Mungkin 'City Walk' terlalu mentereng

Rilis hasil survei oleh architecture.com pada 2010 menuliskan bahwa sebuah kota sehat di dunia, rata-rata memiliki setengah (1/2) kali kepadatan pemukiman pada umumnya, dan memiliki setidaknya seperlima (1/5) lebih banyak ruang terbuka hijau (green space). Jelas, ada hubungan yang penting antara penggunaan lahan, dengan tingkat kesehatan (masyarakat) kota pada umumnya.

Oke... kita tinggalkan sejenak hasil survey yang mungkin hanya berlaku di Eropa atau Amerika. Kita bisa lihat kota-kota di Indonesia, atau di sekitar kita, terkadang punya pengertian lebih luas --juga tingkat toleransi lebih tinggi- tentang apa dan bagaimana itu "yang dikatakan kota sehat". Apakah... karena pemerintah galakkan ruang-ruang laktasi di tempat-tempat umum sambil mengevaluasi aturan daerah yang menempel-nempelkan stiker DILARANG MEROKOK DI RUANGAN INI tapi ternyata dilanggar oleh staf pemerintah sendiri?

Mari kita lihat masalah kesehatan kota ini dari sudut pandang yang lebih sempit lagi. Coba... "jalan kaki."

Survei kesehatan umum (yang ini sudah mafhum bahkan di Indonesia) mengatakan bahwa seorang dengan kondisi normal, membutuhkan siklus gerak otot dinamis setidaknya 20 menit setiap hari, yang kemudian oleh IDI dan pemerintah daerah diterjemahkan dengan "biasakan jalan kaki 30 menit setiap hari". Kisaran setengah jam ini dianggap sebagai standar minimum dan yang paling logis, bagi masyarakat kita, untuk membangun setidak-tidaknya kebiasaan hidup sehat dengan cara yang paling gampang.

Nah, di kota, di mana polusi, kepadatan lalu-lintas yang diselingi aksi berkendara seenaknya saja di sekitar kita, rupa-rupanya sudah lazim jadi kambing hitam kenapa orang-orang malas berjalan kaki. Di sisi lain, rupa sarana dan prasarana jalan belum mumpuni untuk mengakomodasi kebutuhan jalan kaki ini. Dan secara kasat mata, komunikasi publik tentang kebiasaan jalan kaki rupa-rupanya tidak terserap dengan baik.

Ambil contoh gema-gaung istilah city walk.

Istilah ini sudah lazim dikenal di kalangan akademik perencana kota, arsitektur, atau pemerintah dan kontraktor tata kota. City Walk pada mulanya lahir sebagai konsepsi antara proses hipotesis akademisi planner yang belakangan justru banyak dikonsumsi oleh bangunan-bangunan berfasad bisnis. Kenapa istilah ini kemudian tidak begitu popular di masyarakat?

Jawabannya sederhana: karena city walk tak ubahnya trotoar.

Dalam kunjungan ke Semarang beberapa waktu yang lalu, saya mengamati betapa pemerintah kota setempat rela mengeluarkan uang banyak untuk mengamini rencana konsultan tata kota mereka. Di kawasan Simpang Lima yang terkenal itu, trotoar atau zona pejalan kaki dibuat lebar (setidak-tidaknya selebar 2,5 meter atau bahkan lebih), bertatakan batako kualitas baik, dicat warna merah dan dilengkapi fasilitas untuk pengguna difabel.
Dalam beberapa kunjungan yang kemudian saya manfaatkan untuk mengamati bagian "agak rapi" dari sebuah kota metro ini, tidak banyak tuh yang pergunakan city walk Simpang Lima untuk jalan kaki. Lo, yang banyak apa?

Pe-ka-el.

Tidak di Jogja, Semarang, Jakarta, masalahnya sama. Ruang bebas yang ditujukan untuk pejalan kaki, atau pembatas antara jalan aspal dengan pekarangan ini, malah dipakai pedagang kaki lima. Klasik? Ya klasik. Citra dari nama mentereng city walk lantas oleh publik diterjemahkan begitu saja tak ubahnya sebagai "trotoar yang lebarnya dua kali lebar biasanya, lebih bersih, lebih halus, dan mungkin... lebih nyediain tempat jualan."

