Wondama menjelaskan jika karakter ombak di Mapimonu sangat cocok untuk kegiatan selancar. Dari kejauhan terhampar warna laut biru terang transparan dengan batu-batu karang di bawahnya. Rasanya ingin cepat-cepat menceburkan diri di pantai.

Turun dari perahu Pak Akwan mengingatkan untuk tidak membuang sampah makanan di Pantai. Sekali lagi beliau juga mengingatkan agar kami tidak bersumpah serapah di pulau-pulau yang dikunjungi. Pak Akwan adalah penduduk asli berketurunan marga Yende Kepulauan Roon. Dengan badannya yang pendek dan tambun dia adalah seorang penduduk lokal yang begitu lihai menyelam mengambil gambar-gambar terumbu karang. Saya hanya bergumam dalam hati, betapa saya iri dengan Pak Akwan yang bisa menyelami dinginnya laut dan menyaksikan secara leluasa terumbu karang yang termasuk langka.

Keindahan pantai-pantai di Timur Indonesia memang sudah menggaung ke dalam destinasi wisata internasional khususnya pantai-pantai di Provinsi Papua Barat yakni Raja Ampat. Meski demikian saya menyadari bahwa saat ini Raja Ampat yang menjadi daerah tujuan utama wisata dunia ternyata tidak lepas dari masalah lingkungan. Saya tidak ingin hal itu terjadi di Kawasan Taman Nasional Teluk Cenderawasih, karena daerah ini belum siap dengan pengelolaan ekowisata. Imbasnya akan berdampak jangka Panjang, baik dari aspek kelestarian variasi terumbu karang maupun pengelolaan sampah yang masih sangat minim. Belum menjadi daerah wisata saja, arus laut menggiring sampah-sampah yang dibuang ke laut dan terbawa hingga ke Kepualaun Auri. Sangat disayangkan memang.

Lelaki Misterius
Entah dari mana datangnya, tiba-tiba seorang remaja lelaki yang berjarak lima meter dari posisi saya memandangi keindahan Pantai Marasambadi duduk seorang lelaki yang juga menatap pantai jauh ke depan. Saya melihatnya sekali lagi dan dia juga menatap balik dengan malu-malu lalu beranjak pergi. Sejak kepergiannya saya membatin dari mana remaja ini muncul sementara pulau ini tidak berpenghuni dan tidak ada kapal atau perahu selain perahu yang saya tumpangi. Lamunan itu dikejutkan teman-teman dari kejauhan yang memanggil-manggil saya untuk ikut berfoto, lalu saya pun melupakan sosok remaja itu.

Ketika makan siang, saya melihat Pak Marten mengambil beberapa bungkus mi instan dan dibawa pergi entah kemana. Obrolan tentang keindahan Pantai Marasambadi berhasil mengalihkan perhatian saya tentang remaja lelaki yang sekilas muncul secara misterius.

Santap Siang di Dalam Perahu Motor Sebelum Melanjutkan Penjelajahan di Pulau Berikutnya


Setelah berpuas diri berswafoto dan serangan kantuk tiada tara melanda, akhirnya perjalanan kembali dilanjutkan menuju pulau berikutnya untuk mandi air tawar sekaligus bersih-bersih badan. Dalam perjalanan itu saya bertanya ke Pak Akwan soal remaja lelaki yang sempat saya lihat di pulau Mapimonu. Saya hanya ingin tahu apakah teman-teman yang lain menyadari kehadiran remaja tersebut.

Lalu Pak Akwan menjelaskan jika remaja yang saya lihat adalah penduduk pulau yang hidup mengandalkan hasil laut. Penduduk pulau-pulau yang pada dasarnya memang tidak berpenghuni layaknya pemukiman pesisir di Pulau Roon dan Rumberpon memang bukan penduduk biasa. Mereka penduduk lokal yang masih diberkahi kemampuan menombak ikan di malam hari dengan mata telanjang. 

Remaja lelaki yang saya lihat adalah penduduk asli yang mendiami pulau-pulau tak berpenghuni. Kisah yang membuat saya agak bergidik adalah cerita penduduk asli yang berenang dari pulau ke pulau untuk mencari makan. Akhirnya pertanyaan mengapa Pak Marten mengambil beberapa bungkus mi instan lalu menghilang begitu saja ternyata diberikan ke remaja lelaki yang saya lihat di Marasambadi.

