Polusi #1: Bintang yang Menghilang dari Kubah Gemilang

https://www.newzealand.com/ 
Meneropong Bintang


Sebuah malam yang sejuk, tidak terlalu dingin, dan tidak terlalu hangat. Saya mendapatkan kesempatan langka yang sebagian orang kota sebut sebagai privilege: menikmati udara sejuk perbukitan sabana yang berbatasan langsung dengan Pantai Selatan Jawa. Aktivitas luar ruangan secara berkelompok ini telah menjadi harta karun bagi sebagian orang, di mana siklus sirkadia tubuh yang kerap kali tercabik-cabik aktivitas hipe di kota seperti diatur kembali mengikuti jam terbit dan tenggelamnya matahari. Sebuah pengalaman yang khusuk, terlebih-lebihnya, karena secara visual kita jauh dari gemerlap lampu LED perkantoran dan kerlip-kerlip residual kafe di kejauhan dari kendaraan-kendaraan yang berseberangan. Galaksi Bimasakti tertangkap oleh keahlian seorang kawan, dan kami merayakannya seperti anak kecil yang telah lama menantikan hujan.

Galaksi Bimasakti memerlukan tingkat kegelapan langit yang sangat dalam, dengan gangguan cahaya sekeliling pengamat (jika kamu berada di Bumi) mendekati nol. Kerlip bintang--yang jarak aslinya dari bumi sekira 30 tahun cahaya--sebagai perbandingan, baru akan nampak di mata pengamat jika tertangkap retina pada magnituda kenampakannya di kisaran -1,5 (paling redup) hingga 4 (paling cemerlang), bulan sekitar -12 sedangkan matahari -26,7. Semakin tinggi magnitud, semakin cemerlang kenampakannya dari mata kamu di bumi.

Bimasakti, atau lebih tepatnya, piringannya, akan nampak di bumi dengan kecemerlangan jauh di bawah bulan dan bintang. Yang berarti, dibutuhkan latar langit yang jauh lebih kelam agar galaksi tempat kita tatasurya kita itu nampak oleh mata. Inilah yang saya katakan sebagai harta, karena menemukannya di langit adalah sebuah kemenangan visual. Sebuah penemuan yang mustahil ditemukan dari persimpangan jalan kota yang benderang.

Penemuan kami (atau lebih tepatnya, hasil jepretan kamera kami), akan piringan Bimasakti di belahan selatan langit Jawa kala itu hanya sepekan sebelum Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) merayakan setahun ditetapkannya Hari Antariksa Nasional, yang jatuh pada 6 Agustus setiap tahunnya sejak 2017 kemarin. Sedikit ironis, karena Indonesia terhitung terlambat mengikutkan polusi cahaya ke dalam perlindungan pengalaman antariksa masyarakatnya.

Ilmuwan Christopher Kyba dari GFC German Research Center for Geoscience menghitung, tingkat polusi cahaya rata-rata kota utama di dunia mencapai kenaikan 2% setiap tahunnya, sejak 2012 hingga 2016. Studi yang diumumkan lewat jurnal Science Advance itu menemukan, tingkat polusi udara yang terjadi di kota-kota selama ini, semakin merangsek ke pedalaman, dengan cakupan semakin jauh ke desa setiap tahunnya. Pola pindah rural yang sedang tren, diperkenalkannya teknologi LED biru yang diklaim hemat energi, dan perkembangan industri mendorong makin parahnya visibilitas langit malam di banyak wilayah bumi.
Tampakan cahaya malam Indonesia dari ruang angkasa. (NOAA)

Di Indonesia, khususnya, satelit NOAA menunjukkan dengan terang betapa Pulau Jawa menyumbang tingkat polusi cahaya paling besar dibandingkan pulau-pulai lain. Sebagai imbas dari urbanisasi dan kapasitasnya dalam kegiatan ekonomi, benderang kota-kota Jawa hanya "mengizinkan" kita menikmati bintang di kisaran magnitud 1 hingga 3, itupun dengan catatan kamu tidak sedang berada dalam radius 100 meter dari cahaya lampu kafe, jalan raya, konser, atau papan-papan baliho.

Dengan tingkat kedalaman langit yang terbatas itu, sangat sulit menikmati kerlip-kerlip quasar, bintang-bintang jauh, atau "bintang jatuh" yang secara alamiah jauh lebih redup dari pasangan sejati Mars dan Venus, yang di banyak tempat masih nampak cemerlang di ufuk kala senja. Kerlip bintang yang kamu nikmati di masa kecil tatkala di sebuah pendopo dekat sawah atau dari serambi rumah di pegunungan, kini menghilang dari keriuhan kubah kota yang gemilang.

Ekonomi gig mendorong terciptanya industri-industri yang ikut dalam gerakan mencintai lingkungan. Walaupun dalam praktiknya penggunaan listrik dan bentuk energi lain kerap diabaikan hubungannya dengan polusi cahaya, itikad-itikad baik dari para astronom amatir, bahkan LAPAN dengan Hari Antariksanya, sedikit bisa meyakinkan kita bahwa ada masa depan yang bisa diupayakan untuk menekan laju polusi cahaya kota-kota kita. Inisiatif penting ini tentu saja perlu sokongan pemerintah, bisnis, dan lembaga-lembaga nonprofit lain agar kampanye pentingnya "Malam Langit Gelap" bisa mendapatkan sohor yang sama dengan Earth Hour yang selama ini merayakan penghematan energi secara general.

Jikapun ekonomi berkembang mengikuti permintaan urbanisasi yang meningkat, biarlah setidaknya sejalan dengan kesadaran yang mendekati, bahwa polusi cahaya sama berbahayanya dengan polusi udara, dan juga suara.
Penerima Nobel bidang Kesehatan baru-baru ini dinobatkan kepada satu dari tiga ilmuwan yang mempelajari pentingnya menyelaraskan jam biologis tubuh dengan ritme sirkadia perputaran bumi, alias terbit dan tenggelamnya matahari, ataupun bergesernya bintang-bintang di langit. Meskipun di periode-periode sebelumnya Nobel mengganjarkan penghargaan yang sama untuk penemu teknologi LED biru yang kini  menyatu dengan polusi cahaya di kota-kota dunia, patutlah kita bersemangat bahwa urban escape, atau liburan di kota, masih akan bisa sama nikmatnya dengan rural retreat, atau menepi jauh di tepian desa yang gelap.

Karena di manapun jiwa merindukan ketenangan, langit berbintang selalu menunjukkan arah kehidupan.


#Tulisan ini digabungkan dalam Seri Polusi Kota -- Akan berlanjut...


Comments