Di Simpang Lima itu city walk-nya berbatasan dengan pos polisi satuan lalu lintas. Di situ juga bertebaran sepeda-sepeda motor ojek yang diparkir melewati tiang-tiang pembatas (tiang-tiang beton setinggi setengah meter yang ditanam menyerupai pagar), dinaungi tenda-tenda khas kakilima, dan dihiasi rimbun tanaman pot yang justru kerap dianggap tempat sampah.

Citra city walk yang oleh publik tidak kedengaran tujuan pembuatannya itulah jadi penyebab kenapa lebar ruang berjalan yang begitu manusiawi itu (seharusnya) malah tak ubahnya arena berjualan yang lebarnya dua kali lipat. Menggeser agak ke timur dari simpang lima itu, di sudut Mal Ciputra, malahan arena city walk dipasangi tenda raksasa, dengan jajaran gerobak warung di bawahnya. Di dinding-dinding yang seharusnya jadi pagar pembatas, tergantung papan-papan menu aneka kuliner. Orang kalau mau berjalan kaki, tetap harus mengalah turun ke aspal atau menerobos di antara kursi-kursi yang diduduki orang sedang menikmati lontong opor dan ayam bakar.

Trotoar mentereng di Kawasan Simpang LIma Semarang. Diduduki pe-ka-el juga.
Gambar oleh lompatlompat.wordpress.com


Saya jadi berpikir. Mending pemerintah kalau mau bikin program penataan kota, tidak usah pakai nama-nama mentereng deh. Kalau ruang berjalan bilang saja trotoar. Kalau tempat terbuka yang sejuk bilang saja ruang hijau. Anak-anak remaja kalau dengar kata 'park' atau 'plaza' (yang berarti ruang terbuka di antara beberapa gedung)... malah mikirnya tempat belanja atau tempat kencan. Lebih logis dan manusiawi cara Surabaya mengelola taman kota bertaraf internasional... yang namanya tetap Suroboyoan 'Taman Bungkul' (bukan Bungkul City Park).

Pemahaman terhadap fungsi dari unsur-unsur kota itu harusnya menyentuh cara berpikir manusia yang hidup di dalamnya. Percuma ada banyak istilah keren nan english di kota kita tetapi masyarakat justru mengartikannya dengan sudut pandang tradisi yang dari dulu begitu-begitu saja. Kita sudah lama mengenal sempadan, sengkedan, selokan. Kemudian saat tiba-tiba muncul istilah city walk, orang-orang desa yang masuk ke kota Semarang lantas berpikir, "Lho..., beda tah city walk karo trotoar?"

Anggapan nakal lain bisa jadi begini:
O... City Walk itu maksudnya trotoar yang di depan kantor gubernuran. Yang lebar, bersih dan rapi sampai orang mau jalan di atasnya segan. Ckckck....

Berarti, jangankan cita-cita kota sehat akan bisa kita capai katakanlah, dalam tiga atau lima tahun mendatang. Jakarta sedang berupaya kembangkan kebiasaan masyarakat menikmati ruang terbuka di Waduk Pluit, Monas dan bangku-bangku duduk di pinggiran kawasan Thamrin. Surabaya sedang perbanyak pepohonan untuk menurunkan suhu. Bandung sedang perketat moratorium pendirian apartemen biar kotanya tidak padat dan kembali dikatai city of pigs. Jogja masih adem ayem saja dan masih berusaha hilangkan kebiasaan sopir bus kencing sembarangan. Semarang juga punya caranya sendiri biar trotoar kawasan Pandanaran dan Simpanglima kembali ke fungsinya.

Semoga kota-kota kita sudah bisa mewujudkan angka-angka di indeks di awal tulisan ini. Bayangkan... kalau kita sudah terbiasa jalan kaki minimal setengah jam setiap hari. Pegal? Panas?


Comments

  1. sy masih bingung apakah city walk harus di bangun dekat pusat belanja atau city walk itu adalah sarana yg disediakan bagi pejalan kaki walaupun tidak dekat dengan pusat perbelanjaan. sy malah menganggap city walk di jogja ada di jalan kaliurang. walaupun kondisi lalu lintas lumayan rame tp masih tetap nyaman untuk berjalan kaki

    ReplyDelete
  2. assiiklah komengnya bunda begitu... setujuh lah pokoknya... :D

    ReplyDelete
  3. ratihweningdi4/25/14, 4:37 PM

    ah fandi bisa saja...

    ReplyDelete

Post a Comment

Apa pendapatmu?