Tak Terdata
Remaja lelaki itu mengingatkan saya dengan kisah anak-anak suku Bajo dan suku serupa di pesisir Pantai Thailand yang memiliki kemampuan menombak ikan di kedalaman 5-10 meter dengan mata telanjang. Karena kekurangpahaman atau entah eksplorasi data yang kurang mendalam, pemerintah setempat mengarahkan agar penduduk yang tinggal di rumah apung beralih ke rumah-rumah di daratan sekalipun jaraknya hanya beberapa meter. 

Kini sudah jarang ditemukan anak-anak dengan kemampuan menyelam begitu dalam dengan mata telanjang karena habitat asli mereka yang hidup di atas air dipindahkan ke darat sekalipun jaraknya hanya beberapa meter saja dari lautan.

Masih di tanah Papua saya pernah mendengar adanya program sepatunisasi dan sabunisasi yang tujuannya baik tapi tanpa sadar program tersebut menghilangkan perlahan kemampuan adaptasi masyarakat lokal terhadap alam yang ekstrim dan wabah endemic yang begitu berbahaya. Bagi masyarakat modern kita melihatnya seperti hal yang konyol, sudah diberi bantuan kok ngeyel. 

Tapi ketika kamu melihat sendiri alam Papua dan tinggal berhari-hari bersama masyarakat lokal maka kita bisa memahami bahwa cara hidup masyarakat lokal papua adalah refleksi atas kondisi alam yang jauh dari kata normal. Ketika kemampuan adaptasi terhadap alam dan lingkungan dihilangkan, maka kita dengan sengaja turut menghancurkan mereka secara perlahan. Mungkin akan cukup bijak bila kita tidak terburu-buru menelurkan program pembangunan di daerah terpencil secara terbata-bata dengan data yang serba terbatas. 

Dari perjalanan ini saya merasa beruntung masih menyaksikan remaja lelaki sebagai penduduk asli pulau-pulau tak berpenghuni. Kemampuannya menyeberangi pulau-pulau untuk mencari makan sekilas memang terdengar memprihatinkan. Mungkin tidak pernah terbayangkan di zaman yang super canggih ini saya masih menemukan manusia unik dengan kemampuan adaptasi terhadap alam seperti si remaja lelaki tersebut. Apalagi dengan alasan mencari makan, sederhana saya memesan makan di warung ternyata sesulit itu di mata saya ketika seseorang harus menyeberangi pulau dan menyelam untuk mendapatkan seekor ikan. Saya tidak lagi memikirkan bagaimana cara dia bersekolah, jika untuk mencari makan saja itu sudah cukup.

Iseng saya mencari tahu soal anak-anak yang menyeberang pulau mencari makan, dan saya menemukan hikayat cerita rakyat Papua “Tana Naripi Sosane Besien”. Dari buku cerita rakyat ini telah digambarkan suku-suku daerah pesisir Papua sudah terbiasa melakukan perjalanan antar pulau dan menombak ikan layaknya Pak Edi dan penduduk lokal di Pulau Roon. Adapula anak-anak di Pulau Roon yang usianya kurang dari lima tahun namun cukup piawai membawa perahu dari batang pohon. Ini sangat mengagumkan dan tentu saya berharap sifat-sifat dasar sebagai bentuk adaptasi mereka pada alam tidak dimusnahkan atas dasar program-program pemberdayaan masyarakat yang mengusung cara hidup modernitas.

Dari kejauhan pulau dengan bentang dinding batu yang tinggi sudah terlihat bersama dengan air yang keluar dari bebatuan. Seperti kata Pak Akwan di pulau inilah kami beristirahat sejenak sembari bersih-bersih badan. Saya sudah tidak sabar menghilangkan rasa asin di badan saya lalu beristirahat merenungi perjalanan panjang ini menyusuri Taman Nasional Teluk Cenderawasih


***

Comments

  1. Hello,

    It's a good peace of travel note with a bit of cultural touch. Love the way you describe the events surrounding your group journey to the islands, inspiring and thought-provoking.

    This will inspire many people to acknowledge that still many ethnics and local groups in Papua that need to be documented and (perhaps) respected.

    However, IMHO, it would be better if you do not show the real face of the "mysterious man" described here, out of respect for his privacy and to prevent future problems (not to be over-worried). After all, being mysterious will be more touching if we admire but holds back the temptation to expose them.

    XO,

    -F

    ReplyDelete

Post a Comment

Apa pendapatmu?